Pendahuluan
Injil Lukas menempatkan dirinya sebagai sebuah karya yang ditulis dengan hati-hati dan sistematis untuk memberikan kepastian iman kepada pembaca, terutama kepada Teofilus dan komunitas Kristen perdana. Lukas sendiri dikenal sebagai seorang tabib, yang juga memiliki kemampuan menulis sejarah dengan gaya Yunani yang halus. Teks Lukas 18:1-8 menghadirkan sebuah perumpamaan Yesus mengenai seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan seorang janda yang terus-menerus meminta keadilan. Perumpamaan ini bukan sekadar kisah etis, melainkan pengajaran mendalam tentang iman, doa, dan kesetiaan kepada Allah. Karena itu, teks ini harus dipahami bukan hanya dalam tataran moralitas, melainkan juga dalam kerangka teologis dan historis yang utuh. Maka dari itu, Lukas 18:1-8 merupakan panggilan bagi umat untuk mengenali kehadiran Allah melalui ketekunan dalam doa.
Dalam konteks budaya Yahudi, janda adalah kelompok sosial yang sangat rentan karena tidak memiliki pelindung laki-laki yang menjamin hak-hak hukum mereka. Perumpamaan tentang janda ini menggarisbawahi dimensi sosial dan politik pada masa itu, ketika hukum sering kali diputarbalikkan oleh para hakim yang korup. Yesus sengaja menggunakan figur janda sebagai tokoh utama untuk menegaskan bahwa Allah berpihak pada yang lemah dan tertindas. Dengan menghadirkan janda ini, Yesus sekaligus membongkar ketidakadilan struktural yang ada dalam masyarakat Israel abad pertama. Maka dari itu, perumpamaan ini sekaligus menyingkap wajah Allah yang membela kaum marginal.
Konteks politik pada masa Yesus ditandai oleh kekuasaan Romawi yang menekan bangsa Yahudi, sementara di sisi lain para pemimpin agama Yahudi sendiri kerap berkompromi dengan struktur kekuasaan tersebut. Kehadiran seorang hakim yang tidak takut Allah dan tidak menghormati manusia merupakan gambaran dari kerusakan moral aparat hukum pada waktu itu. Hakim dalam perumpamaan ini bisa dibaca sebagai simbol dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sementara janda melambangkan umat Allah yang berteriak meminta keadilan. Di tengah situasi demikian, Yesus menegaskan bahwa Allah berbeda dari hakim duniawi yang lalim, sebab Allah adalah Hakim yang penuh kasih dan kesetiaan. Dengan demikian, latar belakang politik dan budaya ini menolong kita memahami bahwa Lukas 18:1-8 adalah teguran sekaligus penghiburan.
Penjelasan Teks
Perumpamaan ini dibuka dengan tujuan yang sangat jelas, yakni agar murid-murid selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Yesus tahu bahwa dalam perjalanan iman, ada banyak halangan yang dapat membuat umat kehilangan harapan. Doa dalam perspektif Lukas bukan hanya permintaan personal, melainkan juga ungkapan iman yang teguh kepada Allah yang memegang sejarah. Ketekunan dalam doa bukan berarti mengulang-ulang kata tanpa makna, tetapi suatu kesetiaan untuk terus melekat kepada Allah meskipun situasi tampak gelap. Lukas menekankan bahwa doa menjadi alat utama umat dalam menghadapi penindasan dan penderitaan. Dengan demikian, doa adalah tanda bahwa manusia benar-benar melihat dan mengakui kehadiran Allah dalam hidupnya.
Tokoh hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati manusia digambarkan sebagai kontras terhadap karakter Allah. Dalam tradisi Yahudi, hakim seharusnya menjadi wakil Allah dalam menegakkan keadilan bagi rakyat. Namun, di sini justru digambarkan sosok yang kehilangan nilai-nilai spiritual dan moral. Ia digambarkan tidak memiliki rasa takut akan Allah, yang berarti kehilangan relasi dengan Yang Kudus, dan tidak menghormati manusia, yang berarti melanggar prinsip kasih terhadap sesama. Kehadiran tokoh ini menunjukkan bahwa keadilan dunia sering kali tidak berpihak kepada kebenaran. Maka dari itu, Lukas hendak menekankan bahwa hanya Allah yang adalah Hakim sejati yang adil.
Sementara itu, janda dalam perumpamaan ini menjadi simbol dari mereka yang lemah, tak berdaya, dan tidak memiliki posisi tawar di hadapan hukum. Dalam hukum Taurat, janda sebenarnya harus mendapat perlindungan khusus, tetapi dalam kenyataan, mereka kerap ditindas. Doa dan permohonan janda ini mencerminkan teriakan umat Allah yang setia dan tidak putus asa meskipun berhadapan dengan sistem yang rusak. Kegigihan janda ini menjadi cermin dari iman yang sejati, yakni iman yang tidak menyerah meskipun keadilan tampak tertunda. Dengan demikian, janda ini adalah ikon iman yang memandang Allah dalam ketekunan doa.
Respon hakim yang akhirnya mengabulkan permintaan janda bukan karena ia bertobat atau berubah hati, melainkan karena ia merasa terganggu. Hal ini menggarisbawahi bahwa bahkan sistem yang lalim pun bisa digerakkan oleh ketekunan. Yesus menggunakan ironi ini untuk menunjukkan bahwa jika hakim yang tidak adil saja akhirnya menyerah, apalagi Allah yang penuh kasih tentu lebih rela mendengarkan umat-Nya. Kontras ini menjadi pusat teologis dari perumpamaan, yang menegaskan keadilan Allah dibandingkan dengan keadilan manusia. Untuk itu, umat diajak untuk percaya bahwa Allah pasti bertindak.
Ayat 6-7 menjadi puncak teologis perumpamaan ini, ketika Yesus menegaskan bahwa Allah akan membela orang pilihan-Nya yang berseru siang dan malam kepada-Nya. Lukas menegaskan bahwa Allah bukan hanya Hakim yang adil, tetapi juga Bapa yang penuh kasih. Di sini terlihat wajah Allah yang hadir dalam sejarah dan menjawab seruan umat-Nya. Ketekunan umat dalam doa dipahami sebagai jawaban iman terhadap kesetiaan Allah sendiri. Allah yang dilihat dalam doa bukanlah Allah yang jauh, tetapi Allah yang mendengar dan bertindak. Dengan demikian, doa adalah bentuk pengakuan bahwa Allah adalah realitas yang hidup dan aktif.
Yesus kemudian menutup perumpamaan ini dengan sebuah pertanyaan retoris yang mengguncang: “Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” Pertanyaan ini tidak mencari jawaban, melainkan mendorong refleksi mendalam. Iman di sini tidak hanya soal percaya, tetapi juga soal kesetiaan yang diwujudkan dalam doa tanpa henti. Lukas hendak menegaskan bahwa iman sejati hanya bisa bertahan melalui relasi yang terus-menerus dengan Allah. Pertanyaan ini sekaligus mengingatkan gereja perdana yang sedang mengalami penganiayaan untuk tidak goyah. Maka dari itu, perumpamaan ini ditutup dengan tantangan iman yang mendesak.
Dari perspektif historis-teologis, banyak tafsiran melihat bahwa Lukas 18:1-8 berbicara tentang eskatologi, yaitu pengharapan akan kedatangan Kristus kembali. Doa yang terus-menerus dilakukan umat adalah bentuk kesiapan menghadapi kedatangan Anak Manusia. Dalam konteks gereja mula-mula, teks ini menjadi sumber penghiburan bahwa penderitaan mereka tidak akan berlangsung selamanya, sebab Allah akan menegakkan keadilan pada waktunya. Dengan demikian, teks ini memadukan dua hal: realitas doa sehari-hari dan pengharapan eskatologis. Inilah yang menjadikan perumpamaan ini sangat relevan sepanjang masa.
Secara teologis, teks ini memperlihatkan Allah yang imanen sekaligus transenden. Allah imanen karena Ia mendengarkan doa umat yang berseru siang dan malam, tetapi juga transenden karena Ia akan menggenapi keadilan pada waktu-Nya sendiri. Doa bukan sarana untuk memaksa Allah, melainkan jalan untuk mengikat diri dengan kehendak-Nya. Dengan begitu, umat yang berdoa sebenarnya sedang belajar untuk melihat Allah yang hadir dalam segala situasi. Maka dari itu, iman dan doa tidak bisa dipisahkan dari teologi Lukas.
Beberapa penafsir historis juga menekankan bahwa teks ini menyingkapkan spiritualitas ketekunan yang sangat penting bagi gereja sepanjang zaman. Agustinus menafsirkan doa tanpa jemu sebagai kesatuan jiwa dengan Allah yang terus-menerus, sedangkan Calvin menekankan aspek pengharapan bahwa doa adalah sarana Allah menyatakan janji-Nya. Perspektif ini menunjukkan bahwa teks ini tidak hanya berbicara pada zamannya, tetapi terus hidup dalam tradisi gereja. Dengan demikian, Lukas 18:1-8 menjadi salah satu teks fundamental bagi teologi doa Kristen.
Dengan melihat rangkaian penjelasan ini, kita dapat memahami bahwa tema “Aku Telah Melihat Allah” bukanlah sebuah penglihatan mistik, melainkan pengalaman iman melalui doa yang teguh. Melalui ketekunan janda, umat belajar bahwa Allah yang tak terlihat menjadi nyata dalam jawaban doa dan dalam pengharapan yang tidak goyah. Lukas menegaskan bahwa melalui doa, manusia dapat melihat wajah Allah yang penuh kasih dan keadilan. Dengan demikian, teks ini menghubungkan iman, doa, dan pengenalan akan Allah dalam satu kesatuan yang utuh.
Refleksi dan Implikasi Teologis
Bagi pembaca masa kini, teks ini mengingatkan bahwa doa bukanlah aktivitas opsional, melainkan nafas iman yang menghubungkan manusia dengan Allah. Dalam dunia yang penuh dengan ketidakadilan, kekerasan, dan penderitaan, doa menjadi sarana perlawanan iman untuk tetap berharap. Doa tidak boleh dipahami sebagai pelarian, melainkan sebagai keterlibatan aktif dalam karya Allah di dunia. Dengan berdoa, kita mengakui bahwa Allah hadir dan bekerja, bahkan ketika dunia tampak gelap. Maka dari itu, doa yang tekun adalah cara kita melihat Allah dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Selain itu, teks ini menantang kita untuk mempertanyakan apakah iman kita masih hidup ketika Kristus datang kembali. Pertanyaan Yesus pada ayat 8 tetap relevan, sebab dunia modern sering kali mengikis kesetiaan umat dengan tawaran materialisme, hedonisme, dan sikap apatis. Umat Kristen diajak untuk meneladani janda yang tekun, yakni memiliki iman yang berani berseru kepada Allah tanpa henti. Dengan demikian, kita tidak hanya diajak untuk berdoa, tetapi juga untuk menghidupi doa itu dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, melalui doa yang tekun, kita sungguh-sungguh dapat berkata: “Aku telah melihat Allah.”
Post a Comment