wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Khotbah Minggu 16 November 2025

 


Maleakhi 1:1–6 dengan tema “Tuhan Mengasihi Segala Bangsa.”

Pendahuluan

Kitab Maleakhi merupakan kitab terakhir dalam kanon Perjanjian Lama yang berfungsi sebagai jembatan antara masa kenabian Israel dan kedatangan Mesias dalam Perjanjian Baru. Maleakhi berbicara kepada umat yang telah kembali dari pembuangan Babel sekitar tahun 450–430 SM, ketika bangsa itu hidup di bawah kekuasaan Persia. Pada masa itu, Bait Allah telah dibangun kembali, tetapi semangat rohani umat mulai menurun. Mereka hidup dalam formalitas keagamaan tanpa kesungguhan hati, sementara para imam lalai dalam tanggung jawab mereka terhadap ibadah yang kudus. Maka dari itu, konteks kitab ini menampilkan pergumulan iman umat pascapembuangan yang kehilangan kehangatan kasihnya kepada Tuhan.

Dalam kitab ini, nama “Maleakhi” berarti “utusan-Ku”, yang mungkin merupakan sebutan fungsional, bukan nama pribadi. Pesan yang dibawanya bukan sekadar kritik terhadap kemerosotan moral, tetapi juga sebuah deklarasi kasih Allah yang kekal kepada umat-Nya. Pesan pertama yang disampaikan melalui nabi ini adalah tentang kasih Allah kepada Yakub, yang menjadi dasar relasi perjanjian antara Tuhan dan Israel. Namun, kasih ini tidak berarti eksklusif atau hanya terbatas pada bangsa Israel, sebab dalam perkembangan teologisnya, kasih Allah meluas kepada seluruh bangsa melalui rencana penebusan. Dengan demikian, kitab Maleakhi menjadi refleksi tentang keadilan dan kasih universal Allah yang tidak terikat oleh batas etnis.

Pesan Maleakhi 1:1–6 memperlihatkan bagaimana kasih Allah yang setia sering kali disalahpahami oleh umat yang lalai dan tidak tahu berterima kasih. Mereka mempertanyakan kasih Allah karena menganggap kehidupan mereka tidak sesuai dengan janji pemulihan yang diharapkan. Namun, Tuhan menegaskan kasih-Nya yang nyata melalui pemilihan Yakub atas Esau sebagai tanda kasih perjanjian, bukan karena keunggulan manusia, melainkan karena kedaulatan Allah sendiri. Inilah yang menjadi pintu masuk teologis bagi pemahaman kasih Allah yang tidak bersyarat, yang melampaui batas Israel, menuju penggenapan kasih universal di dalam Kristus. Untuk itu, perikop ini hendak mengingatkan umat bahwa kasih Tuhan adalah dasar keselamatan yang menembus segala bangsa.

Penjelasan Teks

Ayat pertama membuka kitab ini dengan pernyataan, “Ucapan ilahi, firman Tuhan kepada Israel dengan perantaraan Maleakhi.” Kalimat ini menegaskan bahwa pesan yang disampaikan bukan berasal dari manusia, tetapi dari Allah yang berbicara secara langsung kepada umat perjanjian-Nya. Kata “ucapan ilahi” (massa’) dalam bahasa Ibrani sering kali menunjukkan beban nubuat, menandakan bahwa pesan ini membawa bobot moral dan spiritual yang besar. Maleakhi diutus untuk menegur umat yang telah kehilangan rasa hormat terhadap Allah dan menyalahartikan kasih-Nya. Dalam konteks historis, bangsa Israel hidup dalam dominasi politik Persia, di mana mereka tidak lagi menjadi bangsa yang berdaulat, sehingga banyak yang merasa Allah telah meninggalkan mereka. Maka dari itu, ayat pertama ini mengingatkan bahwa sekalipun situasi politik sulit, Allah tetap berbicara dan menyatakan kasih-Nya kepada umat-Nya.

Ayat kedua menampilkan inti teologis kitab ini, yaitu pernyataan Allah, “Aku telah mengasihi kamu.” Namun respons umat sangat mengejutkan: “Dalam hal apakah Engkau mengasihi kami?” Pertanyaan ini menunjukkan sikap ketidakpercayaan dan keputusasaan umat yang menilai kasih Allah berdasarkan kondisi lahiriah mereka. Mereka gagal memahami bahwa kasih Allah tidak selalu diwujudkan dalam kemakmuran atau kekuasaan politik, tetapi dalam kesetiaan perjanjian-Nya. Dalam konteks teologis, kasih Allah kepada Israel bersifat elektif—yakni pilihan kasih yang dinyatakan kepada Yakub dan keturunannya. Dengan demikian, ayat ini mengajarkan bahwa kasih Allah bersifat aktif, historis, dan tetap, meskipun umat sering tidak mampu meresponsnya dengan iman dan syukur.

Selanjutnya, Allah menegaskan kasih-Nya melalui kontras antara Yakub dan Esau: “Bukankah Esau kakak Yakub? Namun Aku mengasihi Yakub dan membenci Esau.” Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk menegaskan kebencian emosional, melainkan untuk memperlihatkan kedaulatan Allah dalam memilih siapa yang akan dipakai-Nya untuk menggenapi janji keselamatan. Secara historis, Esau mewakili Edom, bangsa yang sering bermusuhan dengan Israel, sedangkan Yakub melambangkan umat pilihan. Dalam perspektif teologi perjanjian, pemilihan ini adalah tanda kasih Allah yang tidak berdasarkan jasa manusia, melainkan anugerah. Dengan demikian, pemilihan Allah kepada Yakub adalah tanda kasih-Nya kepada seluruh umat manusia, sebab dari garis keturunan Yakublah lahir Sang Mesias bagi segala bangsa.

Ayat keempat menggambarkan nasib Edom sebagai bangsa yang berusaha membangun kembali setelah kehancuran, tetapi Allah menegaskan bahwa setiap usaha mereka akan gagal karena mereka disebut “daerah kefasikan.” Dalam konteks politik, hal ini menunjukkan bahwa kuasa manusia tidak dapat menandingi kehendak Allah. Edom yang mewakili bangsa-bangsa yang menentang Tuhan menjadi simbol keadilan ilahi terhadap dosa dan kesombongan. Namun secara teologis, kehancuran Edom bukanlah tanda kebencian Allah terhadap bangsa tertentu, melainkan bagian dari rencana penyelamatan di mana Allah menegakkan keadilan demi kebaikan seluruh bangsa. Maka dari itu, ayat ini menegaskan bahwa kasih dan keadilan Allah berjalan seiring dalam karya penyelamatan-Nya bagi dunia.

Ayat kelima memperlihatkan reaksi umat yang akan menyaksikan kuasa Allah: “Matamu akan melihat hal itu, dan kamu akan berkata: Besarlah Tuhan di luar daerah Israel!” Kalimat ini menandai pergeseran paradigma teologis bahwa Allah bukan hanya Tuhan bagi Israel, tetapi Tuhan bagi seluruh bumi. Dalam pandangan bangsa-bangsa kuno, setiap bangsa memiliki dewa pelindungnya masing-masing, tetapi Maleakhi menegaskan bahwa Yahweh adalah Allah universal. Dengan demikian, kasih Allah yang semula dipahami dalam konteks etnis Israel kini berkembang menjadi kasih yang meliputi seluruh ciptaan. Maka dari itu, ayat ini menjadi cikal bakal bagi pewahyuan kasih Allah yang universal di dalam Kristus yang datang untuk menyelamatkan segala bangsa.

Ayat keenam mulai menegur para imam yang meremehkan nama Tuhan: “Seorang anak menghormati bapanya dan seorang hamba menghormati tuannya, tetapi jika Aku ini Bapa, di manakah hormat yang kepada-Ku itu?” Teguran ini menunjukkan bahwa relasi kasih Allah harus direspons dengan penghormatan dan penyembahan yang benar. Para imam, yang seharusnya menjadi teladan dalam ibadah, justru mempersembahkan korban yang najis dan tidak layak. Dalam konteks budaya kuno, mempersembahkan korban yang cacat merupakan tindakan penghinaan terhadap Allah. Maka dari itu, ayat ini memperlihatkan bahwa kasih Allah yang besar menuntut respons etis dan religius dari umat yang dikasihi-Nya.

Dalam membaca keseluruhan perikop ini, penting untuk memahami bahwa kasih Allah dalam Maleakhi tidak bersifat sentimental, melainkan bersifat perjanjian. Kasih itu disertai dengan tuntutan ketaatan dan penghormatan kepada Allah. Relasi antara Allah dan umat digambarkan seperti hubungan antara ayah dan anak atau tuan dan hamba, yang mengandung unsur kasih sekaligus kewibawaan. Dalam kerangka teologis, kasih Allah menuntun umat untuk hidup dalam kesalehan, bukan hanya dalam ritual. Maka dari itu, pesan Maleakhi menjadi koreksi terhadap sikap keagamaan yang formalistik, yang hanya menekankan ibadah lahiriah tanpa ketaatan batin.

Secara historis, kitab ini juga mencerminkan perubahan sosial-politik di Yehuda pada masa pemerintahan Persia. Walaupun umat diperbolehkan beribadah dan membangun kembali Bait Allah, mereka tetap menjadi bangsa jajahan yang miskin dan frustrasi. Kondisi ini melahirkan sikap apatis terhadap Tuhan. Namun melalui Maleakhi, Allah menegaskan bahwa kasih dan kehadiran-Nya tidak ditentukan oleh keadaan politik, melainkan oleh kesetiaan perjanjian yang kekal. Dengan demikian, pesan Maleakhi tetap relevan bagi setiap generasi yang merasa ditinggalkan Tuhan dalam situasi sulit.

Dalam konteks budaya Yahudi pascapembuangan, ibadah menjadi simbol identitas nasional. Namun ibadah yang kehilangan makna kasih hanya menghasilkan legalisme tanpa kehidupan rohani. Maleakhi menegur bahwa kasih Allah tidak dapat dibalas dengan ritual kosong, melainkan dengan ketaatan sejati yang meneladani karakter Allah yang penuh kasih dan setia. Maka dari itu, pemahaman akan kasih Allah dalam Maleakhi bukan hanya ajaran teologis, melainkan panggilan etis bagi umat untuk mempraktikkan kasih dalam kehidupan sosial dan spiritual mereka.

Secara teologis-historis, ayat-ayat ini menjadi dasar bagi perkembangan konsep universalitas kasih Allah yang kelak ditegaskan dalam Perjanjian Baru. Rasul Paulus dalam Roma 9:13 mengutip pernyataan “Aku mengasihi Yakub tetapi membenci Esau” untuk menegaskan bahwa kasih dan pemilihan Allah didasarkan pada rencana keselamatan yang meliputi segala bangsa. Hal ini menunjukkan kesinambungan antara kasih perjanjian dalam Perjanjian Lama dan kasih anugerah dalam Kristus. Dengan demikian, Maleakhi menjadi jembatan yang memperlihatkan bahwa kasih Allah tidak pernah eksklusif, tetapi bersifat inklusif dan menyeluruh bagi umat manusia.

Refleksi dan Implikasi Teologis

Bagi jemaat masa kini, pesan Maleakhi 1:1–6 menegaskan bahwa kasih Allah tidak boleh diukur berdasarkan keadaan materi, politik, atau sosial. Kasih Allah adalah realitas rohani yang tetap hadir di tengah penderitaan, kekurangan, dan ketidakadilan dunia. Jemaat yang hidup dalam era global dan plural hari ini diajak untuk memahami bahwa Allah yang sama yang mengasihi Yakub juga mengasihi seluruh bangsa. Oleh karena itu, kasih Allah menembus sekat etnis, budaya, dan agama, menuntun umat Kristen untuk hidup dalam semangat kasih universal yang mencerminkan Kristus. Maka dari itu, perikop ini mengajak kita menanggapi kasih Allah dengan ketaatan, rasa syukur, dan penghormatan sejati.

Kasih Allah yang diajarkan Maleakhi juga menjadi panggilan bagi gereja masa kini untuk menjadi saksi kasih di tengah dunia yang terpecah oleh kebencian dan ketidakadilan. Gereja dipanggil untuk memelihara kesalehan yang sejati, menghormati nama Allah, dan meneladani kasih-Nya yang meliputi segala bangsa. Dalam konteks modern, ini berarti memperjuangkan perdamaian, keadilan sosial, dan solidaritas lintas budaya sebagai wujud nyata kasih Allah. Dengan demikian, pesan Maleakhi tidak hanya menegur, tetapi juga membangkitkan harapan bahwa kasih Allah yang kekal akan terus bekerja memulihkan dunia melalui umat yang hidup dalam ketaatan kepada-Nya.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: