KEKRISTENAN DI MENTAWAI
II.
Pembahasan
2.1.Letak Geografis
Mentawai
Kabupaten Kepulauan Mentawai
dengan posisi geografis yang terletak diantara 0° 55’00’’-3°21’00’’ LS dan 98°35’00-100°32’00’’ BT merupakan salah satu
kabupaten di provinsi Sumatera Barat. Kapulauan Mentawai memiliki luas wilayah
sebesar 6.011,35 km² dan garis pantai sepanjang
1.402,66 km. Daratan kabupaten Mentawai ini terpisahkan oleh laut dari wilayah
Sumatera Barat lainnya dengan posisi sebelah utara berbatasan dengan Selat
Siberut, sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan
sebelah timur berbatasan dengan Selat Mentawai. Salah satu pulau terbesar di
Kabupaten Mentawai adalah Pulau Ssipora. Pulau Sipora merupakan satu diantara
pulau tssserluas Indonesia yang terletak di bagian barat pulau Sumatera dan
berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Pulau ini memiliki luas 854 ha dan
berada pada titik koordinat 02°11’14’’ LS dan 99°38’46’’ BT.[1]
Seseorang yang baru tiba di
kota Bukittingi dari pulau Siberut di lauta Hindia. Sebelah barat keresidenan
Sumatera Barat, salah satu pulau dari kepulauan Mentawai, dalam percakapannya
dengan antara a.l. menernagkan bahwa keinsyafan rakyat di kepulauan Mentawai
tentang kemerdekaan bangsa dan tanah air adalah besar. Perasaan anti penjajahan
berkobar dalam dada rakyat disana. Penduduk Mentawai adalah 200.000 jiwa,
sebagian besar hidup dari bertani. Hasil yang dikeluarkan pulau-pulau itu a.l.
rotan, damar putih, kopra, sagu, ikan, gerang untuk kancing baju, sewalo
(mutiara) dan kulit bakar. Dapat dikabarkan lagi bahwa sebagian besar rakyat
kepulauan Mentawai menganut agama Sablungan (sipele begu dalam bahasa batak)
dan sebagian lagi beragama Kristen, yang dibawa Zending ke sana dengan
mendirikan sekolah-sekolah dulu. Di Mentawai hanya beberapa ornag beragama
Islam. Jarak kepulauan tersebut dari pantai Sumatera Barat 80 mill.[2]
Secara geografis maupun
administratif, Kepulauan Mentawai adalah bagian dari Provinsi Sumatera Barat
dan sampai tahun 1999 menjadi bagian dari kabupaten Padang-Pariaman. Kepulauan
Mentawai, yang terdiri dari empat pulau besar (Ssiberut, Sipora, Pagai Utara
dan Pagai Selatan) dan beberpa pulau kecil, terletak di Samudera Hindia,
sekitar 100 km di lepas pantai barat Sumatera. Penduduk asli Mentawai yang
diperkirakan mencapai 70.000 orang adlah mayoritas di wilayah mereka sendir.
Sejumlah kecil perantau dari Sumatera Barat dan Utara, Jawa dan Nias terutama
tinggal di desa-desa pelabuhan.[3]
2.2.Keadaan Mentawai
sebelum Masuknya Agama
Dalam kabupaten Padang Pariaman, kekuasaan politis selalu
ada ditangan orang Minangkabau-kelompok etnis yang dominan di Sumatera Barat.
Karena miskinnya pendidikan, pengalaman, dan ambisi orang-orang Mentawai tidak
mampu menduduki jabatan-jabatan di jajaran pemerintahan. Meskipin begitu, tidak
pernah ada usaha nyata untuk mengangkat orang-orang Mentawai agar bisa
menduduki jabatan-jabatan. Selain itu untuk bisa melamar menjadi pegawai
negeri, ada syarat yang bersangkutan, harus orang Muslim dan hal ini membuat
sebagian besar orang Mentawai praktis tidak mungkin melamar posisi pemerinthan.
Karena menjadi orang Kristen sejak awal abad ke-20. Mayoritas orang Mentawai
sekarang memandang Kristenisasi sebagai bagian integral dari identitas mereka.
Namun ada beberapa kasus yang diketahui ketika
orang-orang Mentawai beralih memeluk agama Islam atau setidaknya mengubah nama
Kristen mereka menjadi nama Islam agar bisa emenuhi syarat sebagai pegawai
negeri. Tetapi jumlah orang Mentawai yang terlibat dalam pemerintahan lokal
tetap rendah, dan jika orang Menrawai diberi kesempatan menduduki sesuatu
jabatan dalam birokrasi, itu adalah kedudukan di tataran yang rendah dan tidak
berpengaruh.[4]
2.3.Kekristenan di
Mentawai Pada Masa Hindia-Belanda
Hanya butuh satu tahun bagi Belanda untuk menemukan
Mentawai. Ialah Jederal de Steurs, Residen Pantai Barat Sumatera yang
mengirimkan seorang Letnan Angkatan Laut bersama para prajuritnya untuk melihat
Mentawai. Peristiwa itu berujung pengusiran oleh penduduk kampung Saribanoa di
Sipora. Tak ada yang tahu pasti apa yang mereka lakukan disana, sehingga
membuat orang Mentawai begitu marah dan berujung konflik. Tiga orang tewas,
termasuk sang letnan sendiri. Insiden itu dibalas Belanda dengan mengirimkan
pasukan ke Sipora lengkap bersama kapal uap dan persenjataan. Tidak ada data
jumlah korban, tetapi kemungkinan ada lebih banyak warga Mentawai yang tewas.
Sejak itu, Belanda mengklaim kemenangan dan menjadikan Mentawai sebagai bagian
dari kekuasaannya. Tahun 1864 mereka mendirikan kantor perwakilan di Sipora
yang dipimpim oleh Letnan berdarah Melayu.
Namun pertarungan terus terjadi karena Mentawai menolak
takluk. Belanda yang kewalahan menghadapi resistensi orang-orang Mentawai,
mengubah srategi. Bukan hanya peluru yang diluncurkan ke dada orang Mentawai,
tetapi juga keimanan yang asing dan baru. Zending Protestan bernama Aaugust
Lett dan A. Kramer didatangkan ke Mentawai tahun 1901 untuk misi penyebaran
agama. Islam sendiri baru hadir sekitar tahun 1952. Sementara itu, misi Katolik
Roma datang tahun 1955.[5]
Saat misionaris Belanda sudah masuk, saat Indonesia
merdeka masuk lagi doktrin baru. Menurut mereka (para misionaris dan pemerintah
Indonesia), ada aturan-aturan orang Mentawai yang dibilang bertentangan dengan
agama (agama resmi). Peralatan-peralatan orang tua dari orang-orang Mentawai
dibakar, karena ada kesepakatan tiga agama. Para Sikerei di Mentawai pun
dilarang menjalankan praktik ritual mereka. Diskriminasi dan kekerasan terhadap
orang-orang Mentawai kian menguat setelah perdana Menteri Ali Sastromidjojo
mengeluarkan surat Keputusan (SK) No. 167/PROMOSI/1954 tentang pembentukan
Panitia Interdepartemen. SK inilah yang menjadi upaya bagi negara untuk
menertibkan keragaman agama dan spritualitas Masyarakat Adat agar dapat tunduk
pada agama resmi yang ditetapkan pada masa itu yakni Islam, Katolok Protestan,
Hindu dan Budha, terutama menyangkut persoalan adat perkawinan. Sumatera Barat
merespon kehadiran SK itu dengan Rapat Tiga Agama yang berujung pada tindakan
penghancuran agama leluhur Mentawai: Arat Ssabulungan.[6]
2.3.1.
Pertumbuhan
Penduduk Kepulauan Batu,
Mentawai sebagian besar terdiri dari suku yang serumpun dan sebahasa dengan
penduduk Nias. Usaha pekabaran Injil dimulai pada tahun 1889 oleh lembaga PL
Lutheran di negeri Belanda. Pada masa perang, gereja disana berdiri sendiri
sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku, seusai perang orng Kristen di
Kepulauan Batu bergabung dengan BNKP. Mengenai permulaan karya PL di Mentawai
terdapat kisah: Menjelang tahun 1900, pimpinan RMG di Barmen mendapat kiriman
sebilah tombak, yang disertai surat dari syahbandar Padang (Seorang Belanda),
dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang.
Penduduk pulau itu masih orang kafir yang buas semua. Masih berapa lama lagi
sampai mereka sempat mendengar Injil? Dengan demikian RMG tergugah untuk
mengutus seorang zendeling, August Lett (1901). Ia dibunuh tahun 1909, pada
saat mengantarai pertempuran yang mengancam antara penduduk Mentawai dengan
pasukan Belanda. Dengan bantuan guru-guru serta pendeta-pendeta Batak, dimasa
kemudian berhasil didirikan sejumlah jemaat. Gereja Kristen Protestan Mentawai
(GKPM) berdiri sendiri pada tahun 1968/1916. Walaupun dihimpit oleh usaha yang
kuat dari pihak Islam dan misi KR, namun kini (1997) gereja ini ,eliputi 75%
penduduk Mentawai yaitu 24.000 jiwa lebih. GKPM ialah salah satu dari sekian
banyak gereja di Indonesia. Didirikan dipulau Pagai Utara dan akhirnya menjadi
anggota PGI yang ke-45.[7]
Gereja Kristen Protestan Di
Mentawai (GKPM) merupakan hasil pekabaran Injil Misionaris RMG yang telah
bekerja di tanak Batak. RMG masuk kesana dengan cara yang unik. RMG menerima
surat dari syahbandar Padang yang disertai dengan sebatang tombak. Dalam surat
itu, sang syahbandar menulis sebagai berikut “dengan tombak ini orang Mentawai
membunuh seorang anak buah kapal dagang. Penduduk pulau itu masih kafir yang
buas. Masih beberapa lama lagi sampai mereka sempat mendengar Injil?” Dengan
surat ini, RMG tergugah dan mengirim misionarisnya yang pertama, yaitu Pdt.
August Lett pada tahun 1901, namun ia dibunuh pada tahun 1909. Gereja ini
berdiri sendiri pada tahun 1968 dan menjadi anggota PGI tahun 1976.
2.3.2. Perkembangan
Penduduk Kepulauan Batu sebagian besar terdiri dari suku yang serumpun dan sebahasa dengan penduduk Nias. Usaha pekabaran Injil dimulai pada tahun 1889
oleh Lembaga pl Lutheran di Negeri Belanda. Pada
masa perang, gereja di situ berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku, seusai perang orang Kristen di
Kepulauan Batu bergabung dengan BNKT Mengenai permulaan karya pl di Mentawai terdapat kisah sebagai berikut. Menjelang tahun 1900, pimpinan RMG di Barmen mendapat kiriman sebilah tombak, yang disertai surat dari syah bandar Padang (seorang Belanda)“Dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih
orang kafir yang buas semua.
Masih berapa
lama lagi sampai mereka sempat mendengar Injil? Gereja ini merupakan hasil pekabaran Injil misionarisRMG
yang telah bekerja di Tanah Batak. RMG masuk keSana dengan cara yang unik RMG
menerima surat darisyahbandar Padang yang disertai dengan sebatang tombak.
Dalam surat itu, sang syahbandar menulis sebagaiberikut "Dengan tombak ini
orang MeNtawal membunuhSeorarng anak buah kapal dagang Penduduk pulau itumasih
kafir yang buas. Masih beberapa lama lagi sampaimereka Sempat nendengar
InjilDengan surat ini, RMGtergugah dan mengiim misionarinya yang pertama, yaitu
Pdt August Lett pada tahun 1901 namun la dibunuh pada tahun 1909.
Dengan demikian RMG tergugah untuk
mengutus seorang zendeling, August Lett (1901). Ia di bunuh pada tahun 1909,
pada saat hendak mengantari pertempuran yang mengancam antara penduduk Mentawai
dengan pasukan Belanda. Dengan bantuan guru-guru serta pendeta-pendeta Batak,
di masa kemudian berhasil didirikan sejumlah jemaat. Gereja Kristen Protestan
Mentawai (GKPM) berdiri sendiri pada tahun 1968. Walaupun dihimpit oleh usaha
yang kuat dari pihak Islam dan misi KR, namun kini (1997) gereja ini meliputi
75% penduduk Mentawai, yaitu 24.000 jiwa lebih.[8]
2.3.3. Pergumulan
Meskipun kekristenan telah hadir
di Mentawai, tetapi orang
Mentawai tetap memegang teguh religinya yang diyakini ialah arat sabulungan. Dengan demikian arat sabulungan merupakan terdapat aturan-aturan dan
larangan yang harus dijalankan
dan dihindari oleh masyarakat Mentawai dalam menciptakan dengan alam memiliki jiwa (ketsat). Keyakinan ini oleh Tylor animisme,
dengan demikian arat sabulungan tidak tergolong dari agama yang diakui pemerintah, tetapi sebagai agama kebudayaan.
Kepercayaan adalah,
keyakinan akan
dunia gaib dan roh-roh yang mendiami alam disekitar tanpa di sadari menjadi sebuah aturan yang dapat mengatur sikap dan perilaku masyarakat Desa Malancan, sehingga terjadi perubahan dan dalam kepercayaan asli, dimana tahun 1916 di Desa Malancan dilakukan pembakaran semua benda-benda arat sabulungan, adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.
b. Arat Sabulungan Agama merupakan sikap dasar manusia dan ungkapan dari dalam hal penyembahan dan berbakti sepenuhnya kepada Tuhan. Berdasarkan pemahaman itu maka istilah agama dapat diartikan sebagai tindakan manusia untuk mengembalikan atau memulihkan ikatan hubungan yang rusak antara manusia dengan Tuhan, dengan memperhatikan kehendak Tuhan secara seksama. Masyarakat
mempercayakan kehidupannya kepada instansi agama dengan keyakinan bahwa mereka sebagai manusia dibawa bimbingan agama akan berhasil mencapai kedewasaan pribadinya yang penuh melalui proses hidup yang
telah ditentukan
oleh hokum pertumbuhan
yang penuh dengan ancaman dari situasi yang tidak menentu. Agama adalah suatu yang berintikan
pada kepercayaan akan kebenaran yang mutlak disertai dengan segala perangkat yang
terintegrasi didalamnya,
meliputi peribadatan,
tata peran pada perilaku, dan tata benda yang diperlukan untuk mewujudkan agama. Arat sabulungan adalah anggota suku lainnya yaitu kepandaiannya mengus roh dan menyembuhkan penyakit yang dikenal dengan dukun. Oleh sebab itu arat menjadi norma kehidupan bagi manusia secara pribadi maupundalam keluarga dan suku. Arat merupakan warisan suci, karena semenjak dahulu ditemukan oleh nenek moyang, dan
kelestariannya harus dijaga dengan baik. Tingka laku yang bertentangan dengan arat disebut dosa. Menaati arat berarti merelakan diri dibimbing oleh tradisi,
yang menjadi ukuran
prima dalam setiap moralitas, arat dijadikan landasan pokok dan norma dalam penetuan segalanya. Arat bagi masyarakat Mentawai
adalah keselarasan dengan dunia, pemersatu dengan jaminan hidup yang penuh dengan kedamaian dan
ketentraman.
c. Agama yang diakui pemerintah Kenyataan agama yang
diakui pemerintah Republik Indonesia
sekarang, ini ada
lima agama yang diakui secara resmi yaitu: Islam. Kristen
Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu. Kelima agama itu diberi hak hidup di seluruh
Indonesia termasuk di Mentawai, dengan demikian, masyarakat Mentawai menganut arat sabulungan mempunyai agama yang ada,
sesuai dengan ketetapan pemerintah Republik Indonesia akan tetapi hanya yang masuk agama di
Malancan hanya ada tiga agama yang sudah dijelaskan sebelumnya. Masyarakat
Desa Malancan tidak memiliki satu agama saja, atau apa saja faktor yang mempengaruhi penganut agama yang
bersangkutan memilih satu agama yang ada.[9]
2.4.Kekristenan di
Mentawai Pada Masa Orde Lama
2.4.1. Pertumbuhan
Sejak awal, Sipora merupakan basis kegiatan zending
Protestan. Di kepulauan ini terdapat sekolah zending Protestan pertama untuk
Kepulauan Mentawai, yang terletak di Sagitici’, Mara, Saureinu, dan Sioban.
Rumah sakit zending Protestan yang pertama di daerah ini didirikan pada tahun
1960, di bawah pimpinan Pendeta Ecker dari Jerman. Kesatuan gerakan zending
Protestan di kepulauan ini diorganisir secara rapi sekali, dengan prinsip sama
sama bekerja dan kontrol yang ketat, modal mereka yang mendasar dalam menjalankan
usaha zending mereka.
untuk Kepulauan Sipora, mereka membagi daerah menjadi
tiga resort, yaitu:
·
Resort I di Sioban,
pusat Kecamatan Sagitci dan Matobe.
·
Resort II di Boshua,
sebelah selatan meliputi daerah daerah Boshua, Berioulou dan Betumongga di
pantai barat Sipora.
·
Resort III di
Tuapejat, yang diadakan setelah daerah ini dibuka sebagai daerah transmigrasi,
melipui Tuapejat, Mapadegat dan Berimanua.
Sipora, dalam bahasa asli Mentawai di
selatan atau bahasa Sikalagan yang meliputi daerah Sipora dan Sikakap (Pagai),
berarti si (kata sandang) dan pora (sisa sisa atau sampah). Maka Sipora dalam
bahasa asli Mentawai adalah tumpukan sisa sisa sampah, telah menjadi sasaran
utama missi dan zending Protestan dan Katolik, menjadi daerah rebutan, sejak
awal abad 20. Akan tetapi kegiatan di Sipora, mengalami masa pesat pesatnya
sejak tahun 1950.Pendeta Protestan pertama yang menetap di Sipora sejak 1960
berasal dari Tapanuli (Batak). Kemudian berturut turut dialihkan kepada pendeta
asli Mentawai, seperti Pendeta Immanuel Sikarebau (asal Siberut Utara) dan
Pendeta Mika (asal Sikakap).[10]
Misi Katolik masuk ke Mentawai, tepatnya
di Siberut Selatan, melalui para misonaris Xaverian. Saat itu tahun 1953,
Pastor Aurelio Canizzaro, SX mengunjungi P. Siberut, Sikabaluan, Sikakap dan
Sipora, atas perintah dari Mgr. De Martino di Padang. Barulah pada 18 Desember
1954 P. Canizzaro bersama dengan P. Angelo Calvi, SX, dengan menumpang kapal
Bendalu, berlayar menuju Siberut dan menetap di sana. Pada tahun itu pula
berdirilah gereja Katolik pertama di Mentawai. Natal tahun 1954 juga menjadi
tonggak lahirnya gereja Katolik di Mentawai dengan dipermandikannya 10 orang di
gereja Siberut. Misi Katolik di Mentawai dimulai dengan pelayanan di bidang pendidikan
dan kesehatan. Hadirnya agama Katolik dengan inkulturasinya menghadirkan
suasana yang bertolakbelakang dengan situasi pasca pelarangan sabulungan di
Mentawai, khususnya di Siberut. Para misionaris awal berusaha mengenal dan
mempelajari budaya lokal serta memberikan penghargaan atasnya. Melihat sikap
para misionaris tersebut yang tidak membakar alat-alat kerei dan melarang
mengadakan upacara-upacara adat, banyak orang Mentawai di Siberut bersedia
menjadi Katolik.[11]
2.4.2. Perkembangan
Selama Tahun 1954 Mentawai berkali-kali didatangi oleh Pastor
dan pembangunan rumah di siberut sudah dimulai sejak tahun itu dan diresmikan
pada Mei 1955 kemudian menyusul sebuah Gereja yang diresmikan pada tanggal 15
Agustus 1955[12], pada
tahun 1954 pastor-pastor Katolik tersebut menjalankan misi ke Mentawai yang
dipandu oleh Pastor Aurelio Cannizazaro. Di waktu yang bersamaan datang juga
Petrus dan Angelo Calvi, yang dimana kedua Pendeta ini adalah saudara[13],
misi Katolik dipusatkan di Siberut bagian selatan, yang dimana awalnya dibangun
Sekolah, Poliklinik, yang dimana fasilitas ini dibangun di dekat Gereja agar
masyarakat tertarik dengan agama Katolik, penghubung mereka dengan orang-orang
yang belum katolik dengan cara memanfaatkan orang-orang yang telah masuk ke
katolik, dan yang telah paham dengan bahasa daerah Mentawai itu sendiri,
dikarenakan pastor-pastor tersebut belum bisa berbahasa daerah Mentawai.[14]Katolik
mulai menapakkan kaki di daerah Sipora sejak tahun 1958, dipimpin oleh Pastor
Monacci dari Italia, pastor dari keuskupan Padang yang sangat aktif.Matobe (di
utara Sioban), sejak tahun 1958 merupakan daerah rebutan yang intensif gerakan
missonaris Italia ini. Hingga berbuah Pada tahun 1990 terdapat 40 KK yang
menganut Katolik. Walaupun di sini belum ada gereja Katolik, akan tetapi
kegiatan gereja dilaksanakan di Sioban. Antara Matobe dan Sioban dapat ditempuh
berjalan kaki.Sioban (pusat kecamatan), termasuk daerah resort I pengembangan
zending Protestan di Sipora. Di daerah Tukkuman terdapat sebuah gereja
Protestan yang cukup besar dan bagus, salah satu dari gereja tertua yang
dibangun tahun 1960. Ada juga sebuah rumah sakit GKPM (Gereja Kristen Protestan
Mentawai) yang dipimpin Pendeta Felix (asal Mentawai).Tuapejat termasuk resort
III yang paling akhir dikembangkan oleh zending Protestan di Sipora, sesuai
dengan pengembangan daerah ini. Akan tetapi kegiatan di daerah ini sangat
menonjol dibandingkan daerah lainnya, seperti Boshua dan Berioulou di Selatan. Secara
geografis, Tuapejat merupakan daerah semenanjung paling utara pulau Sipora,
berdekatan dengan daerah selatan Siberut yaitu Taileleu yang menjadi pusat
kegiatan Protestan di Siberut Selatan.[15]
Salah seorang tokoh yang telah menginjakkan kakinya di Mentawai untuk mengabarkan Injil bagi orang Mentawai.
Tokoh ini adalah seorang putra terbaik Angkola yang dikenal sebagai seorang pendeta dan tokoh kemandirian Gereja Kristen Protestan Angkola – GKPA (dh. Huria
Kristen Batak Protestan
– Angkola). Namanya adalah Pdt.
Zending Sohataon Harahap, beliau menjadi seorang Pendeta Zending di Mentawai
dimulai pada Tahun 1956-1968. Pada 1956 Pdt.Z.S.Harahap mengawali tugasnya ke
Muara Siberut dengan menemukan tiga Gereja Kristen yang beranggotakan 120 KK
(450 Jiwa). Dan dalam tempo 3 tahun, ia membabtiskan 230 KK menjadi Kristen
sehingga jumlah jemaat di Muara Siberut bertambah menjadi 450 KK (2.500 jiwa)
yang tergabung dalam 9 gereja. Karya lain yang dilakukan oleh Pdt.Z.S.Harahap
adalah membangun gereja dan rumah pendeta yang termegah di Mentawai kala itu.
Ia bukan hanya membabtis, tapi memberi pendalaman mengenai ajaran Kristen bagi
umat Kristen di sana dengan membuka kursus Guru Huria dengan 20 siswa. Setelah
tamat siswa itu disebar untuk melayani di tengah-tengah jemaat pedesaan.Pada
1961, Pdt.Z.S.Harahap dipindahkan ke Sikakap, Mentawai. Di tempat baru ini juga
berhasil. Selain bertugas sesuai fungsinya dibidang zending, ia juga membagi
waktunya sebagai guru sekolah Pendeta Mentawai. Kemudian pada 1968 pindah
menjadi pendeta di Manduamas-Barus.[16]
Perkembangan (kemajuan) Agama
Kristen di Sumatera Tengah pada masa itu bertambah sangat pesat, terkhusus di
kepulauan Mentawai, orang dari agama lokal (Sabulungan)banyak yang masuk ke
Agama Kristen, selama Tahun 1955 ada 1500 orang Agama Kristen bertambah di
Kepulauan Mentawai dan selain itu masih banyak juga orang-orang lain yang
sedang belajar Agama Kristen dan akan masuk ke Agama Kristen, demikian hal nya
dengan dengan Gereja Katolik, Gereja Roma Katolik yang selama ini hanya
bertugas untuk melayani orang-orang Tionghoa dan Orang Barat, telah meluas dan
mencapai perkembangan pesat ditengah-tengah orang lokal terkhususnya Suku
Mentawai yang ada di Kepulauan Mentawai.[17]
2.4.3. Pergumulan
Perkembangan kristen yang sangat pesat di kepulauan
Mentawai tentu sangat pesat, hal ini tidak lepas dari usaha-usaha para
Missionaris yang selama belasan Tahun berusaha menyebarkan injil yang pada
akhirnya baru membuahkan hasil setelah 16 Tahun, hal ini tidak lepas
dikarenakan faktor kuatnya kepercayaan masyarakat lokal kepulauan mentawai
terhadap kepercayaan lokal mereka, yaitu sabulungan, setelah pergumulan
tersebut terlewati. Kepulauan Mentawai yang dikenal dengan keindahan alamnya
dan keeksotisan pantainya ternyata tidak berkontribusi banyak terhadap
pengembangan hidup masyarakat adat Mentawai, daerah ini merupakan daerah
tertinggal dalam hal pembangunan dan ekonomi, meskipun sudah terbiasa dengan
laut, tetapi kenyataannya masyarakat Mentawai bukanlah nelayan yang tangguh,
orang-orang mentawai masih lebih berorientasi ke darat sebagai peramu dan
petani, sehingga hasil laut mereka lebih dikuasai oleh nelayan-nelayan dari
minangkabau atau lainnya, demikian juga dengan hutannya juga terancam
kelestarian hayatinya dari waktu ke waktu[18].
Di Mentawai yang penduduknya mayoritas beragama kristen,
ternyata Gereja banyak kecolongan, upaya oleh agama-agama lain disana sangat
gencar. Ketika hal ini ditanyakan mengapa banyak orang kristen yang murtad,
jawabnya adalah karena “uang”, konon bank hanya meminjamkan uang kepada agama
tertentu, tentu hal ekonomi ini juga menjadi pergumulan bagi orang kristen di
mentawai dan sudah biasa di kepulauan mentawai ditemukan orang bernama Yohanes
tetapi bukan seorang Kristen.[19]
2.5.Kekristenan di
Mentawai Pada Masa Orde Baru
Perjalanan sejarah Mentawai sebagai bagian dari
Indonesia, merekam kenyataan pahit. Menjadi suatu kewajaran bagi siapa saja
yang pernah mengalami, melihat atau mengetahui hal itu untuk marah sekaligus
bersedih atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Tentang penindasan dan
perlakuan tak adil terhadap mereka yang tinggal di dalam hutan di pulau-pulau
yang dilekatkan dengan stigma sebagai suku terasing, primitif, terbelakang dan
terpencil. Tetapi kita tidak bisa menyangkal bahwa disanalah terdapat sumber
daya alam yang tampak menyilaukan mata: emas hijau.
Awal eksploitasi hutan terjadi ketika Mentawai berada di
bawah kekuasaan Padang Pariaman pada masa Orde baru. Orang pusat begitu
sebagian menyebut orang-orang di Jakarta memanfaatkan orang-orang Melayu di
Sumatera Barat untuk melancarkan banyak hal. Tercatat seluas hampir 5000 km
Kepulauan Mentawai dinyatakan sebagai sumber devisa dan pendapatan negara yang
tidak kecil.[20]
2.5.1. Pertumbuhan[21]
Pada
tanggal 31 Januari 1987, rombongan transmigrasi dari Jawa Barat (63 KK = 293
jiwa), dari Jawa Tengah (66 KK = 242 jiwa), dari Jawa Timur (75 KK = 296 jiwa)
sampai di desa Tuapejat (Sipora). Dalam rencana penempatan transmigrasi ini
tidak hanya diutamakan pendatang dari Jawa, tetapi juga diberikan kesempatan
kepada pendatang lokal, termasuk dari Tapanuli Utara. Penempatan kedua telah
dimulai 14 Pebruari 1987 dengan jumlah yang tidak diketahui dengan pasti.
Jumlah peserta transmigrasi ini tidak nenampakkan data data pasti berapa jumlah
penganut Kristen dan Islam.
Suatu
hal yang pasti adalah bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama terjadi
pembauran langsung antara penduduk asli dengan pendatang. Suatu pengalaman
membuktikan bahwa penduduk asli akan dipengaruhi dengan cepat oleh keyakinan
yang dominan dari lingkungannya.
Tidak
dapat disangkal bahwa, jika para transmigrasi yang masuk ke daerah ini adalah
pengikut pengikut Kristen yang taat, maka gerakan Salibiyah di Kepulauan
Mentawai akan lebih meningkat dari keadaan sebalumnya. Tahun 1989, terlihat
bahwa dugaan semula (1987) belakangan ternyata terbukti. Perkiraan ini
ditunjang dengan persiapan pihak keuskupan Padang (Katolik) yang sejak tahun
1985, telah membeli sebidang tanah yang terletak di desa Tuapejat seluas 2 ha
yang akan digunakan sebagai tempat pembangunan gereja Katolik dan rumah sakit.
Pada tahun 1989 telah dimulai rencana pembangunannya. Pemilihan lokasi yang
tepat karena berada di lingkungan daerah transmigrasi yang akan dikembangkan
itu, akan mempermudah gerakan kristenisasi ala Pasaman Barat tepatnya di Kinali
dan Kapar/Koto Baru dan peristiwa ini terulang di Tuapejat, Sipora.
2.5.2. Perkembangan
·
Kegiatan Gereja Katolik[22]
Kegiatan ini
umumnya dikelola dari Sikakap.Pada awal tahun 1988 ada kegiatan mendirikan
pastoran Katolik (paroki) diSioban. Antara tahun 1985-1990 terlihat adanya
kronologis gerakan keuskupan Padang, dalam menggarap daerah ini, antara lain :
September
1985
Antara 17-25 September 1985 Uskup
Mgr. Raimondo Bergamin Sx. (bergelar Petrus) dari keuskupan Padang, telah mendatangi
daerah ini dan melakukan kegiatan penataran terhadap pemuda pemuda Katolik di
Sipora, dan melakukan inspeksi langsung ke gereja gereja yang terbesar di
Kecamatan Sipora.
Tercatat program
terpenting dari keuskupan Padang, antara lain:
1. Menghidupkan kembali
jemaat Katolik (dalam catatan mereka pihak missi Katolik, jemaat Katolik banyak
berpindah ke Protestan).
2. Pembinaan
sekolah sekolah dengan biaya dari keuskupan Padang.
3. Menjadikan
Sioban sebagai satu sentra kegiatan pastoran Katolik Sipora, dalam menangani
perkembangan missi Katolik di gugusan tengah Kepulauan Mentawai.
Nopember
1985
Desa Tuapejat, di
mana penduduk aslinya sebagian telah beragama Islam (pembinaan dimulai tahun
1979), pada bulan ini telah mendirikan sebuah gereja Katolik.
Desember
1985
Tepatnya 7
Desember 1985, kunjungan pastor Martinus Stm. dari keuskupan Padang sampai ke
pedalaman Sipora untuk menyampaikan pesan Natal.
Januari
1986
Pastor pastor dari
Sikakap (paroki Sikakap) dan pastoran Sioban, mengunjungi daerah daerah pantai
barat Sipora, terutama dari desa Boshua dan desa Berioulou.
Maret
1986
Paroki Mentawai di
Sikakap mengadakan pendidikan khusus (recrute) terhadap pemuka pemuka
masyarakat penduduk asli Mentawai, serta pembantu pembantu pendeta di gereja
gereja Katolik Sipora dan mengangkat 18 orang calon pendeta Mentawai Sipora.
Juli
1986
Paroki Sipora
diperkuat dengan 2 orang pastor berkebangsaan Itali. November 1986
Pembangunan SD
Katolik Santo Yosep di Kompleks Paroki Sioban (Sipora) yang dimulai November
1986 dan pada tahun itu juga diresmikan pemakaiannya.Secara umum antara tahun
1985 1986, banyak sekali kunjungan yang dilakukan para pastor Katolik ke desa
desa pedalaman Sipora secara teratur setiap bulan hingga Oktober 1989.
·
Kegiatan Gereja Protestan
Zending
Protestan yang dikoordinasi dengan baik oleh GKPM (Gereja Kristen Protestan
Mentawai) yang berpusat di Sikakap, bekerja sama dengan MPG (Majelis
Permusyawaratan Gereja) yang berkedudukan di Sioban (Sipora).Setiap tahun
diadakan Sinoda (sidang besar) membahas program tahunan rencana gereja
Protestan di Sipora. Sejak tahun 1985, dapat dicatat gerakan Protestan yang
terarah sebagai berikut :
September 1985
Diadakan
sinoda besar di Sipora, berisikan program kerja untuk tahun 1985 1989,
sekaligus pemilihan Eporus (pimpinan ummat Protestan) yang baru untuk Kepulauan
Mentawai yang berkedudukan di Sipora.
Oktober 1985
Pendeta
Melky dari GKPM Sikakap, mengadakan upacara pemandian (pengkristenan) penganut
Protestan yang baru di Sipora. Diiringi dengan pembagian buku buku pegangan
gereja dan pakaian pakaian untuk pengikut baru.Gereja Protestan Pantekosta
mengangkat pendeta baru di Sipora yaitu pendeta Nainggolan. Untuk kegiatan
Protestan di kepulauan ini dipimpin oleh pendeta pendeta dari Siantar, juga
dibina dan diperkuat oleh pendatang pendatang baru dari Tapanuli Utara.
November 1985
Pada
tanggal 28 November 1985 pimpinan gereja gereja Protestan se Kecamatan Sipora
mengadakan rapat penyambutan Natal, terutama untuk daerah resort Boshua dan
Sioban.
Desember 1985
Pedagang
kredit mendatangi desa desa terpencil sampai ke pedalaman. Mereka adalah
penginjil penginjil gereja Protestan, terutama dari jemaat Pantekosta.
Pemberian kredit tidak hanya terbatas pada pakaian dan makanan, tetapi juga
uang kontan untuk keperluan penduduk pedalaman. Sasaran utama kegiatan ini
adalah daerah pantai barat yang merupakan daerah yang padat penduduk aslinya.
Januari 1986
Penempatan
besar besaran pendeta Protestan di Kepulauan Mentawai dengan kerja sama GKPM
danm GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) atas bantuan Asia Kiishii
(Jepang).Mulai tahun 1986 tercatat pemimpin pemimpin gereja Protestan di Sipora
antara lain : Pendeta Philippus (bertugas di sektor Saibi resort Boshua)
Sipora. Pendeta Sum Sumailing yang sebelumnya bertugas di Siberut, dipindahkan
ke Sikakap menempati pos Tubekked, merupakan daerah yang terbanyak ummat Islam
di Sikakap/Pagai Selatan. Pendeta Nikodemus Simalinggai memimpin daerah Siberut
di utara Kepulauan Mentawai. Pendeta Melky dibantu oleh Pendeta Mika memimpin
Eporus GKPM berkedudukan di Sikakap (ibu kecamatan Pagai Utara-Selatan).
Kegiatan
mutasi ini ditunjang dengan operasi KM. Lutsabei (satu satunya kapal missi
Protestan yang beroperasi secara tetap dari Siberut ke Sipora lalu ke Sikakap)
dan menghubungkan ketiga gugusan Kepulauan Mentawai dengan Kepulauan Nias
(Tello).Pebruari 1986. Penempatan
Pendeta Sarce asal Maluku tamatan Sekolah Tinggi Theologi Jakarta, sebagai
koordinator gerakan Protestan di Mentawai.
April 1986
Pendeta
Sum Sumailing yang pada bulan Januari 1986 ditetapkan di Tubbekked (Pagai
Selatan) ditarik ke resort Boshua. Resort Boshua menjadi tumpuan harapan
Protestan di pantai barat Sipora. Tubbekked tidak mungkin dikembangkan, karena
di sini ummat Islam dominan.
Juli 1986
Rumah
sakit GKPM yang terdapat di kompleks Gereja Protestan Sioban (berpusat di
Boshua) yang telah beroperasi sejak 1985, terpaksa dihentikan karena kekurangan
obat obatan dan pengaruh yang mulai kuat dari ummat Islam daerah Boshua ini
(hasil binaan tamatan Darul Fallah Bogor).
November 1986
Persiapan
Sermon Natal 1986 diadakan dengan pertemuan dengan gereja Protestan di resort
Sioban/Boshua, diikuti oleh seluruh pendeta pendeta Protestan se-Kecamatan
Sipora. Secara umum kegiatan missi Protestan ini didukung oleh pendatang dari
Tapanuli Utara (Batak) dan Nias yang sampai tahun 1989 berjalan pesat atas
bantuan kapal kapal Jepang yang menjemput kayu di kepulauan ini.
2.5.3. Pergumulan
Dibandingkan dengan Protestanisme, baik Islam dan
Katolikisme agak lambat dalam menargetkan Mentawai. Jika misionaris Protestan
Jerman yang pertama datang ke Pagai Utara tahun 1901, baru pada tahun 1952
Islam masuk ke Mentawai dan Katolikisme memulai aktivitas-aktivitasnya baru
pada tahun 1954. Pada tahun 1954, agama lokal, Arat Sabulungan, dilarang. Dalam
Rrapat Tiga Agama, diputuskan bahwa setiap orang Mentawai harus melepas arat
sabulungan, dan harus memeluk Islam atau Protestanisme. Belakangan Katolikisme
ditambahkan pada pilihan resmi itu. Penyeberan Islam yang terorganisir dengan
baik diantara orang-orang Mentawai dilakukan secara kilat dengan
aktivitas-aktivitas yang terorganisir dari Dakwah Islamiyah Indonesia
(organisasi pan-Indonesia yang bertanggung jawab atas penyebaran dan
pemeliharaan agama Islam di Kepulauan Nusantara) yang dimulai pada akhir
1960-an. Inisiatif-inisiatif Islam sangat berpengaruh di Pulau Ssipora dan pada
tingkat yang lebih rendah di Kelpulauan Pagai.[23]
Dengan tanggung jawab memerintah Kepulauan Mentawai di
tangan orang-orang Minangkabau, orang Minangkabau jugalah yang bertanggung
jawab atas implementasi program-program pembangunan dan asimilasi khusus ini.
yakin pada superioritas kultural dan religius mereka, para pegawai negeri daratan
itu dengan penuh semangat melaksanakan kebijakan-kebijakan peradaban dan
pembanguna pemerintahan terhadap orang-orang Mentawai, tetapi implementasi
nyata dari aktivitas-aktivitas pembangunan itu di satu pihak menemui banyak
rintangan praktis. Babi-babi yang banyak berkeliaran secara bebas,
kondisi-kondisi lingkungan yang keras, dan populasi yang dipandang berbahaya
dan tidak ramah itu mengubah Kepulauan Mentawai menjadi tempat yang tidak
menyenangkan bagi orang Minangkabau yang berani memperluas usaha mereka ke
pedalaman pulau-pulau dan para pegawai negeri Minangkabau jarang datang ke
pulau-pulau Mentawai.[24]
2.6.Kekristenan di
Mentawai Pada Masa Reformasi-Sekarang[25]
2.6.1. Pertumbuhan
Mengenai permulaan karya PL di Mentawai terdapat kisah,
yaitu menjelang tahun 1990, pimpinan RMG di Barmen mendapat kiriman sebilah
tombak, yang disertai durat dari seorang Belanda. Penduduk pulau itu masih
orang kafir yang buas semua. RMG tergugah untuk mengutus seorang Zendeling,
August Lett. Ia di bunuh tahun 1909, pada saat mengantarai pertempuran yang
mengancam antara penduduk Mentawai dengan pasukan Belanda. Dengan bantuan
guru-guru serta pendeta-pendeta Batak dimasa kemudian berhasil didirikan
sejumlah jemaat. Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) tahun 1968. Meskipun
dihimpit oleh usaha dari pihak Islam dan misi KR, namun kini (1997) gereja ini
meliputi 75% penduduk Mentawai yaitu 24.000 jiwa lebih. Jumlah anggota jemaat pada tahun 2000 adalah 22.310 orang. Kantor
pusatnya berada di Nemnemleleu-Sikakap, Mentawai, Sumatera Barat. [26]
2.6.2. Perkembangan
Pimpinan
gereja-gereja anggota UEM Sumatera sepakat secara bersama-sama mengunjungi
daerah korban bencana alam Tsunami Kepulauan Mentawai. Dengan tujuan agar dapat
melihat secara langsung, sehingga merasakan apa yang sedang dan yang akan
dialami oleh warga masyarakat korban Tsunami. Utusan GKPI bersama Pimpinan
gereja UEM diwakili oleh Pdt.Salomo Simanjuntak, S.Th (Ka. Biro IV/ P.Injil
& Diakoni) kantor pusat GKPI.Senin, 25 April 2011 rombongan pimpinan gereja
uem berangkat dari Medan dan tiba di Bandar Udara Minangkabau Padang, disambut
langsung oleh Pdt. Parsaoran Simanjuntak, S.Th (Ephorus gereja GKPM). Untuk
menunggu jadwal ferry menuju Kepulauan Mentawai, rombongan menginap di Padang
sampai pada hari Selasa, 26 April 2011. Selama di Padang rombongan diajak untuk
melihat bekas-bekas gempa Padang, dan diskusi tentang perkembangan
gereja-gereja di Padang.
Selasa
26 April 2011rombongan bersama dengan Ephorus GKPM melalui Ferry menuju
Kepulauan Mentawai, dan selama + 14 jam berlayar dilautan, akhirnya Rabu, 27
April 2011 rombongan berlabuh di Cikakap - Kepulauan Mentawai sekitar jam 07.00
Wib di sambut oleh Sekjen GKPM. Dari pelabuhan Mentawai rombongan menaiki Boot
menuju kantor pusat gereja GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai).
Setelah
selesai sarapan dari kantor pusat GKPM rombongan dipandu untuk melihat daerah
relokasi korban Tsunami. Rombongan dibagi dua : Pertama, ketempat pengungsian
daerah Pagai Selatan yang didampingi oleh Sekjen GKPM dan dr. AR. Kambodji.
Kedua, ketempat pengungsian daerah Pagai Utara yang didampingi oleh Ephorus dan
Bendahara GKPM. Secara umum, korban bencana Tsunami, tempat tinggal mereka
direlokasi dari tepi pantai dipindahkan keatas (bukit). Mereka masih tinggal
dipemukiman yang sangat sederhana.
2.6.3. Pergumulan
Ada
banyak masalah yang sedang dan akan mereka hadapi antara lain:
*
Penyembuhan kejiwaan mereka yang masih trauma.
*
Tempat tinggal (rumah yang darurat, status pertapakan rumah, sumber air, dll *
Mata pencaharian. Selama dipantai mereka sebagai nelayan dan petani kelapa
(kopra). Sementara setelah direlokasi, kemungkinan besar sebagai petani.
*
Pendidikan dan masa depan anak-anak mereka.
Dalam masalah yang
rumit itu, tentu akan banyak tawaran-tawaran yang sangat menjanjikan dengan
mengatasnamakan agama dan aliran-aliran. Setelah kembali dari
perkunjungan kelapangan, rombongan kembali ke kantor Pusat GKPM untuk makan
siang, Diskusi hasil perkunjungan, dan setelah itu masing-masing utusan gereja
menyampaikan bantuan yang dapat diberikan. GKPI dalam hal ini menyampaikan
bantuan dana sebesar = Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Disamping itu
juga GKPI terbuka untuk menerima anak-anak yang bersedia untuk tinggal di Panti
Asuhan Mamre GKPI Pematangsiantar.
Rombongan
kembali dari Mentawai hari Rabu, 27 April 2011 jam 18.00 Wib dengan Ferry
menuju Padang. Setelah berlayar + 14 Jam, rombongan tiba di Padang Kamis, 28
April 2011, dan berkumpul di Posko Bantuan Korban Tsunami (tempat ibadah gereja
GKPM di Padang sekaligus tempat tinggal Pdt. Rugun Pakpahan). Dari tempat ini
masing-masing rombongan kembali ke tempat pelayanan.
Penduduk
Mentawai adalah saudara/i kita seiman. Mereka sedang dan akan menghadapi
masalah besar. Marilah kita senantiasa mengingat mereka dan tidak lupa untuk
berdoa buat mereka.
Saran dan harapan
saya, agar gereja-gereja UEM secara bersama-sama dengan gereja GKPM melakukan
berbagai program. Misalnya saja, memberikan tenaga Pelayan (Pendeta, tenaga
terampil tentang pertanian, peternakan, Guru Sekolah, dan lain-lain).
III.
Kesimpulan
Zending
Protestan bernama Aaugust Lett dan A. Kramer didatangkan ke Mentawai tahun 1901
untuk misi penyebaran agama. Tetapi August Lett pada akhirnya terbunuh pada
Tahun 1909, Meskipun kekristenan telah hadir di Mentawai, tetapi orang Mentawai
tetap memegang teguh religinya yang diyakini ialah arat sabulungan. Dengan
demikian arat sabulungan merupakan terdapat aturan-aturan dan larangan yang
harus dijalankan dan dihindari oleh masyarakat Mentawai dalam menciptakan
dengan alam memiliki jiwa (ketsat). Ajaran ini merupakan sebuah ajaran
animisme, karena masyarakat mentawai menganggap bahwa segala sesuatu memiliki
nyawa dan perasaan. Sekitar tahun 1954, Katolik mulai masuk ke kepulauan
mentawai dan mendirikan banyak gereja serta fasilitas umum dengan tujuan untuk
mengabarkan injil dengan cara-cara tersebut, dan metode ini terbilang berhasil
karna selain mendirikan fasilitas umum, katolik di mentawai juga menggunakan
orang-orang lokal yang telah menganut agama katolik untuk ikut serta
mengabarkan injil kepada masyarakat di kepulauan mentawai. Demikian hingga
akhirnya kekristenan berkembang dengan kuat dan pesat di Mentawai, dan
berkembang jugalah Gereja Lokal yaitu GKPM di Mentawai serta berbagai aliran
lain yang turut hadir di kepulauan mentawai.
IV.
Daftar Pustaka
Ananta Pramoedya
Toer, dkk, Kronik Revolusi Indonesia,
Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2003
Caisutti Tonino, La Cultura Mentawaiana, (Japan:Asian
Studi Centre, 2015), 42, Terjemahan
Oleh Abis Fernando
Corosene Stefano, Kebudayaan Suku Mentawai, Jakarta; Grafidian
Jaya, 1986
Dalidjo
Nurdiyansah, Rumah di Tanah Rempah,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2020
Djawatan
Penerangan Prop. Sumatera Tengah, Sumatera
Tengah Membangun, 1956
Harahap Ramli, Sejarah Penginjilan di Mentawai
Majalah Reformata
Edisi 24
RESMARIAS/JURNAL”
KEYAKINAN PADA MASYARAKAT MENTAWAI DARI ARAT SABULUNGAN KEAGAMA YANG DI AKUI
PEMERINTAH DI DESA MALANCAN SIBERUT UTARA KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI” Tahun
2015
Schute Henk
Nordholt dan Gerry Van Klinken, Politik
Lokal di Indonesia, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014
Sejarah
Gereja Katolik Indonesia, Jakarta; Bagian
Dokumentasi Penerangan Kantor
Waligereja Indonesia, 1974
Sihombing Herman, Mentawai, Jakarta; Pradnya Paramita,
1979
Th. van den
End, J. Weitjens,
Ragi carita II: 1860-sekarang, BPK
GunungMulia 1999
Van Th. den End, J.
Weitjens, Ragi Carita 2, Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2008), 216
Sumber
Lain
https://pgi.or.id/wajah-oikumene-di-mentawai-saatnya-kita-bertindak
https://www.academia.edu/resource/work/17079293
https://www.academia.edu/resource/work/17079293
http://scholar.unand.ac.id/42341/2/BAB%201%20%28Pendahuluan%29.pdf
Academi, Sejarah Gereja Mentawai, dikutip dari
https://www.academia.edu
[1]
http://scholar.unand.ac.id/42341/2/BAB%201%20%28Pendahuluan%29.pdf, Diakses
pada 2 Maret 2022, pukul 13.53
[2] Pramoedya Ananta Toer, dkk, Kronik Revolusi Indonesia, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), 359
[3] Henk Schute Nordholt dan Gerry Van
Klinken, Politik Lokal di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 91
[4] Henk Schute Nordholt dan Gerry Van
Klinken, Politik Lokal di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 92
[5] Nurdiyansah Dalidjo, Rumah di Tanah Rempah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2020), 101-102
[6] Nurdiyansah Dalidjo, Rumah di Tanah Rempah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2020), 103
[7] Academi,
Sejarah Gereja Mentawai, dikutip dari https://www.academia.edu, diakses Pada
Jumat, 25 Maret 2022, pukul 22.52 WIB
[8]Ragi
carita II: 1860-sekarang, Th. van den End, J. WeitjensBPK
GunungMulia 1999, 217
[9]RESMARIAS/JURNAL”
KEYAKINAN PADA MASYARAKAT MENTAWAI DARI ARAT SABULUNGAN KEAGAMA YANG DI AKUI
PEMERINTAH DI DESA MALANCAN SIBERUT UTARA KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI” Tahun
2015, 5-6
[10]https://www.academia.edu/resource/work/17079293
diakses pada Rabu, 4 Mei 2022, Pukul 10.37 WIB
[11]Tonino
Caisutti, La Cultura Mentawaiana,
(Japan:Asian Studi Centre, 2015), 42, Terjemahan Oleh Abis Fernando
[12]Sejarah Gereja Katolik Indonesia, (Jakarta;
Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974)hal. 144.
[13]Stefano
Corosene, Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta;
Grafidian Jaya, 1986), Hal. 29
[14]Herman
Sihombing, Mentawai, (Jakarta;
Pradnya Paramita, 1979)hal. 107-108
[15]https://www.academia.edu/resource/work/17079293
diakses pada Rabu, 4 Mei 2022, Pukul 10.45 WIB
[16]Ramli
Harahap, Sejarah Penginjilan di Mentawai.
[17]Djawatan
Penerangan Prop. Sumatera Tengah, Sumatera
Tengah Membangun, 1956, Hal. 230.
[18]https://pgi.or.id/wajah-oikumene-di-mentawai-saatnya-kita-bertindak,
diakses pada Selasa, 3 Mei 2022, pukul 17.16 WIB
[19]Majalah
Reformata Edisi 24, Hal. 8-9
[20] Nurdiyansah Dalidjo, Rumah di Tanah Rempah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2020), 100-101
[21]
Academi, Sejarah Gereja Mentawai, dikutip dari https://www.academia.edu,
diakses Pada Jumat, 25 Maret 2022, pukul 20.22 WIB
[22]
Academi, Sejarah Gereja Mentawai, dikutip dari https://www.academia.edu,
diakses Pada Jumat, 25 Maret 2022, pukul 23.20 WIB
[23] Henk Schute Nordholt dan Gerry Van
Klinken, Politik Lokal di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 92
[24] Henk Schute Nordholt dan Gerry Van
Klinken, Politik Lokal di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 93
[25]
Academi, Sejarah Gereja Mentawai, dikutip dari https://www.academia.edu,
diakses Pada Jumat, 25 Maret 2022, pukul 19.30
[26] Th. Van
den End, J. Weitjens, Ragi Carita 2, (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2008), 216
Post a Comment