1 Timotius 6:11-16 dengan tema “Tuhan Allah Maha Kudus dan Maha Tahu”,
Pendahuluan
Surat 1 Timotius ditulis oleh Rasul Paulus kepada anak rohaninya, Timotius, dalam konteks pelayanan di kota Efesus yang penuh dengan tantangan. Efesus pada abad pertama merupakan pusat perdagangan, agama, dan budaya yang bercampur dengan praktik penyembahan berhala serta pengaruh filsafat Yunani. Dalam situasi seperti itu, Timotius menghadapi tekanan yang besar dari ajaran sesat, kesombongan rohani, dan pengaruh kekayaan yang mengaburkan iman jemaat. Surat ini menjadi pedoman pastoral yang menekankan keteguhan dalam ajaran sehat, kesalehan, dan pengabdian kepada Allah yang hidup. Oleh karena itu, pengantar surat ini membawa kita pada pemahaman bahwa iman yang sejati harus berdiri teguh dalam menghadapi budaya yang menyesatkan, dengan demikian tema kekudusan dan kemahatahuan Allah menjadi kunci yang menuntun kehidupan hamba-Nya.
Dalam ayat 11-16, Paulus menasihati Timotius agar berbeda dari orang-orang yang terjerat oleh cinta uang, ambisi dunia, dan kejatuhan moral. Timotius dipanggil bukan untuk hidup dalam nafsu duniawi, melainkan mengejar keadilan, kesalehan, iman, kasih, kesabaran, dan kelembutan. Gambaran ini menunjukkan bahwa kehidupan seorang pemimpin rohani bukan hanya ditentukan oleh jabatan, melainkan oleh karakter yang mencerminkan Allah yang kudus dan mahatahu. Allah yang kudus menuntut kesucian, sementara Allah yang mahatahu melihat setiap motivasi hati manusia. Maka, panggilan Timotius adalah teladan yang berlaku bagi setiap orang percaya dalam segala generasi. Untuk itu, perikop ini menegaskan bahwa kesetiaan kepada Allah harus diwujudkan dalam kehidupan yang berbeda dari dunia.
Latar belakang politik pada masa itu juga mempertegas pentingnya perikop ini. Kekaisaran Romawi memegang kekuasaan absolut, menuntut ketaatan penuh dari rakyat, bahkan hingga mengkultuskan Kaisar sebagai “tuan” dan “allah”. Dalam situasi di mana kekuasaan duniawi menindas dan menawarkan kompromi, Paulus mengingatkan Timotius untuk setia kepada Sang Raja yang sejati, yaitu Kristus Yesus. Dengan meneguhkan iman dalam Allah yang kudus dan mahatahu, Timotius dipanggil untuk memelihara iman yang murni hingga kedatangan Kristus. Hal ini menunjukkan bahwa kesetiaan kepada Allah melampaui kesetiaan kepada penguasa dunia. Maka dari itu, nasihat Paulus kepada Timotius bersifat teologis sekaligus historis yang relevan untuk jemaat sepanjang masa.
Penjelasan Teks
Paulus memulai dengan panggilan personal: “Tetapi engkau, hai manusia Allah,” yang menandakan identitas rohani Timotius sebagai hamba Allah. Istilah “manusia Allah” bukan sekadar gelar, melainkan sebuah identitas yang menuntut kesetiaan penuh kepada Allah dalam hidup dan pelayanan. Dalam Perjanjian Lama, istilah ini disematkan kepada tokoh-tokoh seperti Musa dan nabi-nabi besar sebagai orang yang dipilih untuk membawa firman Allah. Dengan demikian, Paulus menegaskan bahwa Timotius tidak boleh menyamakan dirinya dengan para pemimpin palsu yang hanya mengejar keuntungan. Identitas ini membawa konsekuensi bahwa kehidupan Timotius harus ditentukan oleh kesetiaan kepada Allah yang kudus. Maka dari itu, panggilan identitas ini menekankan bahwa hidup seorang hamba Tuhan ditentukan oleh hubungan dengan Allah, bukan oleh status dunia.
Paulus kemudian menasihati Timotius untuk menjauhi segala yang jahat, khususnya cinta uang yang disebut dalam ayat sebelumnya. Cinta uang telah menyebabkan banyak orang tersesat dari iman dan menderita karena tusukan yang menyakitkan. Secara budaya, masyarakat Romawi dan Yunani kala itu sangat materialistis, menilai kehormatan seseorang dari kekayaan dan status sosial. Paulus melawan pandangan ini dengan menekankan bahwa nilai tertinggi dalam hidup bukan terletak pada harta, melainkan pada relasi dengan Allah. Oleh karena itu, Timotius dipanggil untuk meninggalkan pola pikir duniawi dan mengarahkan hidup pada kebaikan rohani. Dengan demikian, penekanan Paulus menggarisbawahi bahwa Allah yang mahatahu melihat bahaya tersembunyi dalam hati manusia yang mencintai uang.
Selain menjauhi kejahatan, Timotius dipanggil untuk mengejar kebajikan rohani: keadilan, kesalehan, iman, kasih, kesabaran, dan kelembutan. Keenam aspek ini menggambarkan kesempurnaan kehidupan Kristen yang tidak hanya bersifat moral, tetapi juga spiritual. Keadilan mencerminkan relasi benar dengan sesama, kesalehan menunjukkan kesetiaan kepada Allah, iman berbicara tentang kepercayaan yang kokoh, kasih menegaskan pusat dari semua kebajikan, kesabaran menekankan keteguhan dalam penderitaan, dan kelembutan menunjukkan kerendahan hati dalam melayani. Paulus mengontraskan kualitas rohani ini dengan keserakahan dan kesombongan yang merusak jemaat. Dengan demikian, kehidupan rohani seorang pemimpin harus menjadi teladan dalam kesucian dan ketulusan hati. Maka dari itu, Paulus menekankan bahwa kualitas rohani lebih berharga daripada pencapaian duniawi.
Selanjutnya, Paulus memerintahkan Timotius untuk berjuang dalam “pertandingan iman yang baik.” Gambaran pertandingan ini sangat familiar dalam budaya Yunani-Romawi yang sarat dengan tradisi olahraga, seperti olimpiade. Para atlet berlatih keras, berdisiplin, dan berjuang demi mahkota yang fana, sementara orang percaya berjuang demi mahkota kekal. Paulus memakai gambaran ini untuk menunjukkan bahwa iman Kristen bukan sekadar pasif, melainkan perjuangan yang menuntut disiplin, pengorbanan, dan ketekunan. Allah yang mahatahu memperhatikan setiap langkah dalam perjuangan iman, dan Allah yang kudus menuntut kesetiaan hingga akhir. Dengan demikian, iman yang sejati tidak berhenti pada pengakuan, melainkan diwujudkan dalam perjuangan yang konsisten. Untuk itu, iman yang benar adalah perjuangan hidup yang terus berlangsung hingga akhir.
Paulus menekankan panggilan Timotius untuk “memegang hidup yang kekal” sebagai tujuan akhir dari pertandingan iman. Hidup kekal bukan hanya sebuah janji masa depan, melainkan realitas yang sudah dimulai sejak seseorang percaya kepada Kristus. Dalam konteks jemaat mula-mula, hidup kekal dipahami sebagai persekutuan dengan Allah yang kudus, yang sudah dialami sekarang dan akan disempurnakan kelak. Hal ini menegaskan bahwa iman Kristen tidak berhenti pada dunia ini, tetapi terarah kepada pengharapan eskatologis. Allah yang mahatahu melihat kesetiaan umat-Nya dan memberikan kepastian janji yang kekal. Maka dari itu, pengharapan kepada hidup kekal menjadi kekuatan yang menopang perjuangan iman di tengah penderitaan.
Paulus lalu mengingatkan Timotius pada pengakuan iman yang diucapkan saat baptisan dan pada teladan Kristus yang memberi kesaksian di hadapan Pontius Pilatus. Kristus tetap setia meski menghadapi pengadilan yang tidak adil, dan pengakuan-Nya menjadi teladan bagi setiap orang percaya. Secara historis, pengadilan Pilatus melambangkan benturan antara kekuasaan dunia dengan kebenaran ilahi. Dengan menyebut teladan Kristus, Paulus menegaskan bahwa kesetiaan iman diuji dalam penderitaan dan penolakan. Allah yang kudus menuntut kesetiaan yang tidak goyah, sementara Allah yang mahatahu memberi kekuatan dalam menghadapi tantangan. Dengan demikian, pengakuan iman Kristen tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga kesaksian publik yang mencerminkan ketaatan kepada Allah. Untuk itu, kesaksian Kristus menjadi dasar iman yang tidak tergoyahkan.
Paulus menekankan kepada Timotius untuk memelihara perintah tanpa cacat dan cela sampai kedatangan Kristus. Perintah ini menunjuk pada ajaran Injil yang harus dipegang dengan setia tanpa kompromi. Dalam konteks budaya plural di Efesus, menjaga kemurnian ajaran bukanlah hal mudah, sebab banyak ajaran sesat yang mengaburkan kebenaran. Namun, Paulus mengingatkan bahwa Allah yang mahatahu mengetahui ketulusan hati dan Allah yang kudus menuntut kesetiaan pada kebenaran. Dengan menjaga ajaran, Timotius juga menjaga kesucian jemaat dari penyesatan yang menghancurkan iman. Maka dari itu, keteguhan dalam firman Allah menjadi syarat mutlak bagi hamba Tuhan dalam setiap zaman.
Pengajaran Paulus berpuncak pada pengakuan akan Kristus sebagai Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuan. Pernyataan ini menegaskan supremasi Kristus atas segala kuasa dunia, termasuk Kaisar Romawi. Secara politik, ini adalah pernyataan yang radikal karena menolak pemujaan kepada Kaisar sebagai “tuan.” Secara teologis, ini menegaskan kekudusan Allah yang tidak tertandingi oleh kuasa duniawi. Paulus ingin meneguhkan bahwa kesetiaan orang percaya adalah kepada Kristus, bukan kepada penguasa dunia. Dengan demikian, iman Kristen berakar pada pengakuan bahwa Kristus adalah Raja kekal yang berkuasa atas hidup dan sejarah. Untuk itu, pernyataan ini menjadi pusat iman gereja yang tidak boleh digantikan oleh apapun.
Ayat 16 menutup dengan penggambaran Allah sebagai Dia yang bersemayam dalam terang yang tak terhampiri, yang tidak seorang pun pernah melihat atau dapat melihat. Gambar ini mengingatkan pada tradisi Perjanjian Lama di mana kekudusan Allah tidak dapat ditanggung oleh manusia. Allah dalam kemahatahuan-Nya tidak dapat dibatasi oleh konsep manusia, dan dalam kekudusan-Nya tidak dapat dicemari oleh dosa. Hal ini menegaskan perbedaan mutlak antara Allah yang kudus dengan ciptaan-Nya, sekaligus mengingatkan bahwa penyembahan sejati harus dilandasi kerendahan hati. Paulus mengakhiri dengan doxologi, memuji Allah yang kekal, berkuasa, dan patut dihormati. Maka dari itu, perikop ini berakhir dengan pengakuan akan keagungan Allah yang tidak terbandingkan.
Refleksi/Implikasi Teologis
Bagi jemaat masa kini, pesan dari 1 Timotius 6:11-16 tetap sangat relevan, sebab dunia modern masih dipenuhi dengan pencarian harta, kekuasaan, dan kesenangan yang dapat mengaburkan iman. Jemaat dipanggil untuk hidup berbeda, mengejar kesalehan, iman, kasih, kesabaran, dan kelembutan sebagai wujud kesetiaan kepada Allah yang kudus. Allah yang mahatahu melihat hati manusia, sehingga setiap motivasi dan tindakan tidak dapat disembunyikan. Kesaksian iman bukan hanya terlihat dalam perkataan, tetapi juga dalam konsistensi hidup sehari-hari di tengah dunia yang penuh kompromi. Dengan demikian, jemaat masa kini harus meneguhkan diri dalam iman yang murni dan tak bercela. Untuk itu, nasihat Paulus kepada Timotius harus dijadikan dasar kehidupan Kristen di segala zaman.
Selain itu, perikop ini mengingatkan bahwa Allah yang kudus dan mahatahu adalah Tuhan atas sejarah, politik, dan budaya. Tidak ada kekuasaan duniawi yang lebih tinggi dari Kristus, Raja di atas segala raja. Dalam konteks modern, di mana kekuasaan politik, ekonomi, dan teknologi seringkali menuntut loyalitas, orang percaya dipanggil untuk setia hanya kepada Allah. Allah yang mahatahu memahami segala pergumulan umat-Nya, dan Allah yang kudus menguduskan mereka yang setia hingga akhir. Hal ini memberi pengharapan bahwa hidup kekal adalah janji pasti bagi mereka yang memelihara iman. Maka dari itu, panggilan 1 Timotius 6:11-16 adalah agar jemaat senantiasa setia, hidup dalam kesucian, dan berpegang pada janji Allah yang kekal.
Post a Comment