Pendahuluan
Perjalanan iman Kristen selalu berhubungan dengan panggilan untuk memperbaiki tingkah dan perbuatan manusia di hadapan Allah. Alkitab menunjukkan bahwa kehidupan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah membawa pada kebinasaan, sedangkan ketaatan menghasilkan keselamatan dan hidup yang penuh makna. Markus 8:34-38 menghadirkan ajaran Yesus yang sangat mendalam tentang pemuridan, pengorbanan, dan makna sejati kehidupan. Ajaran ini relevan untuk setiap zaman, sebab manusia terus-menerus dihadapkan pada pilihan antara hidup bagi diri sendiri atau hidup bagi Allah. Maka dari itu, khotbah ini akan menolong kita memahami ajaran Yesus dalam konteks teologis, historis, dan reflektif bagi kehidupan masa kini.
Dalam Injil Markus, perikop ini muncul setelah pengakuan Petrus tentang Yesus sebagai Mesias dan teguran Yesus terhadap Petrus yang menolak penderitaan salib. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman murid-murid tentang Mesias belum sempurna, karena mereka masih mengharapkan seorang raja duniawi yang penuh kuasa, bukan Mesias yang harus menderita. Yesus kemudian memperluas pengajarannya bukan hanya kepada murid-murid inti, tetapi juga kepada orang banyak, untuk menekankan bahwa mengikuti Dia berarti menanggung risiko penderitaan. Maka dari itu, kita perlu memahami teks ini sebagai koreksi Yesus terhadap pemikiran yang keliru tentang Mesias dan jalan keselamatan.
Teks ini mengandung dimensi spiritual sekaligus sosial-politik, karena berbicara tentang panggilan untuk menyangkal diri di tengah dunia yang penuh kompromi. Pada zaman Yesus, bangsa Yahudi hidup di bawah penjajahan Romawi dan penuh dengan kerinduan akan pembebasan politik. Akan tetapi, Yesus mengajarkan bahwa kebebasan sejati bukanlah pembebasan dari kekuasaan politik, melainkan dari perbudakan dosa melalui jalan salib. Dengan demikian, Markus 8:34-38 mengajarkan bahwa memperbaiki tingkah dan perbuatan berarti melepaskan keakuan dan hidup sesuai dengan kehendak Allah, meskipun hal itu menuntut pengorbanan besar.
Penjelasan Teks
Yesus berkata bahwa siapa yang mau mengikuti Dia harus menyangkal dirinya. Dalam budaya Yahudi, penyangkalan diri bukan sekadar menahan keinginan, tetapi benar-benar menolak dominasi ego yang sering menguasai hidup manusia. Kata “menyangkal” di sini sama dengan menolak atau melepaskan diri dari identitas lama yang terikat pada dosa. Dalam dunia Greco-Roman, konsep ini kontras dengan ajaran filsafat yang menekankan keutamaan diri dan kehormatan pribadi. Untuk itu, Yesus menekankan bahwa pemuridan sejati menuntut penghilangan pusat diri agar Allah menjadi pusat hidup manusia.
Selanjutnya, Yesus menambahkan bahwa murid-murid harus memikul salib. Dalam konteks Romawi, salib bukanlah simbol religius seperti yang kita kenal sekarang, melainkan alat eksekusi yang sangat hina dan mengerikan. Bagi orang Yahudi, salib juga melambangkan kutukan, sebagaimana tertulis dalam Ulangan 21:23. Dengan demikian, ajaran Yesus terdengar sangat radikal karena memanggil pengikut-Nya untuk bersedia menerima kehinaan dan penderitaan demi kesetiaan kepada-Nya. Maka dari itu, memikul salib berarti kesediaan hidup dalam jalan penderitaan demi kebenaran Allah.
Yesus kemudian menyatakan bahwa siapa yang mau menyelamatkan nyawanya justru akan kehilangan nyawanya. Dalam bahasa Yunani, kata "psyche" dapat berarti jiwa atau kehidupan. Artinya, orang yang hanya berfokus pada pemeliharaan diri secara egois akan kehilangan kehidupan sejati yang berasal dari Allah. Sebaliknya, mereka yang rela kehilangan nyawa karena Injil akan memperoleh kehidupan kekal. Dengan demikian, Yesus mengubah cara pandang manusia tentang hidup, dari sekadar mempertahankan eksistensi duniawi menjadi hidup dalam perspektif kekekalan.
Lebih jauh, Yesus bertanya apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya. Pertanyaan retoris ini menyinggung budaya pada zaman itu yang mengutamakan kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Kekaisaran Romawi menawarkan janji kejayaan duniawi, tetapi Yesus menunjukkan bahwa semua itu sia-sia jika mengorbankan keselamatan jiwa. Konteks ini sangat relevan dengan kondisi manusia modern yang juga mengejar materi dan status sosial. Dengan demikian, Yesus mengajarkan bahwa nilai kekekalan lebih tinggi daripada seluruh pencapaian duniawi.
Yesus juga menyinggung soal malu mengakui-Nya di tengah generasi yang tidak setia dan berdosa. Pada masa itu, menjadi pengikut Yesus berarti berisiko ditolak oleh keluarga, masyarakat, bahkan penguasa Romawi. Penolakan terhadap Yesus sama artinya dengan penolakan terhadap Bapa yang mengutus-Nya. Maka dari itu, keberanian untuk bersaksi tentang Yesus merupakan bukti sejati dari iman yang telah diperbarui.
Secara politik, ajaran ini juga mengguncang karena menolak kompromi dengan kekuasaan dunia. Orang Yahudi saat itu berharap Mesias akan melawan Roma secara militer, namun Yesus justru menawarkan jalan penderitaan yang tampak lemah di mata dunia. Bagi orang Romawi, ajaran ini mencurigakan karena berpotensi menggoyahkan kesetiaan terhadap kekaisaran. Dengan demikian, ajaran Yesus menghadirkan konflik antara kerajaan dunia dengan kerajaan Allah yang sejati.
Markus sebagai penulis Injil ini menulis bagi jemaat yang sedang mengalami penderitaan di bawah kekuasaan Romawi, khususnya pada masa Kaisar Nero. Jemaat Kristen menghadapi penganiayaan, ejekan, dan ancaman kematian karena iman mereka. Perkataan Yesus dalam Markus 8:34-38 menjadi penguatan bagi mereka bahwa penderitaan bukanlah tanda kegagalan, melainkan bagian dari panggilan untuk mengikuti Kristus. Maka dari itu, teks ini berfungsi sebagai penghiburan sekaligus penguatan bagi jemaat mula-mula.
Bagi pembaca Yahudi, teks ini merupakan pembalikan besar terhadap pemahaman tentang Mesias. Mereka menginginkan Mesias yang berkuasa, tetapi Yesus menegaskan bahwa jalan salib adalah jalan Allah. Bagi pembaca non-Yahudi, teks ini menegaskan bahwa kekuasaan dunia tidak memiliki nilai abadi. Dengan demikian, Markus 8:34-38 adalah ajaran universal yang menantang semua orang untuk memperbaiki cara pandang mereka tentang hidup, kuasa, dan keselamatan.
Tafsir historis dari Bapa Gereja menekankan aspek spiritual dari ayat ini. Origenes memahami menyangkal diri sebagai proses pengendalian hawa nafsu dan pembaruan pikiran. Agustinus menekankan bahwa memikul salib berarti menerima penderitaan dengan iman sebagai jalan menuju kemuliaan bersama Kristus. Reformator seperti Martin Luther melihat teks ini sebagai panggilan untuk hidup dalam “theologia crucis,” yaitu teologi salib yang menolak kemuliaan palsu dunia. Dengan demikian, berbagai tafsir ini memperkaya pemahaman kita bahwa memperbaiki tingkah dan perbuatan berarti berani hidup dalam kebenaran meski harus menderita.
Refleksi Teologis bagi Jemaat Masa Kini
Bagi jemaat masa kini, Markus 8:34-38 menegaskan bahwa memperbaiki tingkah dan perbuatan bukanlah sekadar perubahan moral dangkal, melainkan transformasi radikal dalam cara hidup. Di tengah dunia modern yang menekankan kepuasan diri, pencapaian materi, dan popularitas, Yesus mengundang kita untuk menyangkal diri dan hidup bagi-Nya. Gereja dipanggil untuk berani berbeda dengan arus zaman, yaitu dengan menjadikan kasih, kerendahan hati, dan pengorbanan sebagai nilai hidup. Dengan demikian, teks ini menjadi tantangan untuk menolak kompromi dengan dosa dan membangun kehidupan yang berpusat pada Kristus.
Kehidupan iman yang benar selalu berhubungan dengan keberanian untuk memikul salib dalam bentuk nyata di zaman sekarang. Salib itu dapat berupa perjuangan melawan ketidakadilan, penolakan terhadap gaya hidup konsumerisme, atau kesetiaan pada Kristus di tengah tekanan sosial. Dengan menerima panggilan ini, orang percaya tidak hanya memperbaiki tingkah laku pribadi, tetapi juga menjadi terang bagi masyarakat. Maka dari itu, Markus 8:34-38 mengajak kita untuk hidup dalam kesetiaan penuh kepada Kristus, sebab hanya di dalam Dia kita menemukan hidup sejati yang kekal.
Post a Comment