Minggu, 17 Oktober 2021 (20 Dung Trinitatis)




Minggu, 17 Oktober 2021 (20 Dung Trinitatis)

                                            Evangelium : Lukas 11:27-28

KEBAHAGIAAN MENDENGAR FIRMAN ALLAH

(LAS NI ROHA MANANGIHON HATA NI DEBATA)



I. Pengantar

Zaman yang semakin canggih saat ini, ternyata menimbulkan pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Pola hidup seseorang diubah melalui cara melakukan dan mendapatkan sesuatu dengan mudah. Selain itu, setiap orang juga dapat mengikuti perkembangan zaman menurut era globalisasi saat ini. Akan tetapi, di samping itu, terdapat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan zaman, misalnya sikap anti-sosial yang merasa tidak perlu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena masih bisa bersosialisasi di dunia maya; sifat materialis (condong pada pemenuhan materi); kurangnya penghargaan atas norma-norma yang berlaku di masyarakat; dan yang lebih parah lagi bahwa “Tuhan hampir dipensiunkan dari kehidupan ini”. Dalam arti kata, manusia tidak lagi memerlukan campur tangan Tuhan dalam mengatasi kehidupannya. Mereka telah menganggap diri mereka sebagai makhluk yang telah dewasa dan bebas menentukan pilihan sesuai dengan kehendak sendiri. Semua itu mereka lakukan karena mereka menganggap hal-hal itulah yang bisa membuat mereka bahagia.

Lukas 11 mengisahkan sebuah peristiwa ketika Tuhan Yesus bertemu dengan orang yang sedang kerasukan setan, yang membuatnya tidak bisa berbicara (bisu). Lalu tergeraklah hati Tuhan Yesus untuk menjamah orang itu dan mengusir roh jahat tersebut. Mujizat pun terjadi! Melihat kejadian itu banyak orang menjadi takjub, tetapi ada pula yang tidak suka dan benci dengan tindakan Tuhan Yesus dengan mengatakan bahwa Ia melakukan itu dengan kuasa Beelzebul, atau penghulu setan. Akan tetapi Yesus justru memanfaatkan kesempatan ini untuk mengingatkan dan menyadarkan orang-orang akan arti kebahagiaan yang sejati, yang akan memberikan berkat pada tiap orang yang mendapatkannya. Hal ini sangatlah penting, mengingat banyaknya orang (khususnya umat Kristen) yang sudah mulai kering imannya dan bahkan sudah tidak tahu lagi arah dan tujuan hidup yang sebenarnya.

Isi

Ayat 27

Berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang selalu berusaha menghina dan menghujat ajaran Yesus Kristus, dalam nas ini dimunculkan seorang tokoh perempuan yang berhati tulus dan berniat baik memuji Yesus di hadapan khalayak ramai karena pengajaran-Nya yang luarbiasa bagusnya. Ia tidak hanya kagum akan ajaran Yesus, tetapi juga karena hikmat yang ada pada-Nya sangat kelihatan sehingga mampu menjelaskan setiap ajaran dengan benar dan tegas. Ungkapan “berbahagialah ibu yang mengandung Engkau”, menunjuk kepada seorang ibu yang berbahagia memiliki Yesus sebagai anaknya. Perempuan yang memuji Yesus ini membayangkan betapa bahagianya perempuan (juga dirinya) apabila dia yang mengandung dan melahirkan Yesus. Ucapannya itu diungkapkan dengan baik, karena ia hendak mengungkapkan penghargaannya yang tinggi terhadap Kristus, dan itu karena ajaran-Nya. Dan tidaklah salah jika penghargaannya ini mencerminkan rasa hormatnya terhadap Perawan Maria, ibu-Nya, karena hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Maria sendiri (Luk. 1:48), "Segala keturunan akan menyebut aku berbahagia”. Akan tetapi, di sini kita harus berhati-hati, jangan sampai, seperti perempuan yang baik ini, kita menjadi terlalu membesar-besarkan kehormatan sanak saudara jasmani-Nya; karena, kalau kita berlaku demikian, kita hanya menilai-Nya menurut ukuran manusia, padahal seharusnya mulai dari sekarang ini kita harus tidak lagi menilai-Nya demikian.
Ayat 28

Yesus memakai peristiwa ini untuk menyatakan bahwa yang lebih berbahagia ialah orang-orang yang mengikuti-Nya dengan setia dan yang taat kepada-Nya daripada orang yang mengandung dan yang menyusui-Nya. Yesus tidak menyangkal pujian wanita itu dan juga tidak menolak rasa hormatnya terhadap ibu-Nya. Namun Ia mengarahkan pikiran-Nya ke masalah lain yang lebih tinggi lagi dan lebih berkaitan langsung dengan diri-Nya sendiri. Ia hendak mengajarkan kepada perempuan itu dan kepada orang-orang lain yang telah mendengar pujian itu, bahwa ketaatan dan kesalehan terhadap Allah, jauh lebih mulia dan bernilai dari pada martabat menjadi ibu Jesus. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa pada nats ini Yesus memberikan peringatan yang tegas bahwa Dia menghendaki ketaatan, bukan pujian.

Dalam pemikiran setiap manusia, arti kebahagiaan tentu berbeda-beda atau relatif. Bahagia menurut si A, belum tentu bahagia menurut si B. Ada orang bahagia karena hartanya banyak; bahagia karena mendapat penghormatan seperti para bangsawan; bahagia karena naik pangkat; bahagia karena keturunannya banyak, dan lain-lain. Apapun dasar kebahagiaan itu, yang pasti setiap orang berusaha mengejar kebahagiaan. Akan tetapi, kecenderungan manusiawi adalah mudah terjebak oleh kebahagiaan-kebahagiaan semu. Banyak orang yang mengisi hidup dengan mencari nikmat sebanyak-banyaknya. Hedonisme (Yunani hedone, ‘nikmat kegembiraan’, yakni: aliran dalam filsafat yang mengajar bahwa sebagai aturan paling dasar hidup, kita hendaknya menghindar dari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat), semakin menjamur laksana cendawan di musim penghujan. Orang-orang mudah jatuh dalam pemikiran dangkal dan kebahagiaan semu, hanya untuk menuruti segala kebutuhan nafsu. Kita dapat melihat bahwa semua hal itu menimbulkan berbagai kemerosotan, terutama dalam hal moralitas.

Yesus tampil dengan pola pikir dan sudut pandang yang berbeda. Ia menekankan bahwa kebahagiaan yang sejati hanya didapat ketika orang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya. Artinya cara orang menyikapi firman dan karya Allah dalam hiduplah yang membuat bahagia, bukan semata-mata seperti yang ada dalam pikiran kita, karena kita menilai sesuatu hanya menurut ukuran/ nilai manusia.

II. Penutup

Tentu kita sudah tahu bahwa Firman Allah bisa didapatkan melalui berbagai cara, misalnya: membaca Kitab Suci, mendengarkan khotbah/renungan, baik di gereja maupun tempat ibadah lainnya. Bisa juga melalui TV atau radio. Tidak cukup sampai di situ, dalam kondisi yang semakin canggih sekarang ini, media menjadi sangat penting sebagai sarana pewartaan Injil. Melalui media yang ada, Kitab Suci bisa dihadirkan dengan bentuk yang mudah dipelajari dan dimengerti. Media merupakan sarana yang ampuh, besar pengaruhnya dan luas jangkauannya. Seperti yang pernah dikatakan oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II pada peringatan Hari Komunikasi Sedunia Ke-36 dengan tema, “Internet: Sebuah Forum Baru Bagi Pewartaan Injil”. Melihat kenyataan yang ada, maka dibangunlah suatu Sistem Pembelajaran Kitab Suci Berbasis Web. Pembangunan sistem ini diharapkan dapat membantu umat belajar Kitab Suci dengan mudah, tidak terkesan tegang dan membosankan, dan dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun. Sejenak kita bisa kembali pada kondisi sebelum reformasi Martin Luther (1483-1546), di mana sekitar 1500-an tahun, yang berhak membaca Kitab Suci hanya segelintir orang dan yang berhak menafsirkannya hanya para petinggi gereja seperti para klerus dan Paus di Roma. Martin Luther akhirnya melakukan penerjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman dan hal itu membawa pembaharuan yang luar biasa, sehingga para umat bisa lebih mudah membaca dan memahami Kitab Suci.

Yang menjadi pertanyaan bagi kita, apakah Firman Allah yang kita sering kita dengarkan itu, bisa kita simak dan pelihara dengan baik? Atau jangan-jangan malah jadi bosan atau muak, karena bahasanya kurang gaul atau tidak sesuai kebutuhan kita? Padahal di ayat 28, Yesus katakan, “yang berbahagia ialah yang mendengarkan Firman Allah dan yang memeliharanya”. Termasuk-kah kita sebagai orang yang disebut “berbahagia” itu? Yakobus tidak basa-basi saat menulis bahwa orang Kristen yang hanya mendengar firman Tuhan tanpa melakukannya, sebenarnya bukan seorang Kristen! Ia melainkan adalah seorang penipu (Yakobus 1:22). Tentunya kalimat ini akan menyinggung dan menyakiti orang-orang yang tidak terima disebut penipu. Akan tetapi itulah kebenarannya. Mendengar saja tidak cukup, tapi harus dilanjutkan dengan memelihara dengan cara menyimpan dengan baik-baik di hati dan pikiran, serta melakukannya. Tetapi seringkali manusia abai akan firman Tuhan ketika kehendak atau ambisinya lebih dipentingkan, dan kehendak Tuhan dibelakangkan! Iblis seringkali berhasil mempengaruhi kita agar melawan firman Tuhan, karena tawaran Iblis kita anggap lebih manis dan menyenangkan dibanding apa yang Tuhan mau, tanpa kita sadari bahwa yang manis itu akan berujung pahit, dan yang menyenangkan itu hanyalah sementara.

Pentingnya membaca dan memelihara Firman Allah dapat diibaratkan melalui ilustrasi berikut. Ada seorang petani yang tinggal di daerah yang rawan badai salju. Badai salju di daerah ini bukanlah badai salju biasa, melainkan badai salju yang sengat kencang dan tebal. Tentu ketika badai salju datang, tidak ada satu pun orang yang berani keluar rumah. Namun terkadang, ketika badai salju sedang melanda, ada hal-hal yang harus diurusi di ladang oleh si petani. Oleh karena itu, si petani terkadang harus meninggalkan rumahnya dan pergi ke ladang untuk melakukan hal-hal yang harus ia selesaikan. Setiap kali si petani hendak ke ladang, dia melakukan hal yang sangat unik; dia mengikatkan dirinya menggunakan tali dan menghubungkannya dengan rumahnya. Ladangnya padahal sangatlah dekat, ladangnya berada tepat di depan rumahnya. Lalu mengapa dia harus melakukan hal ini? Karena jika dia tidak menghubungkan dirinya menggunakan tali, dia akan tersesat di tengah badai salju itu karena badai salju biasanya membuat penglihatan benar-benar pudar. Sangatlah sulit untuk mengetahui arah ketika berada di tengah-tengah badai salju. Maka itu, sang petani mengikatkan dirinya menggunakan sebuah tali yang dapat memimpinnya pulang setelah melakukan pekerjaannya di ladang. Jika tidak ada tali tersebut, kemungkinan besar sang petani akan tersesat di ladangnya dan mati oleh karena kedinginan.

Ilustrasi di atas menggambarkan kehidupan kita. Si petani adalah diri kita; rumah adalah Tuhan, tali yang menghubungan si petani dengan rumahnya adalah Firman Tuhan; dan badai salju yang menyerang adalah cobaan-cobaan dari dunia. Sangatlah penting bagi kita untuk tetap terkoneksi dan melekatkan diri pada Tuhan melalui Firman-Nya sebelum kita beraktivitas dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika kita tidak melekatkan diri kepada Tuhan melalui Firman-Nya, kemungkinan besar kita dapat kehilangan arah ketika berada di tengah-tengah pencobaan. Alkitab berkali-kali mengatakan bahwa Firman Tuhan adalah panduan kita dalam menjalani hidup. Tuhan ibarat mesin pembangkit listrik yang menjadi sumber daya sehingga manusia bisa hidup, bergerak, dan memancarkan terang. Maka dari itu, agar kita bisa mendapatkan kebahagiaan sejati, janganlah malas mendengar Firman Tuhan. Jika kita merasa tidak sanggup untuk melakukannya, maka selalulah berdoa meminta kekuatan dan kebijaksanaan dari Tuhan. Dengan iman yang teguh, kita pasti dapat melakukannya!
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya