PAK Dan Spiritualitas Orang Dewasa




PAK Dan Spiritualitas Orang Dewasa

I. Pendahuluan

Dewasa ini gereja berkeyakinan bahwa pendidikan Kristen perlu dimulai pada golongan usia sedini mungkin. Jika itu diyakini oleh gereja maka strateginya adalah memulai pendidikan Kristen pada orang tua sebab orang-orang tua inilah yang akan menjalankan pendidikan Kristen pada anak-anak. PAK orang dewasa mempunyai tekanan utama pada upaya membekali orang tua untuk mampu menjadi orang tua supaya mereka mampu menjadi pendidik yang baik dan ampuh bagi anak mereka. Menuju kepada kedewasaan penuh adalah sebuah proses yang panjang dalam membangun kedekatan dengan Tuhan dan itu terjadi lewat formasi spiritualitas. Karena itu kedewasaan spiritual mensyaratkan penataan ulang prioritas, berubah, dan belajar menaati Allah. Kunci dari kedewasaan ini adalah kekonsistenan, ketekunan dalam melakukan hal-hal yang mendekatkan kita pada Allah lewat pembacaan dan mempelajari Alkitab, doa, persekutuan, dan pelayanan. Spiritualitas itulah yang menggerakkan kita menunjukkan perhatian bagi kesejahteraan sesama.

II. Pembahasan

2.1.Pengertian PAK (Dewasa)

PAK Orang Dewasa adalah seluruh aspek pendidikan yang didasarkan pada tujuan Alkitabiah teologis, dan kerohanian, dalam hal kerohanian orang dewasa yang mengarahkan orang dewasa agar dapat menjalani kehidupan spritual dengan baik dan bebar sehingga menjadi dampak positif bagi orang lain, baik dalam gereja, masyarakat dan dimanapun berada.[1] Sejatinya pendidikan orang dewasa dapat mengakomodir segala aspek yang dibutuhkan orang dewasa yang terkait dalam aktivitas pembelajaran. Karena itu, idealnya dalam pendidikan orang dewasa dapat dilaksanakan. Langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:

a. Menciptakan iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa

b. Menciptakan struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif

c. Mendiagnosis kebutuhan belajar

d. Merumuskan tujuan belajar

e. Mengembangkan rancangan kegiatan belajar

f. Melaksanakan kegiatan belajar

g. Mendiagnosis kembali kebutuhan belajar (evaluasi)[2]

Pendidikan Agama Kristen mengajarkan setiap orang kristen untuk mengenal Tuhan Yesus dengan dasar iman yang benar. Proses belajar mengajar yang alkitabiah, denagn kuasa roh kudus dan berpusatkan pada Kristus. Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang berisi ajaran tentang iman Kristen. Maksudnya ajaran yang menekan pada moral dan mental serta rohani seseorang, penekanan pendidikan mengarah pada tiga aspek pendidikan yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang terjadi pada proses belajar mengajar sistematis. [3]

2.2. Pengertian Orang Dewasa

Istilah “adult” berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah “adolescene-adolescere”, yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Akan tetapi kata adult berasal dari bentuk lampau participle dari kata kerja adults yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedududkannya dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. [4] Elisabeth B.Hurlock menyatakan bahwa orang dewasa juga dapat diartikan sebagai individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.[5]

2.3. Pengertian Spiritualitas

Kata Spiritualitas berasal dari kata “spirit”. Dalam bahasa Latin disebut dengan spiritus yang berarti “roh, nafas” dan dari kata “spirare” yakni “bernafas”. Spiritualitas dalam bahasa Perancis La Spiritualite yang berarti suatu cara menyadari, memikirkan dan menghayati kehidupan rohani. Spiritualitas adalah bukti kerohaniaan.[6] Spiritalitas pada umumnya dimaksudkan sebagai hubungan pribadi seseorang yang beriman dengan Allahnya dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan. Selain ini juga spiritualitas tidak hanya dimiliki oleh satu agama saja, akan tetapi semua agama pasti memilikinya.

Dalam KBBI kata spiritualitas berasal dari bahasa latin “spiritus” yang artinya adalah roh, jiwa, sukma, nafas, ilham, kesadaran diri, dan kebebasan.[7] Spiritual menyangkut masalah kejiwaan, rohani, batin, mental, moral, dan spiritualitas dapat juga diartikan kepada pembentukan kejiwaan serta penjiwaan. Muwafik saleh mengutip sebuah pandangan Daniel Goleman yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional meliputi dua kecakapan yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi terdiri atas tiga faktor yakni kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi. Sedangkan kecakapan sosial meliputi dua faktor yaitu kesadaran sosial dan keterampilam sosial. Faktor-faktor inilah yang disebut dengan kecerdasan emosional yang merupakan fungsi kerja dari otak kanan. Kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantarkan manusia kepada penemuan “hakekat diri yang sejati”. Spiritualitas menjadi bukti sebagai media untuk mengantar pada kesuksesan hidup.[8]

Menurut Rahmiati Tanudjaja, ada beberapa tolok ukur yang sering dipakai oleh orang Kristen pada zaman ini untuk mengukur spiritualitas seseorang:

1. Keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas kerohanian, contohnya, semakin sering ia mengikuti persekutuan doa atau ke gereja maka ia dinilai lebih rohani dari yang tidak melakukannya.

2. Keterlibatan seseorang dalam berbagai pelayanan sosial, misalnya, orang yang banyak terlibat dalam menolong dan berjuang untuk orang lain yang terkena bencana atau dilecehkan sesamanya, maka orang tersebut dinilai memiliki kepekaan rohani yang lebih tinggi dari yang lain.

3. Penampakan fenomena supranatural melalui kehidupannya, misalnya, orang yang dapat mendemonstrasikan berbagai macam mujizat atau orang yang mengalami berbagai macam kejadian yang bersifat supranatural, maka ia dinilai lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengalaman yang demikian.

4. Penampakan pola hidup yang menjauhkan diri dari kegiatan “duniawi”, misalnya orang yang tidak pernah pergi ke bioskop, tidak pernah ke kafe atau ke pesta-pesta dansa dinilai lebih kudus dari orang yang suka pergi ke tempat-tempat seperti itu.

5. Pemakaian atribut kristiani, misalnya orang yang selalu bawa Alkitab, pakai aksesori Kristen (kalung salib, anting salib, T-Shirt berslogan atau bergambar kristiani) atau selalu mendengarkan lagu-lagu Kristen dianggap lebih cinta Tuhan dari yang tidak memakainya.[9]

2.4. Pengertian Spiritualitas Kristen

2.4.1. Pengertian Spiritualitas Kristiani menurut Alkitab

Dalam Alkitab, spiritual yang berasal dari kata spirit ditulis dalam bahasa asli: ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani). Arti kata ruakh atau pneuma dalam Alkitab adalah “nafas atau angin yang menggerakkan dan menghidupkan”. Pengertian ini sama dengan pengertian kata spirit yang sering kita pakai sesehari, yaitu ‘semangat’. Semangat atau spirit yang kita butuhkan untuk bergerak dan hidup. Semangat atau spirit ini hanya kita miliki di dalam Holy Spirit (Roh Kudus)[10] Oleh karena spiritualitas berkaitan dengan kehidupan iman – apa yang menggerakkan dan memotivasinya, dan hal apa yang ditemukan orang paling menolong dalam menopang dan membangunnya, maka McGrath menyimpulkan bahwa Spirituality concerns the quest for a fulfilled and authentic religious life, involving the bringing together of the idea distinctive of that religion and the whole experience of living on the basic of and within the scop of that religion. (Spiritualitas menyangkut adanya keinginan mencari dan memenuhi kebenaran hidup secara agamawi, meliputi hal-hal yang bersifat memperjelas konteks agama dimaksud, serta keseluruhan pengalaman makhluk hidup dalam ruang lingkup agama itu sendiri).[11]

Seorang teolog Indonesia, yaitu Eka Dharmaputra memahami bahwa spiritualitas adalah roh, jiwa, semangat dan gairah. Spiritualitas menempati rangking teratas dalam skala prioritas. Ibarat gereja yang mempunyai segala macam dan segala sesuatu: gedung gereja, pendeta, kegiatan-kegiatan, keuangan, aktivitas yang banyak, tetapi tanpa spiritualitas yaitu roh, jiwa, semangat dan gairah, maka semuanya itu akan berubah menjadi sekedar sebuah rutinitas gereja semata.[12]

Spiritualitas berasal dari bahasa Latin spiritus artinya ‘roh, jiwa atau semangat.’ Dalam bahasa Ibrani ruach dan bahasa Yunani pneuma yang berarti ‘angin atau nafas.’ Jadi spiritualitas dapat diartikan sebagai ‘semangat yang menggerakkan sesuatu.’ Alkitab mencatat perbandingan orang dengan spiritulitas dan yang tidak. Dalam Surat 1 Korintus, digunakan kata pneumatikos untuk menegur golongan tertentu di dalam Jemaat Korintus yang menganggap diri mereka ‘spiritual atau rohani’. Mereka merasa memiliki karunia-karunia istimewa, yaitu karunia nubuat dan bahasa roh. Namun walaupun hidup dipenuhi karunia-karunia tetapi mereka masih hidup di dalam pertengkaran, percabulan, penyembahan berhala, ajaran sesat dan semacamnya. Paulus menyebut mereka sebagai manusia duniawi yang tidak dapat menerima hal-hal spiritual yang berasal dari Roh Allah.

Sementara manusia duniawi adalah manusia psukhikos “bersifat jiwa, alamiah” (1Kor. 2:13-15; 15:44-46); dan sarkikos “bersifat daging” (1Kor. 3:1; 9:11-13). Manusia duniawi hidup tanpa Roh Allah dan oleh karena itu mereka tidak dapat mengerti hal-hal yang spiritual. Sebaliknya manusia spiritual adalah manusia yang dapat menilai segala sesuatu karena hidupnya dipimpin oleh Roh Allah dan memiliki pikiran Yesus Kristus. (1Kor. 2:15-16). Kehidupan spiritualitas orang-orang percaya didasari oleh iman yang tertuju kepada Yesus Kristus. Dengan percaya dan beriman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat yang telah menebus dosa-dosa dunia dan yang telah bangkit, maka mereka menerima karunia Roh, yaitu Roh Kudus tinggal di dalam kehidupan mereka. Berdasarkan karunia Roh yang diterima dan tinggal di dalam hidup orang-orang percaya, maka kehidupan mereka yang lama diperbarui. Mereka memiliki hidup yang baru yang berada di dalam kasih Allah.

Dengan demikian maka kehidupan spiritualitas Kristen merupakan kasih karunia dan anugerah Allah semata-mata. Kehidupan spiritualitas ada karena kasih karunia dan anugerah Allah yang mengerjakan dan mengaruniakan keselamatan bagi orang-orang percaya melalui karya penebusan Yesus Kristus di atas kayu salib. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa munculnya kehidupan spiritualitas di dalam diri orang-orang percaya inisiatifnya datang dari Allah. Memiliki kehidupan spiritualitas sejati berarti memiliki kesadaran spiritualitas yang peka dan jernih terhadap realitas kehadiran Allah, baik di dalam kehidupan pribadi sebagai orang percaya maupun di dalam kehidupan bersama dengan orang lain. Di wilayah-wilayah kehidupan apa pun misalnya kehidupan emosional pribadi, sosial, ekonomi, moral, seksual, profesi, hubungan dengan sesama dan semacamnya tidak dibiarkan lepas dari kesadaran spiritualitas tersebut. Hal ini didasari pada pengakuan yang sepenuhnya bahwa tidak ada satupun bagian kehidupan orang-orang percaya yang boleh terpisah dari kehadiran Allah. Akibatnya kehidupan yang dijalani oleh orang percaya adalah kehidupan yang kudus dan benar. Hidupnya mengalami proses dituntun dan diajar oleh Roh Kudus untuk mengenal dan mendalami kebenaran Kristus sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab.[13]

2.4.2. Ciri-ciri Spiritualitas Kristen

Menurut Widi Artanto, terdapat empat ciri spiritualitas Kristen yang dapat kita amati, yaitu:

1. Spiritualitas Kristen berpusat pada Allah. Allah menjadi sumber dari spirit untuk hidup dalam semua bidang dan aspeknya karena Allah adalah sumber kehidupan manusia dan dunia ini. Dengan rendah hati kita mengakui keringkihan manusia dan karena itu spiritualitas Kristen tidak berpusat pada diri manusia melainkan Allah. Kita juga harus menyadari bahwa kita dapat menjumpai Allah karena Allah terlebih dahulu bersedia menjumpai kita. Itulah sebabnya spiritualitas Kristen merupakan wujud dan kerinduan untuk hidup dalam keterarahan kepada Allah.

2. Spiritualitas Kristen berpijak pada dunia. Kita pergi menjumpai Allah bukan untuk melarikan diri dari kenyataan dunia atau untuk menikmati kehangatan hadirat Allah sampai lupa pada dunia yang sedang menderita. Sebaliknya perjumpaan Allah dalam kontemplasi memberikan kekuatan dan mengarahkan kita untuk makin berani hidup di tengah-tengah dunia. Kita juga makin mengasihi dunia yang dikasihi Allah namun selalu bergumul dalam penderitaan. Dengan spiritualitas, kita makin menyadari dan dimampukan untuk berpijak dan melayani sesama kita (terutama mereka yang menderita) di dunia ini.

3. Spiritualitas Kristen berpihak pada keadilan dan kebenaran. Perjumpaan dengan Allah, sesama dan diri sendiri dalam spiritualitas Kristen membuka kemungkinan untuk mengenal maksud Allah terhadap manusia dan dunia ini, yaitu agar manusia dan dunia hidup dalam keadilan dan kebenaran. Sikap dan tindakan Allah yang adil dan benar terhadap diri kita sendiri juga menjadi dasar untuk berpihak kepada keadilan dan kebenaran. Bila keadilan dan kebenaran bagi diri kita sendiri dan sesama dirusak atau dipinggirkan karena ulah manusia yang menindas, kita akan berpihak kepada mereka yang mengalami ketidakadilan itu. Dalam keberpihakan itu kita membutuhkan spiritualitas yang memberikan keberanian untuk berjuang bersama mereka.

4. Spiritualitas Kristen bersifat terbuka. Orang Kristen yang makin dewasa karena berkembang dalam spiritualitas akan menjadi orang yang terbuka. Keterbukaan terhadap Allah mempengaruhi dan menentukan keterbukaan terhadap sesama dan dunia ini. Semakin dewasa seseorang, ia semakin siap terbuka dan berjumpa dengan orang lain. Spiritualitas Kristen mendorong keterbukaan terhadap orang lain yang berbeda karena dalam perjumpaan dengan Allah, kita menemukan diri kita sebagai manusia yang lemah seperti orang lain. Kita juga makin terbuka pandangan dan penghayatan hidup dan iman orang lain karena Allah tidak pernah menuntut diri kita menjadi apa yang seharusnya. Ia menerima diri kita apa adanya dan karena itu juga harus selalu terbuka menerima orang lain apa adanya.[14]



2.5.Pandangan Alkitab tentang Spiritualitas

2.5.1. Spiritualitas dalam Perjanjian Lama

Dalam Perjanjian Lama spiritual adalah keadaan orang dalam kedalaman dirinya mencari-cari kebenaran, merenung-renung keberadaanya, mencari Tuhan, hidup saleh, hidup berkenan dihadapan Allah, memandang jauh sambil berharap, merenungkan atau menyimpan dalam hati (Yos 1:8), mengingat atau memikirkan berulang-ulang, memperhatikan untuk mengetri (Mzm 1:1; 49:4; 77:6). Spiritualitas dalam alkitab tidak hanya kegiatan yang dilakukan kepentingan diri sendiri, tetapi hasilnya dapat dirasakan oleh orang lain dengan mengucapkan, menyuarakan berulang, mendoakan (Mzm 19:15). Spiritualitas merupakan pengenalan akan Allah secara lebih dalam dan bermakna dalam kehidupannya. Maka spiritualitas merupakan usaha hidup rohani yang berpangkal dari hati dan melibatkan seluruh segi kemanusiaan orang itu: pikiran, perasaan, imanjinasi, jiwa, akal budi, sikap, hati dan sebagainya.[15]

Dalam kitab Perjanjian Lama ada beberapa tokoh yang menggambarkan tentang spiritualitas diantaranya Daniel, Ayub, Nuh, dll. Dalam kisahnya Daniel disebut juga teladan orang percaya dan sebagai orang yang bijaksana yang menyadari kapan waktu pemerintah pada saat itu melewati batas kewibawaan yang ditetapkan Tuhan atas seluruh bumi. Daniel menunjukkan bagaimana orang turut bertanggung jawab dalam pemerintahan dan sekaligus memasyhurkan Tuhan. Dia mempersiapkan diri dengan berdoa dan berpuasa serta merenungkan kumpulan kitab suci (bnd. Dan. 9:2-19). Isi utama dari doa adalah ungkapan spontan yang timbul dari pengalaman pribadi. Doa dalam Perjanjian Lama menunjukkan tingkat keakraban yang cukup tinggi (Kej. 15:2-3). Doa berkaitan dengan persembahan korban, yang dikenal dengan istlah “mencari Tuhan”. Hubungan ini merupakan hal yang sangat penting, karena menegaskan bahwa salah satu sikap dasar doa adalah kepatuhan kepada kehendak Tuhan. Doa juga merupakan sarana untuk menyatakan kasih kepada Tuhan dan kepada sesama.[16] Ada hal penting di dalam pemahaman akan doa yang mana doa adalah kekuatan bagi orang Kristen. Doa berarti menjalin komunikasi dengan Allah. Dalam hal berdoa kita menyampaikan semua keinginan dan juga permasalahan kita, dan juga mencari perlindungan yang dari Allah. Ketika kita menyerahkan segala permasalahan kepada Allah bukan berarti kita mencari aman dan menjadi lepas tanggung-jawab akan tetapi tetap juga ikut berjuang melawan segala permasalahan tersebut. Dalam doa yang paling utama adalah kita mengakui Allah sebagai pencipta, yang dimana berbeda dengan kita ciptaan-Nya akan tetapi Ia tidak pernah lepas dari ciptaan-Nya. Doa juga merupakan nafas kehidupan orang Kristen. Ini menandakan bahwasanya orang Kristen dituntut untuk selalu berdoa agar kehidupan spiritualitasnya tidak mati ditengah-tengah kehidupan duniawinya.[17]

2.5.2. Spiritualitas dalam Perjanjian Baru

Berbicara tentang spiritualitas dalam PB kita dapat melihat Yesus sebagai tokoh utamanya karena spiritualitas secara sempurna hanya dapat kita temukan di dalam diri-Nya. Dalam pelayanan Yesus menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi, misalnya dalam hal membela orang miskin, menyembuhkan orang yang sakit, dan kasih-Nya yang begitu besar dengan penyelamatan manusia (Yoh. 3:16; Ef. 2:4-7). Hal mengikut Yesus adalah sebuah pelayanan. Mereka tidak akan memamerkan dirinya supaya orang lain melihat dan mengetahui kebaikan mereka (Mat. 6:5-6; 16:18). Mereka akan berdoa dan berpuasa secara tersembunyi dan Bapa ditempat yang tersembunyi akan membalas kepada mereka yang mereka perbuat (Mat. 6:4).[18] Karena Allah telah hadir dalam diri manusia, maka manusia akan memperlihatkan sisi positif dari kehadiran-Nya tersebut, terciptalah relasi yang indah antara Allah dengan manusia. Kehidupan yang berspiritualitas adalah kehidupan yang menghasilkan buah. Buah tidak dibuat tumbuh dengan sendirinya. Dengan Roh, manusia tidak terbagi-bagi dan dengan Roh hubungan antar manusia diutuhkan. Bagi Paulus kebaikan adalah pemberian, sesuatu yang boleh diterima dan dipergunakan.[19] Roh ini pun menghasilkan buah. Adapun buah-buah Roh adalah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan dan pengusaan diri (bnd. Gal. 5:22). Spiritualitas dinilai meliputi suatu kondisi mengasihi atau dapat dikatakan hubungan yang akrab dengan Tuhan menghasilkan buah hidup yang penuh kasih baik itu dalam keluarga (antara orangtua dan anak) ataupun gereja dan masyarakat.

Spiritualitas merupakan ketaatan terhadap terhadap karya Roh Kudus. Ia merupakan kemampuan untuk menjalani hidup kemuritan, yang menyangkut komitmen bagi pembangunan masyarakat yang lebih baik. dengan kata lain sumber dan kekuatan pemandu dari kekuatan Roh Kudus. Hal yang demikian akan terjadi dalam kehidupan pribadi yang percaya Allah melalui Roh Kudus bekerja dalam hati. Pengalaman-pengalaman yang terjadi pada jemaat yang ada dalam Perjanjian Baru, begitu juga pada ketuju sidang jemaat yang diceritakan dalam Kitab Wahyu (2-3), dapat kita lihat bahwa gereja selalu berurusan dengan ajaran-ajaran yang menggoda iman Kristen dalam satu bentuk dan bentuk lainnya. Begitu juga dalam sejarah gereja bahwa ada kalanya tantangan itu bukan datang dari luar, tetapi tumbuh dari dalam berupa ajaran-ajaran yang sekratis yang sering menggeser kedudukan Kristus sebagai Jurus selamat.

2.6. Pengertian Spritualitas Menurut Para Tokoh

Ada beberapa pengertian spiritualitas menurut beberapa tokoh yaitu:

1. George Ganns

Spiritualitas merupakan pengalaman yang dihayati, suatu upaya mengaplikasikan unsur yang relevan dalam iman Kristen yang dapat membimbing perempuan maupun laki-laki menuju spiritual mereka menuju perkembangan progresif pribadi-pribadi mereka dan yang berkembang secara proporsional menjadi sukacita dan pengertian yang semakin besar.

2. Richard O’Brien

Spiritualitas berkaitan dengan pengalaman kita akan Allah dan berkaitan dengan transformasi kesadaran serta hidup kita sebagai hasil dari pengalaman itu.

3. Philip Shaldrake

Spiritualitas merupakan istilah yang berguna untuk menjelaskan bagaimana kita, sebagai pribadi baik secara individu maupun secara kolektif, mengikuti berbagai keyakinan Kristen tradisional tentang Allah, umat manusia dan dunia, serta mengekspresikannya dalam sikap, gaya, hidup, serta aktivitas utama kita.

4. Don E. Saliers

Spiritualitas berarti pengalaman yang dihayati dan kehidupan doa maupun perbuatan yang dilakukan dengan penuh disiplin; namun spiritualitas tidak dapat dipahami terlepas dari berbagai keyakinan teologis yang merupakan unsur-unsur dalam anaeka bentuk kehidupan yang mengejawantahkan iman Kristen yang otentik. [20]

Dapat disimpulkan bahwa Spritualitas adalah tingkah laku seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.

2.7.Tugas – Tugas Perkembangan Spiritual

1. Masa Prasekolah

a. Mengalami kasih, rasa aman, disiplin, sukacita, dan penyembahan

b. Mulai mengembangkan kesadaran dan konsep tentang Allah, dan Realitas-realitas kristiani yang mendasar lainnya

c. Mengembangkan sikap terhadap Allah, Yesus, Gereja, diri sendiri, dan Alkitab

d. Mulai mengembangkan konsep tentang yang benar dan salah

2. Masa Sekolah Dasar

a. Menerima dan mengakui Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan

b. Bertumbuh dalam kesadaran akan kasih dan tanggung jawab kristiani dalam hubungannya dengan orang lain

c. Terus membangun konsep tentang realitas – realitas kristiani yang mendasar

d. Mempelajari pengajaran Alkitab yang mendasar yang menunjang Iman Pribadi dan kehidupan Kristen sehari hari

1. Doa dalam kehidupan sehari-hari

2. Alkitab dalam kehidupan sehari-hari

3. Persahabatan Kristiani

4. Penyembahan bersama

5. Tanggung jawab untuk melayani Tuhan

6. Pengetahuan dasar tentang Allah, Yesus, Roh Kudus, ciptaan, malaikat, surga, neraka, keselamatan, sejarah Alkitab, dan literatur Kristen

3. Masa Remaja

a. Belajar menunjukan kasih kristiani dalam kehidupan sehari-hari

b. Terus mengembangkan sikap yang sehat terhadap diri sendiri

c. Mengembangkan pengetahuan Alkitab dan keterampilan intelektual yang berguna untuk melawan serangan terhadap iman

d. Mencapai kekuatan karakter kristiani yang berguna untuk melawan tekanan-tekanan social yang anti Kekristenan

e. Menerima tanggung jawab pelayanan Kristiani sesuai dengan kemampuan yang bertambah

f. Belajar membuat keputusan-keputusan berdasarkan nilai-nilai kristiani yang bersifat kekal

g. Meningkatkan disiplin diri untuk “ mencari hal-hal yang di atas”

4. Kedewasaan

a. Menerima tanggung jawab untuk terus bertumbuh dan belajar

b. Menerima tanggung jawab yang Alkitabiah terhadap Allah dan sesama

c. Menjalani kehidupan yang berintegritas, bertujuan yang berpusat kepada Allah[21]



2.8.Sumber Spritualitas

Sumber spritualitas orang kristen adalah Yesus Kristus , yang dimungkinkan melalui kehadiran dan karya Roh Kudus. Spritualitas bukanlah suatu keagamaan manusia super, melainkan kemanusiaan sejati yang dibebaskan dari ikatan dosa oleh pembaharuan Roh Kudus yang memungkinkan ia beriman kepada kristus dab karya penebusannya di atas kayu salib juga menyebutkan, spritualitas sejati dimulai dari kelahiran kembali oleh kehadiran dan pekerjaan roh Allah. Roh itu selanjutnya memberikan sikap positif, orientasi baru terhadap realitas hidup pada masa kini dan terutama memungkinakan dua relasi penting: relasi yang akrab dengan Allah dan relasi yang bermakna dengan sesama manusia. Relasi dengan Allah dalam Yesus Kristus melahirkan kontinuitas kemenangan, kemeerdekaan dari kuasa dosa dan pemahaman yang semakin sempurna atas kedudukan istimewa sebagai anak-anak Allah (Roma 8:15;Galatia 4:6,7).[22]

2.9. Landasan atau dasar Teologis PAK dan Spritualitas

PAK mesti memiliki landasan atau dasar teologis. Landasan atau dasar teologis ini merupakan pengarah tugas bagi pendidikan itu sendiri. Setidaknya terdapat enam landasan teologis yang menjadi unsur penting dalam kegiatan PAK, yaitu:

1. Pengenalan akan Allah, yaitu PAK haruslah berusaha membawa pendidik dan peserta didiknya belajar, yakni belajar semakin mengenal Allah dalam berbagai aspek kehidupannya.

2. Pandangan mengenai kedudukan dan fungsi Alkitab. PAK harus menentukan kedudukan dan fungsi Alkitab dalam proses pembelajaran. Jika Alkitab sebagai tujuan akhir, maka pendidikan akan diarahkan untuk “penguasaan” isinya. Keberhasilan kegiatan diukur dari segi seberapa jauh peserta didik menguasai isi Alkitab. Jika Alkitab sebagai bahan atau subject matter, kegiatan pendidikan sangat mengutamakan Alkitab itu sendiri dalam perumusan kurikulum. Bahan sajian disampaikan sedemikian rupa dengan harapan berbicara kepada pendengarnya, guna menimbulkan perubahan hidup (life transformation). Dan jika Alkitab sebagai alat, bahan pengajaran Alkitab dijadikan sebagai “metafora” dalam upaya menyampaikan nilai-nilai moral, etis dan spiritual.

3. Pengenalan terhadap Yesus Kristus. PAK terpanggil untuk meneladani Yesus sebagai Guru Agung, yang memberikan perspektif komprehensif tentang hakikat dan tugas pendidikan. Arti menjadi guru, nilai serta resiko menjadi guru didemonstrasikan oleh Yesus semasa Ia membina para murid, seperti diungkapkan dalam Kitab Injil. PAK pun dituntut untuk membimbing orang guna memiliki pemahaman serta relasi yang benar dalam bersifat pribadi dengan Yesus Kristus. Sebab, Ia memberi kuasa, pengampunan dan dosa (Mrk. 2:9-10). Ia memberikan hikmat, kesucian hidup dan pengharapan serta kemuliaan (1 Kor. 1:30; Kol. 1:27); 2:9-10). Secara langsung, Ia adalah Sumber Kedamaian batin serta kekuatan spiritual dan mental dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari (Yoh. 14:27; 15:4-5; Flp. 4:13).

4. Roh Kudus dan peranan-Nya. Dinamika pendidikan dalam perspektif iman Kristen ialah Pribadi Roh Kudus. PAK haruslah memberikan pandangan yang benar mengenai Pribadi Roh Kudus. Kegiatan ini juga harus mendorong orang memiliki relasi yang baik dengan Dia, mengalami kehadiran dan penyertaan-Nya. Sebab, Roh itulah yang memberi hidup, semangat, gairah atau motivasi. Kemampuan verbal belaka tidak akan membawa dampak besar bagi upaya kesuksesan misi pendidikan.

5. Manusia, kedudukan dan panggilan. Manusia, pelaku dan penerima layanan pendidikan adalah makhluk yang kompleks sifatnya. Alkitab mengajarkan bahwa adanya manusia di alam semesta ini adalah hasil karya penciptaan Allah. Pendidikan terpanggil untuk mengarahkan manusia memperoleh pemenuhan kebutuhan spiritual, batiniah, dan bahkan fisiknya secara sehat dan benar. Karena itu pula, pendidikan dituntut untuk memberikan pelayanan menyeluruh, tidak mementingkan salah satu aspek saja dari kehidupan manusia.

6. Kedewasaan. Manusia sebagai pelaku pendidikan adalah insan yang berkembang di sepanjang hidupnya. Baik pendidik mau pun peserta didik terus berada dalam perubahan. Banyak segi dari hidupnya, termasuk fisik, intelek, rohani, emosi, kehendak dan sikap akan mengalami penyesuaian sejalan dengan perkembangan itu. Banyak pula tahapan dan bentuk krisis yang dilaluinya dalam perkembangan itu. Karena kedewasaan berjalan sebagai proses di dalam konteks ruang dan waktu, maka pendidikan Kristen tidak henti-hentinya memberikan bimbingan itu. Sebab, dalam perspektif Kristen, kedewasaan merupakan proses perubahan hidup dari satu tahap ke tahap berikutnya, oleh dinamika Roh Kudus, ke arah pengenalan yang lebih dekat terhadap Allah melalui Yesus Kristus (band. 2 Kor. 3:17-18). Pengenalan terhadap Allah dalam hal ini tidak saja “mengetahui tentang” Dia, tetapi menjadikan Dia dasar, pusat dan tujuan segala pemikiran dan tindakan.[23]



Bagimanapun juga spiritualitas adalah proses yang menuju pada pertumbuhan, yaitu proses yang terus menerus menumbuhkembangkan kedekatan hidup dengan Tuhan. halnya relasi dengan orang lain, demikian juga relasi dengan Tuhan. Dalam berelasi, Allah adalah inisiator, tetapi respons manusia juga penting.[24] SepertiAlkitab mengajarkan bahwa kekuatan spritualitas seorang kristen akan berkembang dalam kehidupannya apabila ia terus berakar dalam firman Allah (Mzm. 119;2, Tim. 3;16, 17; yoh 8;31, 32; 15;70) firman Allah memberi kemerdekaan dari dosa kebebesan dari kebodohan/kepicikan iman, menuntun kepada kebenaran yang sejati berkaitan dengan asal, tujuan, dan panggilan manusia didunia ini (Yoh 17:17), memberikan prinsip, nilai dan tatanan yang memungkinkan manusia bijak.[25]



2.10. Aspek Spiritual

1. Pengelolaan diri

Pengelolaan diri selalu perlu mempertimbangkan pemahaman tentang diri yang selalu berada dan berkembang dalam konteks sosial, dimana pengelolaan diri mengandung arti bagaimana seseorang mengelola diri dan perasaan yang dialaminya.

2. Kemampuan untuk memotivasi diri

Kemampuan ini berguna untuk mencapai tujuan jangka panjang, mengatasi setiap kesulitan yang dialami bahkan untuk melegakan kegagalan yang terjadi. Kemampuan ini untuk memotivasi diri tanpa memerlukan bantuan orang lain. Menurut sebuah situs memotivasi diri merupakan proses menghilangkan faktor yang melemahkan dorongan seseorang. Rasa tidak berdaya dihilangkan menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Sementara harapan dimunculkan kembali dengan membangun keyakinan bahwa apa yang diinginkan bisa dicapai.

3. Empati

Empati ini dibangun dari kesadaran diri dan dengan memposisikan diri senada, serasa dengan emosi orang lain akan membantu seseorang mampu membaca dan memahami perasaan orang lain. Menurut Bullmer empati merupakan suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain. Empati merupakan pemahaman terhadap orang lain ketimbang suatu diagnosis dan evaluasi terhadap orang lain.

4. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling menguntungkan atau menguntungkan orang lain. Seorang yang memiliki keterampilan sosial akan lebih efektif karena ia mampu memilih dan melakukan prilaku yang tepat sesuai dengan tuntutan lingkungan.[26]

Mengenai aspek spiritual pada orang dewasa yaitu:

a. Dewasa Muda (18-25 Tahun)

Pada tahap ini, individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan pehatian utama pada usai ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.

b. Dewasa Pertengahan (25-38 Tahun)

Dewasa pertengahan merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem niali. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual.

c. Dewasa Akhir (38-65 Tahun)

Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat.

d. Lanjut Usia (65 Tahun sampai kematian)

Pada tahap perkembangan ini, menurut Haber (1987) pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak mengeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik, ia tidak takut mati dan lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri. Dimensi spiritual menjadi bagian yang komperensif dalam kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyakinan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menujukkan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda.[27]

2.11. Bentuk-Bentuk Spritualitas

Terdapat beberapa bentuk-bentuk dari spitualitas yaitu:

1. Spritualitas heteremoni: dalam bentuk spritualitas ini, pencari atau pengaamal spritual cenderung menerima, memahami, meyakini, dan mengamalkan acuan spritual yang bersumber dari otoritas luar. jadi pada intinya penganut tipe ini mereka bersikap menaati dan menerima makna tanpa merasionalisasi makna ajrannya.

2. Spritualitas otonom : bentuk spritual yang bersumber dari refleksi terhadap kemahabesaran Tuhan dan ciptaannya.

3. Spritual Interaktif, proses spritualitas yang terbentuk akibat dari proses interaksi diri sendiri dan lingkungan. [28]

2.11.1. Tanda Kedewasaan Spiritual Kristen menurut pandangan Tokoh

Rick Warren memberikan lima karakteristik orang yang disebut sebagai orang yang dewasa secara spiritual, yaitu:

a. Seseorang yang telah dilahirkan kembali

b. Seseorang yang memiliki relasi yang mendalam dengan Tuhan

c. Seseorang yang memahami Firman Tuhan

d. Seseorang yang tumbuh secara kognitif, sikap/prilaku, kebiasaan dan karakter

e. Seseorang yang mencintai Tuhan dan sesamanya.[29]

Amirtham & Pryor di bagian lain memberikan delapan tanda kedewasaan spiritual Kristen, yaitu:

a. Spiritulitas rekonsiliatif dan integratif, kedewasaan spiritualitas harus mengekspresikan dirinya dan berintegrasi dengan komunitasnya secara holistik.

b. Spiritualitas inkarnasional, kedewasaan spiritual ditunjukkan dalam aktivitas sehari-hari yang berlangsung di sepanjang hidup, oleh karena itu spiritualitas inkarnasi harus dikomunikasikan dengan memperhatikan sensitivitas budaya dan bahasa. Bahasa kedewasaan spiritual tidak harus terlalu jauh dari bahasa anggota gereja dan pengalaman kehidupan dan pergumulan mereka dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan gereja.

c. Kedewasaan spiritual harus berakar pada Kitab Suci dan ditumbuhkembangkan dengan doa. Orang-orang percaya harus dibawa masuk ke dalam Firman Allah, yang dibaca dan dimaknai di tengah-tengah realitas sejarah mereka. Keheningan/kesendirian juga diperlukan untuk bersekutu dengan Tuhan untuk mengalami kehadiran Allah dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selain itu, kita perlu mengakui akan kehadiran Roh Kudus di tengah-tengah aktivitas kita sehari-hari.

d. Spiritualitas yang berani membayar harga, artinya adalah spiritualitas yang ditunjukkan Yesus yang menyatakan kasih dan sikap solidaritasnya terhadap orang miskin yaitu spiritualitas sejati dengan memberi makan kepada yang lapar, bukan dari roti saja, tetapi dengan kasih yang bermartabat.

e. Spiritualitas memberi hidup dan pembebasan, spiritualitas Kristiani ialah spiritualitas yang terus terhubung dengan sumber kehidupan, ia memberikan kuasa membebaskan untuk berbagi dalam pencarian seseorang untuk kehidupan sejati. Hal ini mencakup kesediaan untuk berbagi kehidupan dengan orang lain dimana dan kapan saja.

f. Komunitas yang berakar dan berpusat pada ekasristi. Dalam sakramen perjamuan kudus orang percaya mencicipi anugerah kehidupan dan merayakan kepenuhan hidup dalam kesatuan. Ekaristi mengingatkan bahwa kita harus hidup bagi orang lain, sama seperti Kristus menunjukkan perhatian kepada semua orang.

g. Spiritualitas yang menunggu inisiatif Allah yang bersifat surprise, dari pada mencoba untuk memaksakan Tuhan dalam perencanaan manusia atau untuk mengatur kehadiran Allah. Orang percaya hanya bisa, dengan segala kerendahan hati, berusaha untuk terbuka terhadap kehadiran Allah tanpa berusaha untuk memaksa dan memanipulasi kehadiran itu.

h. Spiritualitas tentang proses kasih Allah yang tidak terkatakan di bumi. Spiritualitas berakar secara dalam di dalam sejarah dan diarahkan menuju kehidupan di bawah bimbingan Allah yang transenden, yang mengangkat seluruh ciptaan dalam syafaat di hadapan yang Maha Kuasa.[30]

2.12. Sifat Spritualitas

Spritualitas kristen bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan hakekat Kekristenannya sendiri Pertumbuhannya merupakan hasil hubungan kita sendiri dengan Dia, dalam wadah komunitas dan persekutuan dengan sesama orang percaya. Pertumbuhan ini juga dimungkinkan bukan dalam suasana keterisolasian, bebas dari kemelut hidup, tetapi justru ketika menghadapi berbagai krisis pskikologis dan sosiologis ditengah-tengah masyarakat. [31] Memiliki sifat spiritualitas berarti berupaya menjadi serupa dengan Allah dan menerapkan semua sifat yang pernah Tuhan ajarkan kepada anak-anaknya selama ini dan tidak mengabaikan dari semua perintah yang diajarkanNya. Dengan memilih Allah tinggal didalam pribadi kehidupan kita, hal ini sama artinya dengan memperbaharui kehidupan yang lama menjadi baru kembali dan tidak membiarkan kehidupan lama yang buruk menguasai jiwa kita dan berakibat menjauhkan dari pada Allah. Namun belajar memahami ciri-ciri kerajaan Allah setiap saat. Hal yang ditekankan juga disini jika spiritualitas kristiani bukan sebuah sifat yang dinilai dan berada diluar jiwa melainkan yang berada dalam pribadi masing-masing dan menjadi kebiasaan setiap harinya terutama selalu ingin memiliki kedekatan dengan Tuhan Yesus.[32]

2.13.Formasi Pembentukan Spiritualitas

Pertumbuhan spiritual adalah kombinasi dari nature and nurture yaitu sifat alam dan lingkungan yang membentuknya. Ada banyak cara di mana pertumbuhan ini bisa terjadi, bukan bergantung pada tingkat persepsi kesadaran spiritual tetapi pada keterlibatan masing-masing pribadi dalam proses pertumbuhan spiritual yang terus menerus. Seperti relasi pada umumnya, hidup bersama dengan Allah perlu ditumbuhkembangkan. Tuhan adalah inisiator, tetapi respons manusia juga tidak kalah pentingnya. Respons itu mungkin sesuatu yang natural dalam arti bahwa orang percaya memiliki kapasitas untuk bertumbuh secara spiritual, dan itu berkembang sebagai bagian dari kehidupan yang menuju pada dewasa penuh.[33]

Tujuan dari adanya Formasi Spiritualitas adalah agar kehidupan spiritualitas seseorang dapat bertumbuh. Pertumbuhan itu sendiri bukanlah spiritualitas, namun kehidupan spiritual membawa seseorang ke dalam proses pertumbuhan, dan Tuhan terlibat dalam proses ini. oleh karena itu, pertumbuhan spiritual menjadi nyata ketika seseorang didorong oleh sebuah kerinduan yang mendalam agar kehendak Tuhan itu menjadi nyata dalam kehidupannya. Individu dan komunitas spiritual harusnya menjadi agen formasi spiritual, yang mencapai formasinya secara lengkap ketika ada upaya sadar dari setiap individu dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan kehidupan spiritualnya. Seperti yang dikatakan oleh Cully bahwa pertumbuhan ini dicapai lewat kombinasi yang tepat antara belajar tentang kehidupan spiritual dan bagaimana menghidupinya. Dengan kata lain,pertumbuhan spiritualitas melibatkan membaca Firman Tuhan, berdoa, merenung, dan hidup didalamnya. Menurut Cully, hal itu terjadi apabila ada interaksi terus-menerus antara belajar tentang kehidupan spiritual dan upaya melakukannya. Pertumbuhan spiritualitas adalah sebuah proses.[34]

2.13.1. Prinsip Pertumbuhan/Perkembangan Spiritual

Rick Warren dalam bukunya yang berjudul Purpose Driven Church tahun 1995 memberikan enam Prinsip pertumbuhan Spiritual, yaitu:

1. Pertumbuhan spiritual harus dipupuk, untuk berkembang dibutuhkan komitmen dan usaha untuk tumbuh (Ibrani 5:12).

2. Pertumbuhan Spiritual itu sederhana, setiap orang percaya dapat bertumbuh dan menjadi dewasa secara spiritual, kalau mereka mau memelihara hidup spiritualnya.

3. Pertumbuhan spiritual adalah proses yang membutuhkan waktu. Ini adalah perjalanan seumur hidup.

4. Pertumbuhan Spiritual lebih dimanifestasikan lewat karakter daripada lewat iman.

5. Pertumbuhan spiritual membutuhkan orang lain untuk berbagi dan membantu mereka untuk tumbuh.

6. Pertumbuhan spiritual membutuhkan pengalaman spiritual bersama dengan Allah yang menghasilkan kedewasaan spiritual.[35]

2.14.Psikologi Perkembangan

a. Dewasa Dini ( 18-34 Tahun)

1. fisik

Sejak usia sekitar 25 Tahun perubahan-perubahan fisik mulai terlihat. Perubahan-perubahan ini sebagian besar lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif.Secara berangsur-angsur, kekuatan fisik mengalami kemunduran, sehingga lebih mudah terserang penyakit.Akan tetapi bagaimana pun juga seseorang masih tetap cukup mampu untuk melakukan aktivitas normal bahkan bagi yang menjaga kesehatannya dan melakukan olahraga rutin masih terlihat bugar.[36]

2. kognitif

Berpikir positif, berpikir kreatif, proaktif dan Kritis,[37] kemampuan menyatakan perbedaan pendapat dengan kebijaksanaan dan kemampuan menerima kegagalan dan keberhasilan secara simpati.

3.segi emosi

Timbul kekuatiran tentang pekerjaan, perkawinan yang membuat mereka tegang, adanya keinginan yang besar tentang karier, keluarga dan kesehatan.Memiliki semangat yang kuat dalam bersaing.

4.segi social

Mulai menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan perkawinan, adanya waktu menerima, waktu tanggung jawab dan mandiri, masa kesepian ( terasing dari lingkungan). Berkembangnya kesadaran akan keterlibatan social. Suka menjamu teman-teman dirumah dan mulai ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan

5.segi Spiritualitas

Memperhatikan relasi pribadi dengan Tuhan seperti hubungan suami istri ( ibadah yang teratur, membentuk tim-tim doa, mengajak mereka terlibat dalam kegiatan gereja).[38]

b. Dewasa Madya ( 35-60 Tahun)

1.fisik

Kekuatan dan energy orang berkurang pada masa ini.Kemampuan panca indera dan tingkah laku sudah berkurang.

2.kognitif

Penyesuain terhadap peran dan pola hidup yang selalu berubah.Pada masa ini dituntut bertanggung jawab yang nyata. Pada masa ini juga merupakan saat mengevaluasi prestasi

3.mental Intelektual

Semakin tua orang akan semakin lambat dalam belajar meskipun masih tetap mampu dalam belajar

4.sosial

Masa ini merupakan masa keterpencilan yang mana dalam masa ini pria dan wanita merasa kesepian

5.spiritualitas

Orang pada masa usia ini menilai kembali tanggung jawab kedewasannya dan pelayananya dalam gereja. Pada masa ini dewasa mempunyai toleransi agama yang lebih baik daripada sebelumnya.[39]

c. Dewasa Lanjut ( 60 Tahun ke Atas)

1.fisik

Pada usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering pula diikuti penurunan daya ingat.

2.kognitif

Orang yang berusia lanjut lebih berhati-hati dalam belajar dan memerlukan waktu yang lebih banyak untuk mengintegrasikan jawaban mereka.

3.afektif

Harus bergantung pada orang lain. Cendrung untuk mengenang sesuatu yang sudah terlewatkan. Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang sudah tiada

4.spiritualitas

Menurunnya kehadiran dan partisipasinya dalam kegiatan gereja.Pada tingkat ini kepercayaan semakin mundur, seperti mengkosongkan diri, sekaligus mengalami diri sebagai makhluk yang berakar dalam Allah dan daya kesatuan.[40]



Masa dewasa biasanya dimulai sejak usia 18 tahun hingga kira-kira 40 tahun dan biasanya ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas dan organ kelamin anak telah berkembang dan mampu berproduksi. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan harapan-harapan terhadap perubahan tersebut.

Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:

a. Masa Dewasa Awal (Young Adult)

Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umur antara 21 sampai 40 tahun.

b. Masa Dewasa Madya (Middle Adult)

Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur 40-60 tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, di mana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhdap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.

c. Masa Dewasa Lanjut (Older Adult)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur 60 tahun sampai akhir hayat, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya sebagai berikut: perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, kekuatan fisik perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem saraf, dan penampilan.

Menurut Dr. Harold Shyrock dari Amerika Serikat, ada lima faktor yang dapat menunjukkan kedewasaan yaitu: ciri fisik, kemampuan mental, pertumbuhan sosial, emosi, dan pertumbuhan spiritual dan moral.

1. Fisik

Segi fisik saja belum dapat menjamin ketepatan bagi seseorang untuk dapat dikatakan dewasa. Dalam menentukan tingkat kedewasaan seseorang dari segi fisiknya harus pula mengetahui mengenai menentukan sendiri setiap persoalan yang dihadapi dan mengenai baik buruknya sebuah permasalahan hidup. Selain itu, juga adanya kepercayaan pada diri sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain, tidak cepat naik pitam dan marah, serta tidaj menggerutu di saat menderita dan menerima cobaan dari Tuhan sehingga dapat dilihat bagaimana seseorang dalam mengatasi persoalan tersebut.

2. Kemampuan Mental

Orang dewasa dapat berpikir secara logis, pandai mempertimbangkan segala sesuatu dengan adil, terbuka dan dapat menilai semua pengalaman hidup merupakan salah satu ciri-ciri kedewasaan pada diri seseorang. Berbagai persoalan hidup ini dapat diatasi bila ada kemampuan mental dala dirinya. Sering membaca buku-buku atau surat kabar dan majalah merupakan cara yang baik untuk memupuk perkembangan mental dalam diri seseorang.

3. Pertumbuhan Sosial

Perasaan simpatik kepada orang lain dan bahkan terhadap seseorang atau hal-hal yang paling tidak ia sukai sekalipun merupakan ciri kedewasaan secara sosial. Orang yang dapat berbuat seperti itu dia pasti pandai menguasai keadaan meskipun terhadap orang yang berlaku tidak baik terhadap dirinya meskipun untuk hal yang menyakitkan sekalipun.

4. Emosi

Emosi adalah keadaan batin manusia yang berhubugan erat dengan rasa senang, sedih, gembira, kasih sayang, dan benci. Kedewasaan seseorang itu dapat dilihat dari cara seseorang dalam mengendalikan emosi ini. Orang yang telah menguasai dan mengendalikan emosinya dengan disertai oleh kemampuan mental yang cukup dewasa, dia pasti dapat mengendalikan dirinya menuju kehidupan yang bahagia di kenyataan-kenyataan hidup, tabah dalam menghadapi setiap kesulitan dan persoalan hidup, dan dapat merasa puas dan sanggup menerima segala sesuatunya dengan lapangan data.

5. Pertumbuhan Spiritual dan Moral. Kematangan spiritual dan moral bagi seseorang yang mendorong dia mengasihi dan melayani orang lain dengan baik. Seseorang yang telah berkembang pertumbuhan moral dan spiritualnya akan lebih pandai dan lebih tenang dalam menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan hidup yang akan menimpa dirinya, sebab dengan demikian segalanya akan dipasrahkan kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan disertai ikhtiar menurut kemampuannya sendiri.[41]

d. Spiritualitas dalam Pendidikan Kristen

Pembentukan Spiritualitas dalam pendidikan Kristen tentunya harus menjadi tekanan bagi semua pemerhati pendidikan Kristen, penekanan kepada spiritualitas yang bersumber kepada Allah melalui keteladanan Yesus Kristus, adalah hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan juga karena semakin banyak ditemukan Spiritualitas dalam Kekristenan.[42] Robert W. Pazmino dalam buku God Our Teacher mengusulkan bahwa Yesus adalah guru agung yakni sebagai teladan dan model dimana hidup dan pelayanannya yang berharga. Pazmino mengusulkan bahwa Yesus adalah contoh pengajar dalam hal konteks, isi dan manusia. Yesus sebagai Anak Allah yang dikasihiNya dipenuhi dengan Roh Kudus memberikan model ahli kepada guru kristen disetiap zaman dan situasi. Dengan mempelajari isi, konteks, dan pengajaran Yesus, orang kristen memiliki standart yang digunakan untuk mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi pendidikan kristen dalam berbagai bentuknya.[43]

e. Peranan PAK dalam Spiritualitas Orang Dewasa

Beberapa orang Kristen memaksudkan spiritualitas hanyalah sebagai: (1) teknik-teknik meningkatkan pengalaman rohani; (2) tinggi rendahnya kadar kerohanian; (3) aktivitas dan kegiatan kerohanian; (4) gerakan asketisme, pietisme atau emosi keagamaan. Gagasan yang lain, seperti tersimpul dari hasil Seminar Agama-agam IX Litbang PGI tahun 1989 misalnya mengartikan spiritualutas sebagai kekuatan yang semata bersumber dari manusia, sebagai upaya dirinya untuk mendemonstrasikan hidup yang berarti bagi sesamanya.[44] Pendidikan Kristen perlu berusaha menjawab tantangan untuk melahirkan intelektual yang memiliki spiritualitas Kristen. Dalam mewujudkan cita-cita ini Pendidikan Kristen hendaknya memperhatikan hal-hal yang dianggap dapat mendukung mencapai cita-cita tersebut. Nikson Sinaga memberikan saran bagi pendidikan Kristen, yaitu:

1. Pendidikan Kristen perlu melihat kehidupan orang” juga sebagai panggilan Kristen.

2. Pendidikan Kristen harus mampu memperlengkapi seorang dengan pengetahuan dan iman.

3. Pembelajaran pendidika Kristen harus tetap berpegang pada motivasi untuk mempelajari kebenaran.[45]

7. Kesimpulan

Secara umum, pendidikan orang dewasa bertujuan untuk membantu pembelajar dewasa memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan guna meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupannya. Karena itulah kegiatan inti dalam pembelajaran orang dewasa lebih disesuaikan dengan kebutuhan dan target yang ingin dicapai oleh para pembelajar dewasa untuk keperluan dalam waktu yang dekat. Biasanya materi dan kegiatan pembelajaran diarahkan untuk kebutuhan kerja atau yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang sedang digeluti. Spiritualitas Kristen merupakan relasi pribadi dengan Tuhan melalui Roh Kudus. Kehidupan kita sebagai orang Kristen didasari oleh iman yang tertuju kepada Yesus Kristus. Dalam pendidikan kristen, pembinaan atau pembentukan soiritualitas merupakan untus yang penting. Spiritualitas seharusnya bersifat dinamis, karena setiap individu manusia selalu berkembang. Dengan demikian pendidikan Kristen tidak boleh melepaskan kehidupan spiritual seseorang dari realitas kehidupan orang tersebut.

8. Daftar Pustaka

Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002

Akh. Muwafik Saleh, Bekerja Dengan Hati Nurani, Jakarta: Erlangga, 2009

Alister E. McGrath, Christian Spirituality, Oxford: Blackwell Published, 1999

Bdk.Eka Darmaputera, Spiritualitas Siap Juang, Jakarta: BPK-GM, 2011

Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung : Rodas Karya, 2015

Djudjun Djaenudin, Kecerdasan Spiritual Jakarta: tp, 2001

E. G. Homrighausen & Enkaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002

Elia Tambunan, Pendidikan Agama Kristen, Yogyakarta: IllumiNation, 2013

Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1983

Irish V. Cully, Education for Spiritual Growth (San Francisco: Harper and Row Publishers, 1984

J. J. W. Gurning , Tafsiran Kitab Surat Galatia Jakarta : BPK-GM, 2003

James Hastings, The Enevelopedua Of Religion, (New York : The Philosophical Library, 1987

Janse Belandino, Suluh Siswa I, Jakarta : BPK-GM, 2005

John Drane, Memahami Perjanjian Baru Jakarta : BPK-GM, 2003

John M. Nainggolan, Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Kristen, Bandung: Bina Media Informasi, 2011

Mesach Krisetya, Spiritualitass Kristen (diktat), T. P, 2007

Rahmiati Tanudjaja, Anugerah demi Anugerah dalam Spiritualitas Kristen yang Sejati,Jurnal Veritas, Oktober 2002, dalam http://www.seabs.ac.id/journal/oktober2002/Anugerah demi Anugerah dalam Spiritualitas Kristen.pdf.

Pazmino, Robert W, God Our Teacher, Grand Rapids: Baker Akademy, 2001

Rick Warren, The Purpose DrivenChurch, (Grand Rapids: Zondervan Publishing,

Samuel Amirtham and Robin J. Pryor, Resources For Spiritual Formation in

Umi Basiroh, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 1996

Widi Artanto, “Spiritualitas Pelayanan: Perjumpaan dengan Allah dan Sesama” dalam Asnath N. Nathar (ed.), Pelayanan, Spiritualitas, dan Pelayanan, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012

William Dyness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1992

Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015

Zainuddin Arif, Andragogi, Bandung: Angkasa, 2012



Sumber Lain:

http://lenymansopu31.blogspot.com/2015/01/spiritualitas-kristen.html#:~:text=Spiritualitas%20adalah%20segala%20sesuatu%20yang%20bersifat%20holistik%20yang%20harus%20dipersembahkan%20kepada%20Allah.&text=Jadi%20dengan%20demikian%20maka%20spiritualitas,akibatnya%20mereka%20mempunyai%20karunia%20Roh

http://www.persekutuanstudireformed.org/artikel44.html


https://tuhanyesus.org/spiritualitas-kristiani








[1] E. G. Homrighausen & Enkaar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002), 24.


[2] Zainuddin Arif, Andragogi (Bandung: Angkasa, 2012), 12.


[3]Elia Tambunan, Pendidikan Agama Kristen, (Yogyakarta: IllumiNation, 2013), 45.


[4] Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1983), 246.


[5] Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan,246.


[6] Mesach Krisetya, Spiritualitass Kristen (diktat), T. P, 2007 hlm 3.


[7] Umi Basiroh, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 1996, hlm 100.


[8] Akh. Muwafik Saleh, Bekerja Dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga, 2009), 2-5


[9] Rahmiati Tanudjaja, Anugerah demi Anugerah dalam Spiritualitas Kristen yang Sejati, Jurnal Veritas, Oktober 2002, dalam http://www.seabs.ac.id/journal/oktober2002/Anugerah demi Anugerah dalam Spiritualitas Kristen.pdf.


[10] Widi Artanto, “Spiritualitas Pelayanan: Perjumpaan dengan Allah dan Sesama” dalam Asnath N. Nathar (ed.), Pelayanan, Spiritualitas, dan Pelayanan, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 7.


[11] Alister E. McGrath, Christian Spirituality, (Oxford: Blackwell Published, 1999), 2.


[12] Bdk.Eka Darmaputera, Spiritualitas Siap Juang, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 207.


[13] http://lenymansopu31.blogspot.com/2015/01/spiritualitas-kristen.html#:~:text=Spiritualitas%20adalah%20segala%20sesuatu%20yang%20bersifat%20holistik%20yang%20harus%20dipersembahkan%20kepada%20Allah.&text=Jadi%20dengan%20demikian%20maka%20spiritualitas,akibatnya%20mereka%20mempunyai%20karunia%20Roh, diakses tgl 25 Oktober 2020, 20.51


[14] Widi Artanto, “Spiritualitas Pelayanan: Perjumpaan dengan Allah dan Sesama” dalam Asnath N. Nathar (ed.), Pelayanan, Spiritualitas, dan Pelayanan, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 15-16


[15] Donald S. Whitney, 10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen, (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1994), 50-51


[16] William Dyness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1992), 146-147.


[17] William Dyness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, 30-31.


[18]John Drane, Memahami Perjanjian Baru (Jakarta : BPK-GM, 2003), 149.


[19]J. J. W. Gurning , Tafsiran Kitab Surat Galatia (Jakarta : BPK-GM, 2003), 113-114.


[20] Aliester E. Megrath, Spritualitas Kristen, 5-6.


[21]Robert W. Pazmino, Fondasi Pendidikan Kristen, ( Jakarta : BPK-GM, 2012), 301-302


[22] John M. Nainggolan, Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Kristen, (Bandung: Bina Media Informasi, 2011), 87.


[23] Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002) hal. 11.


[24] Irish V. Cully, Education for Spiritual Growth ,(San Francisco: Harper and Row Publishers, 1984), 38


[25] John M. Nainggolan, Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Kristen, 87-88.




[26] Djudjun Djaenudin, Kecerdasan Spiritual (Jakarta: tp, 2001), 67.


[27] https://nandaherlita.blogspot.com diakses pada tanggal 27 Oktober pukul 10.18 Wib.


[28] James Hastings, The Enevelopedua Of Religion, (New York : The Philosophical Library, 1987) , 221-222.


[29] Rick Warren, The Purpose DrivenChurch, (Grand Rapids: Zondervan Publishing,1995), 29


[30] Samuel Amirtham and Robin J. Pryor, Resources For Spiritual Formation in the Teological Education: The Invitation to the Feast of Life, (Geneva: World Council of Churches, 1991), 155-156.


[31] John M. Nainggolan, Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Kristen, 88.


[32] https://tuhanyesus.org/spiritualitas-kristiani, Diakses tgl 25 Oktober 2020, 22.43


[33] Irish V. Cully, Education for Spiritual Growth (San Francisco: Harper and Row Publishers, 1984), 174.


[34] Irish V. Cully, Education for Spiritual Growth (San Francisco: Harper and Row Publishers, 1984), 174.


[35] Rick Warren, The Purpose DrivenChurch, (Grand Rapids: Zondervan Publishing,

1995), 178.


[36]Desmita, Psikologi Perkembangan, ( Bandung : Rodas Karya, 2015), 234


[37]Janse Belandino, Suluh Siswa I, ( Jakarta : BPK-GM, 2005), 4


[38]Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, ( Jakarta : Erlangga, 1980), 246


[39]Elin Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen, ( Cipanas : STT Cipanas, 1999), 136


[40]Desmita, Psikologi Perkembangan, 237


[41] Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 245-252.


[42] Tim penyusun Buku dan Redaksi BPK Gunung Mulia, Memperlengkapi Bagi Pelayanan dan Pertumbuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 279


[43] Pazmino, Robert W, God Our Teacher, (Grand Rapids: Baker Akademy, 2001), 60


[44] John M. Nainggolan, Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Kristen,86.


[45] http://www.persekutuanstudireformed.org/artikel44.html , diakses tgl 27 Oktober 13:13
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca selengkapnya disini ya