Pendahuluan
Yeremia 18:1-11 merupakan salah satu teks yang sarat dengan simbol dan pengajaran teologis yang mendalam. Dalam bagian ini Allah mengutus Yeremia untuk pergi ke rumah seorang tukang periuk dan mengamati proses pembuatan bejana tanah liat. Gambaran tukang periuk dengan tanah liat merupakan metafora yang kuat tentang relasi Allah dengan umat-Nya. Pesan ini menunjukkan bahwa Allah adalah Sang Pencipta sekaligus Pembentuk yang berdaulat penuh atas umat manusia, sementara manusia adalah tanah liat yang berada di bawah kuasa dan kehendak Allah. Maka dari itu, teks ini menegaskan hubungan fundamental antara Allah yang berdaulat dan manusia yang dipanggil untuk taat.
Konteks kitab Yeremia sendiri berada pada masa pergolakan besar bangsa Yehuda menjelang pembuangan ke Babel. Yeremia melayani sekitar abad ke-7 hingga ke-6 SM, ketika bangsa Yehuda hidup dalam ketidaktaatan, penyembahan berhala, dan kemerosotan moral yang tajam. Secara politik, bangsa Yehuda berada dalam tekanan besar karena dua kekuatan besar yaitu Mesir dan Babel berusaha menguasai wilayah tersebut. Secara budaya, Yehuda terjebak dalam sinkretisme, mencampurkan penyembahan Yahweh dengan dewa-dewa asing. Untuk itu, nubuat Yeremia hadir sebagai teguran keras agar bangsa memperbaiki tingkah dan perbuatan mereka.
Latar belakang Yeremia sebagai nabi yang sering disebut “nabi yang menangis” memperlihatkan betapa beratnya pergumulan dalam menyampaikan firman Allah. Ia menghadapi penolakan, penganiayaan, bahkan isolasi dari bangsanya sendiri karena pesan-pesan yang dibawanya tidak populer. Yeremia tidak hanya berbicara tentang kehancuran yang akan datang, tetapi juga memberi kesempatan pertobatan melalui metafora periuk yang dapat dibentuk kembali. Dengan demikian, teks ini menyampaikan bahwa Allah masih memberi ruang anugerah agar manusia memperbaiki hidupnya sebelum penghukuman jatuh.
Penjelasan Teks
Kisah tukang periuk dalam Yeremia 18 menggambarkan bahwa bangsa Israel ibarat bejana yang sedang dibentuk. Ketika tanah liat rusak dalam tangan tukang periuk, ia tidak membuangnya, melainkan membentuknya kembali menjadi bejana yang lain sesuai kehendaknya. Allah menunjukkan kepada Yeremia bahwa umat Israel pun seperti tanah liat di tangan-Nya, dapat dihancurkan sekaligus dibentuk kembali. Gambaran ini menyiratkan bahwa hidup umat manusia sepenuhnya berada dalam kendali Allah. Maka dari itu, teks ini menekankan otoritas Allah yang berdaulat dalam membentuk kehidupan umat-Nya.
Secara historis, metafora tukang periuk bukanlah sesuatu yang asing dalam kebudayaan Timur Dekat Kuno. Tukang periuk dikenal sebagai simbol keterampilan, kreativitas, dan kuasa penuh atas ciptaannya. Dalam mitologi Mesopotamia maupun Mesir, dewa-dewa sering digambarkan menciptakan manusia dari tanah liat. Namun, dalam tradisi Israel, tukang periuk itu bukan dewa-dewa mitologis, melainkan Allah yang hidup dan berelasi dengan umat-Nya. Perbedaan ini menekankan keunikan iman Israel bahwa Allah adalah pribadi yang berdaulat dan penuh kasih. Untuk itu, pemakaian metafora ini meneguhkan keyakinan akan keintiman dan kuasa Allah atas sejarah bangsa.
Yeremia menyampaikan firman bahwa Allah berhak membentuk bangsa seperti tukang periuk membentuk tanah liat. Jika suatu bangsa berlaku jahat, maka Allah dapat merencanakan kehancurannya; tetapi jika bangsa itu bertobat, Allah dapat mengubah niat-Nya dan memberkati mereka kembali. Sebaliknya, jika Allah telah merencanakan kebaikan tetapi bangsa itu menyimpang dari jalan-Nya, maka Allah pun dapat menarik kembali berkat-Nya. Dengan demikian, relasi dengan Allah bukanlah sesuatu yang statis melainkan dinamis sesuai dengan tanggapan manusia. Maka dari itu, teks ini menegaskan pentingnya tanggung jawab moral bangsa dalam merespons panggilan Allah.
Ayat 7-10 secara eksplisit menunjukkan prinsip teologis tentang kebebasan Allah yang mutlak namun tetap memberi ruang bagi pertobatan manusia. Allah berdaulat penuh untuk meruntuhkan maupun membangun, tetapi manusia pun tidak bebas dari tanggung jawab moral. Bangsa Israel tidak bisa berlindung di balik status sebagai umat pilihan jika mereka terus hidup dalam kejahatan. Pilihan mereka untuk taat atau tidak akan menentukan apakah mereka akan dipulihkan atau dihancurkan. Untuk itu, perikop ini menekankan keseimbangan antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia.
Dalam konteks politik, Yehuda sedang berada di bawah bayang-bayang kehancuran akibat ancaman Babel. Yeremia menubuatkan bahwa jika bangsa itu tidak memperbaiki diri, maka kehancuran akan datang melalui tangan bangsa asing. Hal ini membuat pesan Yeremia terasa pahit karena bertentangan dengan nubuat palsu yang menjanjikan damai sejahtera palsu. Yeremia menegaskan bahwa Allah berdaulat atas sejarah, bahkan atas bangsa-bangsa asing yang menjadi alat untuk mendisiplinkan umat-Nya. Dengan demikian, pesan periuk ini juga merupakan peringatan bahwa kekuatan politik dunia hanyalah instrumen di tangan Allah.
Bangsa Yehuda menolak untuk bertobat dan justru bersikeras dalam kedegilan mereka. Yeremia 18:12 bahkan mencatat jawaban sinis bangsa yang berkata: “Tidak ada gunanya! Kami mau mengikuti rencana kami sendiri.” Sikap keras hati ini memperlihatkan bahwa bangsa tersebut lebih memilih kehancuran daripada pertobatan. Hal ini menunjukkan kontras antara kesabaran Allah yang mau membentuk kembali dan kedegilan manusia yang menolak kasih karunia. Untuk itu, teks ini menggambarkan tragedi besar akibat hati yang keras terhadap panggilan Allah.
Secara teologis, Yeremia 18:1-11 menunjukkan aspek kasih sekaligus keadilan Allah. Kasih Allah tampak dalam kesediaan-Nya membentuk kembali bejana yang rusak, memberi kesempatan bagi umat untuk berubah. Namun, keadilan Allah juga nyata karena jika umat menolak kesempatan itu, maka penghukuman tidak bisa dihindari. Allah bukanlah tukang periuk yang kejam, melainkan pengasih yang tetap menuntut kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, teks ini memperlihatkan keseimbangan antara anugerah dan keadilan dalam relasi Allah dengan umat-Nya.
Penafsiran historis-teologis dari banyak tradisi melihat perikop ini sebagai ajakan universal. Para penafsir patristik seperti Origen dan Agustinus menekankan bahwa tanah liat adalah simbol kehendak manusia yang harus tunduk pada pembentukan Allah. Reformator seperti Calvin menekankan aspek kedaulatan Allah yang tidak terbatas, tetapi juga tanggung jawab manusia untuk merespons. Dalam tradisi kontemporer, teks ini dipahami sebagai ajakan etis agar umat Allah tidak menyerah pada nasib, melainkan terbuka pada transformasi Allah. Maka dari itu, teks ini memiliki relevansi lintas zaman dalam menekankan pertobatan sebagai jalan keselamatan.
Perlu juga dicatat bahwa simbol periuk tidak hanya berbicara tentang individu, tetapi juga kolektif bangsa. Yeremia menekankan bahwa keputusan moral bersama akan memengaruhi nasib bangsa secara keseluruhan. Hal ini relevan dengan konsep solidaritas dalam Perjanjian Lama, di mana dosa satu orang atau sekelompok orang dapat berdampak pada seluruh umat. Oleh sebab itu, teguran ini bukan hanya untuk pribadi-pribadi tetapi juga untuk komunitas sebagai bangsa Allah. Dengan demikian, teks ini meneguhkan tanggung jawab kolektif dalam kehidupan iman dan moral.
Refleksi dan Implikasi Teologis
Bagi jemaat masa kini, pesan Yeremia 18:1-11 tetap relevan karena manusia modern pun kerap merasa ingin menentukan hidupnya sendiri tanpa mengindahkan Allah. Dunia yang dipenuhi dengan materialisme, individualisme, dan kompromi moral sering membuat manusia keras hati terhadap panggilan pertobatan. Banyak orang merasa hidupnya sia-sia atau rusak, tetapi lupa bahwa Allah sanggup membentuk ulang kehidupan mereka. Kabar baiknya, Allah tidak pernah membuang bejana yang rusak, tetapi siap membentuknya kembali jika kita mau membuka diri. Maka dari itu, teks ini mengundang jemaat untuk memperbaiki tingkah dan perbuatan agar Allah membentuk ulang hidup kita sesuai kehendak-Nya.
Dalam kehidupan bergereja dan berbangsa, teks ini mengingatkan bahwa masa depan tidak ditentukan oleh kekuatan politik atau ekonomi, melainkan oleh kesetiaan kepada Allah. Gereja dipanggil untuk menjadi tanah liat yang rela dibentuk oleh Firman, bukan keras hati terhadap disiplin Allah. Bangsa pun dipanggil untuk memperbaiki moralitas publik, keadilan sosial, dan kejujuran demi kesejahteraan bersama. Jika jemaat bersedia dibentuk ulang, maka Allah akan memakai kehidupan mereka sebagai bejana yang indah bagi kemuliaan-Nya. Dengan demikian, pesan ini meneguhkan bahwa pertobatan sejati adalah jalan untuk memperbaiki tingkah dan perbuatan dalam terang kasih Allah.


Post a Comment