wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Khotbah Epistel 14 September 2025 Yeremia 3:14-18

 


Yeremia 3:14-18 

dengan tema “Sukacita atas Kembalinya Anak yang Hilang.”

Pendahuluan

Kitab Yeremia ditulis dalam masa yang penuh gejolak politik dan krisis iman, di mana bangsa Yehuda sedang berada di ambang kehancuran akibat dosa mereka yang meninggalkan Tuhan. Nabi Yeremia dipanggil Allah untuk menyampaikan firman yang keras namun penuh kasih, agar umat kembali dari jalan sesat mereka. Dalam Yeremia 3:14-18, kita melihat gambaran Allah sebagai suami yang mengajak kembali istri yang tidak setia, yakni Israel yang telah jatuh dalam penyembahan berhala. Teks ini bukan hanya tentang penghukuman, melainkan juga tentang harapan dan pemulihan. Gambaran ini sangat relevan dengan pengalaman manusia yang sering kali meninggalkan Tuhan namun dipanggil kembali dalam kasih-Nya. Maka dari itu, tema sukacita atas kembalinya anak yang hilang menemukan pijakan kuat dalam teks ini.

Konteks budaya pada zaman Yeremia adalah masyarakat agraris yang sangat terikat pada perjanjian keluarga dan kesetiaan dalam hubungan pernikahan. Pengkhianatan dalam pernikahan dipandang sebagai aib besar, sama halnya dengan pengkhianatan Israel terhadap Tuhan melalui penyembahan berhala. Allah menggunakan simbol ini untuk memperlihatkan betapa seriusnya dosa umat-Nya, namun sekaligus menegaskan bahwa kasih dan pengampunan-Nya lebih besar daripada pengkhianatan manusia. Yeremia menegaskan bahwa meski Israel dianggap sebagai istri yang tidak setia, Allah masih bersedia menerima mereka kembali bila mereka bertobat. Hal ini menunjukkan dimensi relasional yang mendalam dalam relasi Allah dan umat-Nya. Untuk itu, ayat ini menekankan kesetiaan kasih Allah yang menanti kembalinya umat-Nya.

Secara politik, Yeremia menulis dalam masa kerajaan Yehuda yang lemah dan terhimpit oleh kekuatan besar seperti Asyur dan Babel. Kondisi ini membuat umat mencari perlindungan dari bangsa-bangsa asing dengan cara kompromi iman, termasuk menerima dewa-dewa asing dalam ibadah mereka. Situasi ini melahirkan krisis identitas dan menimbulkan kehancuran moral serta spiritual bangsa. Namun, Yeremia mengingatkan bahwa keselamatan sejati tidak datang dari kekuatan politik atau militer, melainkan dari ketaatan kepada Allah yang hidup. Dengan demikian, teks ini menjadi panggilan agar umat tidak hanya kembali kepada Allah secara spiritual, tetapi juga menemukan jati diri mereka yang sejati sebagai umat perjanjian.

Penjelasan Teks

Yeremia 3:14 dimulai dengan seruan Allah yang penuh kelembutan, “Kembalilah, hai anak-anak yang murtad, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku ini tuanmu.” Di sini terlihat kasih Allah yang tidak menyerah meskipun umat-Nya berulang kali jatuh dalam dosa. Seruan “kembalilah” bukan sekadar panggilan moral, melainkan ajakan penuh kasih seorang Bapa kepada anak-anak-Nya yang hilang. Allah bahkan berjanji akan mengambil mereka satu dari kota dan dua dari kaum untuk dipulihkan. Janji ini menekankan bahwa meski jumlahnya sedikit, Allah setia menjaga sisa umat yang mau kembali. Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa keselamatan adalah karya Allah yang penuh kasih dan kesetiaan.

Ayat 15 melanjutkan janji Allah bahwa Ia akan memberikan gembala-gembala yang sesuai dengan hati-Nya. Hal ini menekankan pentingnya kepemimpinan rohani yang sejati, bukan yang hanya mencari kepentingan diri atau kompromi politik. Dalam konteks Yeremia, banyak pemimpin rohani dan nabi palsu yang menyesatkan umat dengan janji-janji palsu dan ibadah yang salah. Allah menegaskan bahwa Ia sendiri yang akan menetapkan gembala-gembala setia untuk menggembalakan umat-Nya dengan pengetahuan dan pengertian. Maka dari itu, teks ini mengajarkan bahwa pemulihan bangsa tidak mungkin tanpa kepemimpinan rohani yang benar.

Yeremia 3:16 berbicara tentang masa depan ketika umat telah bertambah banyak di negeri yang diberikan Allah. Dalam masa itu, mereka tidak lagi memikirkan tabut perjanjian TUHAN, bahkan tidak akan disebut lagi, diingat, atau dibuat. Pernyataan ini sangat mengejutkan karena tabut adalah simbol kehadiran Allah dan pusat ibadah Israel. Namun, maksud dari firman ini adalah bahwa Allah sendiri akan hadir dan memimpin umat tanpa lagi perlu simbol-simbol lahiriah. Untuk itu, inti dari ibadah adalah relasi langsung dengan Allah, bukan hanya simbol-simbol keagamaan.

Ayat 17 melukiskan Yerusalem sebagai takhta TUHAN, tempat segala bangsa akan berkumpul untuk menyembah. Gambaran ini mengandung visi eskatologis di mana penyembahan kepada Allah tidak lagi terbatas hanya untuk Israel, melainkan terbuka bagi segala bangsa. Dalam konteks Perjanjian Lama, hal ini merupakan visi universal bahwa kasih Allah melampaui batas etnis Israel. Hal ini menegaskan bahwa kembalinya umat kepada Allah membawa dampak yang lebih luas, yaitu terbukanya jalan keselamatan bagi segala bangsa. Dengan demikian, teks ini memiliki nilai profetis yang menunjuk kepada karya Kristus di kemudian hari.

Yeremia 3:18 menyatakan bahwa pada waktu itu Yehuda akan berjalan bersama-sama dengan Israel, dan mereka akan datang dari tanah utara ke negeri yang diberikan TUHAN. Pernyataan ini menegaskan pemulihan yang bersifat menyeluruh, di mana bangsa yang terpecah akan dipersatukan kembali. Secara historis, Israel Utara telah jatuh ke tangan Asyur dan Yehuda menghadapi ancaman Babel. Namun, janji Allah menunjukkan bahwa pemulihan meliputi rekonsiliasi bangsa yang terbelah. Maka dari itu, ayat ini mengajarkan bahwa pemulihan sejati dari Allah meliputi rekonsiliasi, persatuan, dan damai sejahtera.

Teks ini secara teologis menunjukkan bahwa kasih Allah selalu mendahului pertobatan umat. Allah tidak menunggu umat-Nya sempurna terlebih dahulu, melainkan mengulurkan tangan untuk mengajak mereka kembali. Hal ini sejalan dengan pemahaman kasih karunia yang penuh inisiatif, di mana Allah lebih dahulu mengasihi sebelum manusia sanggup mengasihi-Nya. Sejarah Israel menunjukkan bahwa manusia cenderung berulang kali jatuh, namun kasih Allah selalu memberi kesempatan baru. Dengan demikian, inti pesan Yeremia adalah kasih Allah yang tak terbatas dalam memulihkan umat yang hilang.

Secara historis, banyak penafsir melihat teks ini sebagai nubuat tentang masa pembuangan dan kembalinya umat dari pembuangan Babel. Namun, tafsiran teologis yang lebih dalam melihatnya sebagai penggenapan dalam Kristus yang memulihkan relasi manusia dengan Allah. Kristus adalah gembala sejati yang dijanjikan, yang menggembalakan dengan hati Allah dan mempersembahkan hidup-Nya bagi umat-Nya. Dalam Kristus, bangsa-bangsa pun dipanggil untuk bersekutu dengan Allah melalui Injil. Untuk itu, Yeremia 3:14-18 dapat dibaca sebagai nubuat mesianis yang digenapi dalam perjanjian baru.

Beberapa tafsir patristik memandang teks ini sebagai alegori tentang Gereja yang menjadi tempat persatuan umat Allah dari segala bangsa. Bapa-bapa gereja menekankan bahwa janji tentang Yerusalem sebagai takhta Allah menunjuk kepada Gereja sebagai tubuh Kristus. Sementara itu, tafsiran reformatoris menekankan bahwa pemulihan umat tidak mungkin melalui usaha manusia, melainkan semata-mata karena anugerah Allah. Dengan demikian, teks ini terus berbicara lintas zaman tentang kasih Allah yang mengundang pertobatan dan persatuan.

Dalam konteks budaya kuno, pemulihan setelah pembuangan adalah simbol harapan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Harapan ini menjadi dasar identitas religius Israel setelah bencana nasional yang mereka alami. Pemulihan dari Allah bukan hanya pengembalian fisik ke tanah air, melainkan juga pemulihan rohani dan moral. Hal ini menegaskan bahwa sukacita atas kembalinya anak yang hilang adalah sukacita Allah sendiri yang menerima umat-Nya kembali. Dengan demikian, teks ini sarat dengan makna teologis tentang pemulihan yang menyeluruh.

Refleksi bagi Jemaat Masa Kini

Bagi pembaca masa kini, Yeremia 3:14-18 mengingatkan bahwa dosa dan kesesatan manusia tidak pernah lebih besar daripada kasih Allah. Seperti Israel, manusia modern sering kali mencari perlindungan pada hal-hal duniawi, entah itu kekuasaan, harta, atau ideologi, yang membuat mereka jauh dari Tuhan. Namun, Allah tetap berseru dengan kasih, “Kembalilah,” dan Ia bersedia menerima setiap orang yang kembali dengan hati yang tulus. Kembalinya orang berdosa kepada Allah bukanlah aib, melainkan alasan besar untuk sukacita surgawi. Untuk itu, gereja masa kini dipanggil untuk menjadi saksi kasih Allah yang memulihkan, bukan untuk menghakimi.

Akhirnya, teks ini meneguhkan bahwa sukacita atas kembalinya anak yang hilang adalah gambaran sukacita Allah sendiri. Sukacita itu bukan hanya milik orang yang bertobat, melainkan juga menjadi milik seluruh komunitas iman yang menyaksikan pemulihan terjadi. Gereja dipanggil untuk menjadi Yerusalem rohani, di mana orang dari segala bangsa dapat menemukan kasih, pengampunan, dan persatuan dalam Kristus. Dengan demikian, Yeremia 3:14-18 tidak hanya berbicara kepada Israel kuno, tetapi juga kepada kita semua yang dipanggil untuk kembali kepada Allah dan merasakan sukacita pemulihan.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: