wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Etika Kristen Menyikapi Perceraian


 


Etika Kristen (Terapan) dalam Menyikapi Perceraian Atas Dasar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

I.                   Latar Belakang Masalah

Manusia pada hakikatnya ingin memiliki sebuah keluarga dengan menikah dan membangun keluarga yang bahagia dan harmonis. Dan suatu pernikahan pada dasarnya dibangun oleh cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Namun seiring berjalannya waktu akan timbul persoalan dan pergumulan dalam sebuah keluarga. Dan tak jarang karena suatu persoalan yang sulit dan tidak dapat diambil jalan keluar maka menyebabkan perceraian. Perceraian menurut KBBI berarti perihal bercerai antara suami dan isteri, yang dimana artinya adalah “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri.” Perceraian menimbulkan dampak yang besar bagi pasangan suami isteri seperti kemarahan, kesedihan, tertekan, dan kehilangan kepercayaan diri. Tidak hanya pasangan suami isteri, anak-anak juga mengalami penderitaan, kehilangan rasa aman, kehilangan pegangan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 3,97 juta penduduk yang berstatus perkawinan cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Jumlah itu setara dengan 1,46% dari total populasi Indonesia yang mencapai 272,29 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut Nampak jelas bahwa banyak kasus perceraian dan juga tidak terkecuali orang Kristen pun tak terlepas dari namanya perceraian. Perceraian dapat dipicu oleh berbagai alasan misalnya, perceraian karena berzinah/selingkuh, perceraian karena masalah ekonomi/kemiskinan, perceraian karena tidak memiliki keturunan, dan perceraian karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Suatu perceraian tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun kecuali cerai dipisahkan oleh maut, jika kita berangkat dari Matius 19:6 “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Artinya manusia tidak boleh bercerai karena sudah dipersatukan Allah jikalau manusia itu bercerai maka ia melawan kehendak atau perintah Allah berdasarkan nats tersebut. Namun meski demikian Alkitab berbicara perceraian yang dimana Yesus mengatakan dalam Mat. 19:8-9 apabila salah seorang dari pasangan suami isteri tersebut berzinah maka diperbolehkan untuk bercerai. Namun bagaimana jika bercerai disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dimana isteri sebagai korban baik secara fisik maupun psikologi. Banyak terjadi di masyarakat bahkan di jemaat Kristen terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang dimana kekerasan tersebut mengancam keamanan isteri dan anak-anak. Seperti contoh kasus yang telah kelompok temui seorang pelayan Tuhan dengan inisial Ibu S. Htp menerima kekerasan dalam rumah tangga dari suami korban tersebut, sang isteri dianiaya, dipukul dan selalu menerima perlakuan kekerasan dari sang suami. Jika diperhatikan ini merupakan suatu hal yang dilematis dimana sesuai doktrin Kristen dilarang untuk bercerai dan Allah membenci perceraian namun jika tidak bercerai maka isteri akan tersiksa dan akan menerima kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga pada akhirnya karena sudah berlarut dan tidak tahan lagi maka memutuskan untuk bercerai. Ini merupakan suatu dilematis etis dimana gereja harus memegang teguh ajaran yang berdasarkan Alkitab dan perintah Yesus namun disisi lain gereja tidak boleh menutup mata atas permasalahan yang ada dan nyata yang menyangkut kemanusiaan dari jemaat gereja itu sendiri. Meski demikian banyak isteri bertahan dalam bahtera rumah tangganya dan menerima perlakukan kekerasan dari sang suami karena mempertahankan anak-anak, menghormati keluarga besar dan menjaga komentar orang lain. Namun jika isteri bertahan tak jarang maka isteri akan kehilangan nyawanya sendiri. Contoh kasus KDRT yang bersumber dari detiknews Rabu, 16 Februari 2022 18:53 WIB seorang “Pria Tangerang tutupi jasad istri yang tewas dicekik dengan pakaian”.

Namun ditinjau secara alkitabiah seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa bercerai tanpa berzinah dan dipisahkan oleh manusia adalah perbuatan yang salah. Jadi bagaimana jika bercerai disebabkan karena KDRT? Namun jika tidak cerai atau talak seperti contoh kasus konkret di lapangan maka sang ibu/ isteri akan menerima kekerasan baik itu secara fisik dan psikologis bahkan berujung pada kematian. Hal ini merupakan suatu yang dilematis bagi gereja, di satu sisi gereja melarang perceraian dengan alasan normatif-tradisional yang diambil dari Kitab Suci. Namun disisi lain, gereja juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai fakta manusiawi yang dapat mendorong terjadinya perceraian, seperti KDRT.

Berdasarkan permasalahan sosial dan budaya mengenai perceraian yang banyak terjadi khususnya disebabkan karena KDRT. Maka penyaji mengangkat judul mengenai masalah perceraian karena KDRT. Karena mengandung dilematis etis yang dimana jika bertahan babak belur jika tidak bertahan (cerai) akan melawan kehendak Allah sesuai yang tertulis dalam Alkitab (Mat. 19:6,8-9). Maka kami akan mengkaji berdasarkan kepustakaan dan kajian gereja-gereja yang ada mengenai perceraian disebabkan KDRT.

II.                Pembahasan

2.1. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perceraian adalah: “Terlepasnya ikatan perkawinan antara kedua belah pihak, setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. Masalah perceraian dalam UU No. 1 Thn 1974, diatur dalam pasal-pasal berikut: Pasal 38 bahwa perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian atas putusan pengadilan.[1] Perceraian merupakan masalah yang rumit karena di dalam perkawinan terkandung janji yang mengikat. Perceraian membawa berbagai dampak bagi kehidupan orang yang melakukannya. Ada banyak konsekuensi yang ditanggung oleh orang tersebut ketika ia sendiri atau pasangannya memilih bercerai, ada konsekuensi baik etis dan psikologis maupun finansial. Juga ada akibat berhubungan dengan statusnya dalam masyarakat termasuk persekutuan gereja. Di Indonesia, reputasi orang yang bercerai pada umumnya dapat dikatakan sangatlah buruk karena mereka dianggap sebagai “pengkhianat” rumah tangga.[2]

2.2. Pandangan Alkitab Mengenai Perceraian

2.2.1.      Menurut Perjanjian Lama

Ada beberapa teks di dalam Perjanjian Lama yang latar belakangnya mengisyaratkan adanya praktik perceraian (bnd. Im. 12:7.14, 22:13; Yes. 54:6; Yer.3:1). Ezra 10 menuntut perceraian jika ada pernikahan campur. Namun, dalam Alkitab tidak ditemukan teks hukum yang mengatur secara spesifik dan sistematis hal perceraian. Yang ditemukan adalah satu teks yang mengatur perkara tertentu yang sangat khusus: seorang istri yang pernah diceraikan dan kawin lagi, tidak boleh diterima kembali oleh suaminya yang pertama bahkan jika suaminya yang kedua telah meninggal (bnd. Ul. 24:1-4). Teks aturan itu mensyaratkan adanya surat cerai kepada isterinya.[3] Banyak orang berpikir bahwa Alkitab memiliki banyak hal untuk dikatakan mengenai perceraian. Keempat ayat yang dicantumkan diatas adalah bagian besar dari apa yang dikatakan oleh Hukum Musa tentang perceraian. Satu-satunya perintah lain yang terkait dengan perceraian dan pernikahan kembali dalam Perjanjian Lama adalah sebuah perintah bagi mereka yang terpilih sebagai imam-imam besar. Imam besar diperintahkan untuk mengambil seorang perempuan Israel yang masih perawan sebagai isterinya. Ia tidak diizinkan untuk menikahi seorang perempuan sundal, perempuan yang telah diceraikan, seorang janda, atau seorang yang “dirusak kesuciannya” (Lih. Im. 21:14).[4]

2.2.2.      Menurut Perjanjian Baru

Di Perjanjian Baru, pandangan Yesus tentang perceraian dalam Kristen bisa dilihat dari Matius 5:31-32 dan juga Matius 19:9. Yesus secara tegas melarang perceraian terjadi.[5] “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali zinah, ia menjadikan isterinya berzinah dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Mat.5:31-32). Yesus mengatakan bahwa perceraian diizinkan hanya dalam kasus penyimpangan seksual, yang juga telah diterjemahkan sebagai ketidaksetiaan seksual atau perzinahan.[6] Dalam bahasa Yunani kata zinah adalah porneia. Porneia merupakan sesuatu yang najis.[7] Pengajaran Yesus menjelaskan bahwa pemisahan hubungan antara suami dan isteri bukanlah kehendak Allah. ketika hubungan perkawinan rusak, itu merupakan akibat dosa, perceraian membuat pemisahan suami isteri menjadi legal dan permanen. Pemutusan perkawinan bertentangan dengan kesempurnaan kehendak Allah bagi umat manusia.[8]

2.3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan jahat dan perilaku serta perkataan kasar terhadap seorang yang termasuk dalam anggota keluarga, baik terhadap suami terutama kepada isteri dan terhadap anak. Kekerasan rumah tangga juga termasuk penelantaran terhadap rumah tangga dan tindakan mengancam untuk melakukan perbuatan, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[9] Kekerasan dalam rumah tangga adalah soal kekeluargaan yang harus ditanggung oleh perempuan apapun penderitaan yang dihadapinya.[10] Dengan kata lain KDRT adalah persoalan yang cukup banyak hidup dalam pengalaman kaum perempuan dan dipertimbangkan untuk alasan perceraian. Perempuan tetap tinggal dalam keadaan KDRT atas nama cinta, terlanjur punya anak, takut pada komentar orang lain dan takut pada sangsi yang dijatuhkan oleh gereja.[11] Secara praktis terdapat tiga jenis kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi secara dominan dalam keluarga yaitu, sebagai berikut:

1.      Physical Maltreatment

Physical Maltreatment adalah sebuah kekerasan secara fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan tersebut meliputi sejumlah perilaku kasar seperti memukul, menganiaya dengan benda tumpul dan benda tajam. Pada umumnya secara praktis kekerasan fisik dalam rumah tangga dilakukan oleh suami yang telah kehilangan rasa kasih sayang terhadap isterinya.

2.      Psychological Maltreatment

Psychological Maltreatment adalah sebuah kekerasan rumah tangga yang terjadi secara psikologis. Secara praktis kekerasan ini dialami seseorang melalui tekanan batin, baik karena penghinaan, perkataan kasar dan tidak senonoh, pelecahan nama baik pribadi maupun keluarga, diremehkan dan tidak diperhatikam atau karena tidak terpenuhi sejumlah kebutuhan lainnya.

3.      Sexual Maltreatment

Sexual Maltreatment adalah sejumlah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga sebagai akibat dari perilaku seksual dalam rumah tangga yang dilakukan secara melampaui batas kewajaran. Misalnya terjadi perilaku seks yang tidak normal yang mengalami kelainan seks, seperti hiper seksual yang melakukan seks setiap hari diluar batas wajar dalam sehari.[12]

2.4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kaitannya dengan Patriakhal

Berdasarkan yang diangkat Yesus (Mat. 19:4-6) gereja melihat perkawinan monogam untuk seumur hidup sebagi kehendak Allah. Dalam masyarakat patriakhal, suami menjadi kepala rumah tangga dan berwibawa dihadapan isteri dan anak-anak yang harus tunduk padanya. Ajaran rasuli mengikuti pola itu, dengan menugaskan suami mengasihi isterinya. Dalam denominasi, pada satu pihak dan kepasrahan dipihak lain dinilai sebagai kegagalan dalam usaha mempertahankan hubungan timbal balik. Iman Kristen menemui kembali keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan segambar Allah setingkat dalam perbedaan mereka dan sama-sama dipanggil untuk mengasihi dan berkarya menurut kemampuan masing-masing. Kesadaran ini mengubah pengertian tentang hubungan pernikahan. Yesus menyatakan bahwa Ia tidak membenarkan patriakhal sebab dianggap sebagai warisan kuno.[13] Budaya patriakhal adalah budaya yang dibangun atas dasar hirerki dominasi dan subornasi yang mengharuskan laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Rueda mengatakan bahwa patriakhal adalah penyebab penindasan terhadap perempuan. Masyarakat yang menganut sistem patriakhal meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan.[14] Kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung, salah satunya karena didukung oleh budaya dan keyakinan serta praktek agama Kristen yang bersifat partiakhal. Hal ini nampak dalam ajaran-ajaran gereja dan tafsiran Alkitab. Akibatnya orang lalu memandang bahwa perendahan dan kekerasan itu dalam rangka mengajar atau mendidik isteri supaya taat pada Allah dan suaminya.[15]

2.5. Perceraian disebabkan KDRT

Negara Indonesia telah memberlakukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Catatan kekerasan terhadap terhadap perempuan tahun 2010 yang dirilis oleh Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap perempuan) menunjukkan dari 106.103 kasus yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan, 101.128 terjadi di ranah personal. Kasus kekerasan terhadap isteri masih paling banyak, yaitu 98.577 kasus, selebihnya terdapat kasus 1.299 kekerasan dalam pacaran dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.[16] Persoalan KDRT adalah alasan yang lebih berhubungan dengan perempuan untuk menerima perceraian.[17] Namun tidak semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat langsung mengarah pada perceraian, tetapi semua itu pasti membangkitkan kemarahan Allah dan layak dibenci sebagaimana Allah membenci perceraian.[18] Dalam pernikahan tidak dapat menerima perceraian sekalipun itu karena persoalan KDRT. Hal ini ditegaskan dengan korelasi positif antara konfirmasi transenden dalam ibadah pernikahan tidak memberikan ruang pada tindakan perceraian dengan alasan apapun. Menerima perceraian sepertinya dipahami sebagai sikap melawan pemahaman bahwa Allah yang menghendaki dan meresemikan pernikahan tersebut. Perceraian adalah bentuk perlawanan pada Allah.[19] Tetapi mengingat keterbatasan dan kelemahan manusia yang tidak sempurna, ada banyak hal yang dapat menganggu kehidupan pernikahan sehingga perceraian tidak terelakkan lagi. Keputusan bercerai sering bertujuan menghindari penderitaan yang berkepanjangan yang dialami oleh satu pihak, terutama kaum perempuan. Secara khusus alasan bercerai yang diakibatkan oleh KDRT.[20] Berdasarkan dengan kajian tersebut dapat dilihat bahwa Allah membenci suatu perceraian. Kelemahan dan keterbatasan manusia apalagi hampir mengancam suatu nyawa seseorang seperti kasus yang ada maka tidak mesti dilakukan suatu perceraian. Perceraian dapat diminimalisir dengan memberikan space antara kedua personal dan diberi pastoral dan diberikan suatu pemahaman akan kasih seperti yang tertulis dalam Efesus 5:22-25 untuk saling mengasihi dan menghargai antara pasangan suami dan isteri.

2.6. Dilematis Perceraian Disebabkan KDRT

Alasan-alasan perceraian yang dihadapi oleh gereja yang seringkali menjadi dilematis etis adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga perceraian yang disebabkan KDRT dapat dibenarkan dengan alasan:

1.      Perceraian adalah pilihan terakhir untuk menyelesaikan persoalan, secara khusus kekerasan dalam rumah tangga.

2.      Tidak ada damai sejahtera dalam kehidupan suami isteri, dimana anak-anak menderita pertengkaran kedua orangtua dan penderitaan sang ibu yang mengalami kekerasan, sementara suami tidak menunjukkan keinginan untuk mengubah perilakunya.

3.      Anak-anak hidup lebih baik dalam keluarga single parent dari pada dalam keluarga yang berkonflik.

Persoalannya adalah banyak gereja yang menentang perceraian dan pelaku perceraian dikenai siasat gerejawi karena dianggap sudah melakukan pelanggaran atau dosa. Hal ini kemudian menimbulkan perdebatan antara menyetujui perceraian, secara khusus yang menyangkut kekerasan dalam rumah tangga, atau menentang perceraian dengan alasan apapun.[21] Dalam kasus perceraian yang disebabkan oleh KDRT dalam pelayan pastoral diminta rujuk kembali karena demikianlah perintah Alkitab, tidak ada pilihan lain bagi orang tersebut, meskipun kekerasan tetap terjadi. Dalam kasus demikian, patut mengakui bahwa rumah tangga yang hancur memang salah, tetapi itu terjadi karena adanya tindak kekerasan yang dilakukan salah satu pihak yang gemar menindas.[22] Sehingga perlulah peran gereja yang memandang dan membuka mata atas persoalan yang nyata dalam jemaat dan menjadi penengah dan mencari solusi antara suami dan isteri yang melakukan KDRT tanpa harus bercerai. Dengan konflik yang berkepanjangan maka isteri yang menerima suatu tindak kekerasan harus akan lebih dikuatkan iman dan kepercayaannya karena jika isteri yang menyerah akan keluarganya maka akan banyak yang akan dikorbankan terutama anak-anaknya sendiri.

2.7. Pandangan dan Sikap Gereja Terhadap Perceraian Disebabkan KDRT

Tujuan dasar gereja adalah sebagai bentuk adanya kerajaan Allah di bumi. gereja secara representive dituangkan ke dalam visi gereja local, sehingga penggembalaan yang ada di dalam gereja bertujuan untuk mengarahkan jemaat kepada visi gereja. Secara umu gereja merupakan tempat komunitas orang percaya, dimana semua orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus berasa di bawah naungan gereja. Bisa dikatakan bahwa semua aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh orang percaya juga berasal di bawah naungan gereja dan tetap ada hubungannya dengan gereja.[23]

Larangan bercerai diajarkan oleh gereja yang memandang perkawinan sebagai sakramen maupun oleh gereja yang tidak memandangnya sebagai sakramen. Ajaran atau doktrin ini diajarkan turun temurun dan bagi mereka yang melanggarnya akan dianggap pendosa sehingga dikenakan siasat atau disiplin gerejawi. Larangan bercerai mengacu pada teks Mat. 19:6 bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia, dan bahwa perkawinan hanya terjadi sekali untuk seumur hidup. Melalui Mat. 19:6 orang lalu membedakan bahwa perkawinan terjadi karena inisiatif Allah atau Allahlah yang menyatukan suami isteri tersebut, sedangkan perceraian adalah inisiatif dari manusia dan upaya menghancurkan karya Allah, karena itu perceraian harus ditolak.[24] Gereja seharusnya membenci kekerasan dalam rumah tangga seperti halnya gereja membenci perceraian. Ketika kita menganggap bahwa Allah membenci perceraian lebih daripada Ia membenci kekerasan dalam rumah tangga, hal itu menunjukkan betapa sedikit kita memahami tentang kasih-Nya bagi semua anak perempuan-Nya.[25] Perceraian adalah soal hati. Ini karena kita mengizinkan hati kita menjadi keras sehingga kita mengusahakan sebuah perceraian. Kerinduan Allah yang lebih tinggi adalah agar dua orang yang menikah tetap bersama sampai sepanjang umur hidup mereka. Orang yang berusaha untuk bercerai adalah orang yang dikatakan Yesus sebagai orang yang menentang tujuan Allah tertinggi untuk pernikahan. Ketika Allah menyatukan dua orang bersama di dalam pernikahan, mereka dipandang sebagai satu kesatuan fisik dalam pandangan mata-Nya, satu unit sosial, satu keluarga, satu “tubuh”.[26]

Dalam situasi ini, kepedulian gereja seharusnya bersifat pastoral, bukan menghakimi dan karena itu gereja menekankan kemungkinan pengampunan Allah serta permulaan baru. Mereka mengharapkan dukungan moral dari gereja bukan justru perkataan-perkataan yang makin membuat tertekan. Gereja merupakan pihak yang diharapkan untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi kaum perempuan yang bercerai akibat KDRT.[27]

2.8. Mengatasi Perceraian Disebabkan KDRT

Mengekspresikan cinta dalam perkataan dan tindakan yang dimana diperlukan enam jenis cinta yang kebal akan perceraian yaitu sebagai berikut:

1.      Cinta yang mengampuni

2.      Cinta yang melayani

3.      Cinta yang teguh

4.      Cinta yang menjaga

5.      Cinta yang penuh pujian

6.      Cinta yang memperbaharui

Enam ekspresi cinta ini adalah rahasia untuk pernikahan yang kokoh dan tidak terkalahkan. Ketika mempraktikkan jenis-jenis cinta ini melalui kasih karunia Tuhan, maka akan melindungi pernikahan dari kerusakan akibat jarak emosi, putus hubungan relasional, perselisihan dan perceraian emosional.[28] Orang-orang menyatakan banyak alasan tentang mengapa mereka mengusahakan sebuah perceraian. Apa yang Yesus ingin untuk dilakukan adalah mencari alasan-alasan yang membuat tetap bersama.[29] Dalam hal ini juga seorang suami dan isteri memiliki kewajiban dan hak yaitu masing-masing harus tunduk kepada kewajiban dan hak selaku suami atau isteri, saling mengharagai dan menghormati satu sama lain tanpa ada pemaksaan, menjungjung tinggi kesetaraan dengan demikian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindarkan.[30]

2.9. Tinjauan Etis Perceraian Disebabkan KDRT

Ada berbagai argumen yang menggaung dalam memandang KDRT sebagai dasar legitimat lain yang menjustifikasi perceraian. Pandangan ini secara khusus menyoroti perkataan Paulus dalam 1 Korintus 7:12-15 yang memberikan pertimbangan lain untuk bercerai, yaitu karena desersi.[31] Yang dimana menurut Paulus perceraian diperbolehkan kecuali alasan “pembelotan” di mana orang Kristen ditinggalkan oleh pasangan yang tidak seiman (non-Kristen). Hal yang dibahas Paulus di sini mengenai situasi yang muncul ketika dua orang non-Kristen menikah, yang salah satunya kemudia bertibat menjadi Kristen. Haruskah oasangan Kriste menceraikan yang tidak Kristen? Jawaban Paulus sangat jelas, apabila pasangan yang tiidak Kristen “mau hiduo bersama-sama” dengan yang Kristen, maka yang Kristen tidak boleh menceraikan. Alasannya, pasangan yang tidak percaya dikuduskan melalui pasangannya yang percaya (Kristen), demikian pula anak-anak mereka. dengan amat jelas dikatakan Paulus, jika pasangan yang tidak Kristen bersedia tetap tinggal hiduo bersama, “janganlah saudara itu menceraikan dia” dan “janganlah dia (perempuan) menceraikan laki-laki itu” (ayat 12-13). Sebaliknya, apabila pasangan yang tidak Kristen bersikeras untuk melepaskan diri, “biarlah dia pergi” (ayat 15).[32] Dalam hal ini penulis mengkaji dari perkataan Paulus seorang pembelot dapat dikontekskan yaitu suami yang melakukan KDRT dimana dapat digolongkan pula sebagai orang yang tidak percaya yang tidak memiliki kasih maka dalam hal ini jika seorang isteri yang menerima kekerasan dalam rumah tangga selaku orang percaya biarlah dia jangan menceraikan suaminya yang dimana Firman Tuhan mengatakan Allah membenci perceraian (Mal. 2:15-16) maka dengan kesabaran dan ketabahan maka sang isteri menyelamatkan dan juga menguduskan sang suami yang tidak beriman (tidak memiliki kasih). Namun jika sang suami yang melakukan kekerasan yang dimana berlaku seperti orang yang tidak percaya meminta untuk pergi dan cerai baiklah sang isteri jangan menahan dan biarkan orang yang tidak percaya itu pergi. Dengan begitu seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam 1 Kor. 7:12-15 bahwa perceraian dilakukan jika ada “pembelotan” oleh salah seorang dari suami atau isteri.

Menurut Davis dalam sebuah jurnal teologi mengatakan bahwa kehidupan di dalam pernikahan yang ditandai dengan ketidakharmonisan yang disengaja, sudah menunjukkan bagian dari perbuatan desersi. Namun ia tetap menegaskan bahwa gereja tidak boleh menganjurkan orang Kristen untuk segera mengakhiri pernikahan sebagai solusi atas kekerasan dalam rumah tangga.[33] Namun perceraian bukanlah solusi terbaik atau solusi terakhir. Sekali lagi Allah membenci perceraian. Perceraian adalah solusi dari pemikiran manusia yang dilandasi keegoisan dan harga diri. Perceraian dengan alasan apapun kecuali zina merupakan suatu hal yang mendukakan hati Allah. Yesus menjelaskan suatu perceraian berdasarkan Ulangan 24:1 yang dimana Yesus menjawab pertanyaan orang Farisi “karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat 19:8). Maka mengapa terjadi perceraian, itu karena ketegaran dan pemberontakan hati manusia. Sejak semula Allah tidak menghendaki perceraian. Dalam terjemahan lain, ketegaran hati disebut “kekerasan hatimu”. Orang berusaha mengambil jalan pintas dengan perceraian adalah orang yang mengeraskan hatinya.[34] Sehingga dengan kajian tersebut bahwa ditinjau berdasarkan Alkitabiah, memang tidak ada hukum Alkitab yang menjustifikasi perbuatan kekerasan sebagai dasar untuk kasus perceraian. Namun di dalam menghadapi persoalan etis, selalu ada pilihan yang harus diambil. Jika kita hendak mencari apa yang dikehendaki oleh Allah, kita perlu meyelami tiga area di mana Allah bekerja, yaitu melalui norma-norma-Nya di dalam Alkitab, melalui situasi yang dikontrol oleh Allah, dan juga melalui peran Roh Kudus yang menyatakan kebenaran pada kita.[35]

III.             Kajian dari Tradisi Gereja atau Hukum Gereja

Pada hakikatnya gereja tidak pernah merestui perceraian, karena perkawinan hanya dapat putus oleh karena kematian salah satu pihak (pasal 3 “GKPS memahami bahwa perkawinan itu adalah karya Allah, dimana Allah mempersatukan mereka sebagai suami-isteri. Karena itu pada hakekatnya perkawinan tersebut hanya dapat putus oleh karena kematian salah satu pihak”). Tetapi pada pihak lain, gereja juga mengakui pembatalan perkawinan dengan alasan:

1.      Jika ternyata perkawinan itu bukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dengan kata lain, gereja tidak membenarkan perkawinan antara seorang laki-laki dengan laki-laki atau seorang perempuan dengan perempuan.

2.      Jika ternyata suami atau isteri masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Sebab gereja mengakui bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.

Meskipun gereja tidak menyetujui suatu perceraian kecuali perceraian dalam pasal 3 namun dalam aturan petunjuk pelaksanaan peraturan perkawinan di GKPS korban yang bercerai karena suatu siksaan atau kekerasan dalam rumah tangga tidak dikenai siasat gereja yang dimana tertulis dalam petunjuk pelaksanaan peraturan perkawinan di GKPS pelayanan yang berhubungan dengan siasat gereja (ruhut paminsangon). Tidak dikenakan siasat gereja kepada yang bercerai jika seorang yang menceraikan isteri atau suaminya karena yang diceraikannya sering melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan.[36] Dan diatas itu semua peraturan tersebut adalah setelah melalui keputusan pengadilan maka dari itu berdasarkan tata dasar dan tata laksana serta tata kerja seksi GKPS pasal 45 mengenai pemutusan pernikahan yang dimana jika karena adanya persoalan berat dalam keluarga yang sudah mendapatkan pendampingan penggembalaan secara optimal, pasangan suami-istri yang status pernikahannya telah disahkan di Kantor Catatan Sipil menghadapi masalah pemutusan pernikahan, pemutusan pernikahan diterima oleh GKPS jika didasarkan pada keputusan pengadilan negeri.[37] Dalam hal ini gereja tidak mengizinkan perceraian namun jika suatu perceraian tersebut disahkan oleh pengadilan maka gereja mengakuinya namun melihat penyebab perceraian maka gereja akan melihat apakah perlu diberi siasat gereja atau tidak.

IV.             Kesimpulan dan Saran

Perceraian atas dasar kekerasan dasar rumah tangga suatu keputusan yang dilematis yang dimana gereja harus memegang teguh ajaran iman Kristen mengenai firman Tuhan yang beranjak dari Matius 19:6. Berdasarkan kajian penyaji berdasarkan kajian kepustakaan buku dan beberapa jurnal dan artikel, gereja harus tetap berpegang pada Firman dimana pernikahan adalah lembaga pertama yang diciptakan Tuhan dan pernikahan adalah kudus dan diberkati oleh Allah. Maka dari itu suatu pernikahan hanya berlaku sekali seumur hidup, tidak dizinkan suatu perceraian. Namun untuk menanggapi kekerasan yang terjadi dalam masyarakat yang nyata dan konkret maka dari itu gereja perlu untuk memberi lembaga yang melindungi dan memberikan pelayanan pastoral baik bagi korban untuk menguatkan dan membantu menyalurkan beban dan keluh kesahnya agar gereja hadir untuk bersama-sama menanggung dari penderitaan dari korban. Gereja juga hadir untuk si pelaku KDRT untuk memberikan penggembalaan untuk membina dan menyadarkan secara bertahap dan dengan sabar untuk mengubahkan pelaku dengan berlandas kasih. Maka pelayanan pastoral dan penggembalaan gereja perlu dengan membangun lembaga khusus bagi mereka korban dan pelaku KDRT. Berdasarkan kasus atau masalah yang penyaji angkat, dimana menjadi dilematis jika bahwa gereja harus tetap berpegang teguh pada ajaran Kristen tentang perceraian namun gereja juga tidak bisa menutup mata atas kenyataan kekerasan yang terjadi. Maka penyaji berpegang pada Matius 19:6 dimana tidak diperbolehkan perceraian dengan alasan apapun kecuali perceraian diakibatkan mau seperti peraturan GKPS pasal 3. Terlepas dari kenyataan isteri yang menerima kekerasan disinilah gereja harus hadir dan merangkul. Tidak mesti perceraian menjadi solusi atau jalan keluar jika jemaat tersebut masih mau di bimbing.

V.                Kepustakaan

…, Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Perkawinan di GKPS.

…, Tata Gereja GKPS. Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 2021.

Frame, John M., The Doctrine of the Christian Lofe: A Theology of Lordship. Philipsburg: P&R Publishing, 2008.

Frommel, Marie Claire Barth, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Gary & Barbara Rosberg, Pernikahan Anti Cerai: Mengobarkan Api Cinta Untuk Membangun Pernikahan yang Kokoh. Yogyakarta: ANDI, 2010.

Hines, Darrel L., Pernikahan Kristen: Konflik & Solusinya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.

Hutahaean, Wendy Sepmady, Kepemimpinan Keluarga Kristen. Malang: Ahlimedia Press, 2021.

Margono, Jessica Emily, Diantara Bertahan dan Melepas: Menanggapi Perceraian atas Dasar Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai Warisan Patriakhal, Consilium 21: Jurnal Teologi dan Pelayan (Januari-Juli 2020).

Matondang, Armansyah, “Faktor-Faktor yang Mengakibatan Perceraian dalam Perkawinan”,Jurnal Ilmu Pemerintah dan Sosial Politik, , (2) (2014):141-150.

Natar, Asnath Niwa Perceraian dan Kehidupan Menggereja. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2018.

Natar, Asnath Niwa, “Perceraian Vs Kekerasan dalam Rumah Tangga: Tinjuan terhadap Hasil Penelitian dari Perspektif Feminis”, dalam Perceraian dan Kehidupan Menggereja, Ed. By Asnath Niwa Natar. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2018.

Ndruru, Steven Anugerah Jaya, “Pernikahan Kudus, KDRT dan Perceraian Dalam Gereja Masa Kini”.

Nurwijaya, Hartati, Mencegah Selingkuh dan Cerai. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013.

Pandensolang,Willy, Keluarga Kristen Rumah Tuhan: Mengubah Keluarga Anda dari Menang Menjadi Lebih dari Pemenang. Jakarta: Yayasan Agape Indonesia Press, 2012.

Powers, B. Ward, Perceraian & Perkawinan Kembali: Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011.

Rokhmansyah, Alfa, Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Aal Krtik Satra Feminisme. Yogyakarta: Garudhawaca, 2016.

Schafer, Ruth, & Freshia Aprilyn Ross, Bercerai Boleh atau Tidak?: Tafsiram Terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.

Situmorang, Jonar T. H., Kekristenan yang Radikal. Yogyakarta: ANDI, 2012.

Stevanus, Kalis, “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian dan Pernikahan Kembali”¸Kurios (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol. 4 No. 2 (Oktober 2018).

Thomas, Gary, A Lifelong Love (Kasih yang Abadi ). Surabaya: David C. Cook, 2014.

 



[1] Armansyah Matondang, “Faktor-Faktor yang Mengakibatan Perceraian dalam Perkawinan”,Jurnal Ilmu Pemerintah dan Sosial Politik, , (2) (2014):141-150, h. 143.

[2] Ruth Schafer & Freshia Aprilyn Ross, Bercerai Boleh atau Tidak?: Tafsiram Terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), h. 2.

[3] Ruth Schafer & Freshia Aprilyn Ross, Bercerai Boleh atau Tidak?: Tafsiram Terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, h. 38-39.

[4] Darrel L. Hines, Pernikahan Kristen: Konflik & Solusinya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), h. 283-284.

[5] Wendy Sepmady Hutahaean, Kepemimpinan Keluarga Kristen, (Malang: Ahlimedia Press, 2021), h. 54.

[6] Darrel L. Hines, Pernikahan Kristen: Konflik & Solusinya, h. 287.

[7] Wendy Sepmady Hutahaean, Kepemimpinan Keluarga Kristen, h. 54.

[8] B. Ward Powers, Perceraian & Perkawinan Kembali: Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), h. 79-80.

[9] Willy Pandensolang, Keluarga Kristen Rumah Tuhan: Mengubah Keluarga Anda dari Menang Menjadi Lebih dari Pemenang, (Jakarta: Yayasan Agape Indonesia Press, 2012), h. 54.

[10] Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 274.

[11] Asnath Niwa Natar, Perceraian dan Kehidupan Menggereja, (Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2018), h. 38-39.

[12] Willy Pandensolang, Keluarga Kristen Rumah Tuhan: Mengubah Keluarga Anda dari Menang Menjadi Lebih dari Pemenang, h. 54-55.

[13] Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis, h. 312-313.

[14] Alfa Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Aal Krtik Satra Feminisme, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016), h. 32.

[15] Asnath Niwa Natar, “Perceraian Vs Kekerasan dalam Rumah Tangga: Tinjuan terhadap Hasil Penelitian dari Perspektif Feminis”, dalam Perceraian dan Kehidupan Menggereja, Ed. By Asnath Niwa Natar, (Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2018), h. 74.

[16] Hartati Nurwijaya, Mencegah Selingkuh dan Cerai, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013), h. 57.

[17] Asnath Niwa Natar, Perceraian dan Kehidupan Menggereja, (Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2018), h. 38-39.

[18] Gary Thomas, A Lifelong Love (Kasih yang Abadi ), (Surabaya: David C. Cook, 2014), h. 306.

[19] Asnath Niwa Natar, Perceraian dan Kehidupan Menggereja, h. 46-47.

[20] Ruth Schafer & Freshia Aprilyn Ross, Bercerai Boleh atau Tidak?: Tafsiram Terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, h. 197.

[21] Asnath Niwa Natar, “Perceraian Vs Kekerasan dalam Rumah Tangga: Tinjuan terhadap Hasil Penelitian dari Perspektif Feminis”, dalam Perceraian dan Kehidupan Menggereja, Ed. By Asnath Niwa Natar, h. 73-74.

[22] B. Ward Powera, Perceraian & Perkawinan Kembali, h. 80-81.

[23] Steven Anugerah Jaya Ndruru, “Pernikahan Kudus, KDRT dan Perceraian Dalam Gereja Masa Kini”, h. 3.

[24] Asnath Niwa Natar, “Perceraian Vs Kekerasan dalam Rumah Tangga: Tinjuan terhadap Hasil Penelitian dari Perspektif Feminis”, dalam Perceraian dan Kehidupan Menggereja, Ed. By Asnath Niwa Natar, h. 77. 

[25] Gary Thomas, A Lifelong Love (Kasih yang Abadi), h. 305.

[26] Darrel L. Hines, Pernikahan Kristen: Konflik & Solusinya, h. 287.

[27] Ruth Schafer & Freshia Aprilyn Ross, Bercerai Boleh atau Tidak?: Tafsiram Terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, h. 196-197.

[28] Gary &Barbara Rosberg, Pernikahan Anti Cerai: Mengobarkan Api Cinta Untuk Membangun Pernikahan yang Kokoh, (Yogyakarta: ANDI, 2010), hal. 62-63.

[29] Darrel L. Hines, Pernikahan Kristen: Konflik & Solusinya, h. 187.

[30] …, Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Perkawinan di GKPS, h. 71.

[31] Jessica Emily Margono, Diantara Bertahan dan Melepas: Menanggapi Perceraian atas Dasar Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai Warisan Patriakhal, Consilium 21: Jurnal Teologi dan Pelayan (Januari-Juli 2020), h. 115-116.

[32] Kalis Stevanus, “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian dan Pernikahan Kembali”¸Kurios (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol. 4 No. 2 (Oktober 2018), h. 149.

[33] Jessica Emily Margono, “Diantara Bertahan dan Melepas: Menanggapi Perceraian atas Dasar Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai Warisan Patriakhal”, Consilium 21: Jurnal Teologi dan Pelayan (Januari-Juli 2020), h. 115-116.

[34] Jonar T. H. Situmorang, Kekristenan yang Radikal, (Yogyakarta: ANDI, 2012), h. 117-118.

[35] John M. Frame, The Doctrine of the Christian Lofe: A Theology of Lordship, (Philipsburg: P&R Publishing, 2008), 782.

[36] …, Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Perkawinan di GKPS, h. 73-74.

[37] …, Tata Gereja GKPS, (Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 2021), h. 45.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: