wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Khotbah Minggu 14 September 2025 Lukas 15:11-32

 

Lukas 15:11-32 

dengan tema: “Sukacita atas Kembalinya Anak yang Hilang”


Pendahuluan

Perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Lukas 15:11-32 merupakan salah satu kisah yang paling terkenal dalam Injil Lukas, yang memperlihatkan kerahiman Allah Bapa melalui pengampunan terhadap anak yang berdosa. Konteks penulisannya berhubungan dengan pelayanan Yesus yang sering bergaul dengan pemungut cukai dan orang berdosa, yang menimbulkan kritik dari kaum Farisi dan ahli Taurat. Kisah ini hadir sebagai jawaban Yesus terhadap keberatan mereka, bahwa Allah lebih berkenan kepada seorang berdosa yang bertobat daripada mereka yang menganggap diri benar. Perumpamaan ini ditulis oleh Lukas dengan gaya naratif yang kuat dan menyentuh, memperlihatkan ciri khas Injil Lukas yang menekankan belas kasihan dan sukacita. Hal ini menunjukkan bahwa Injil Lukas bukan hanya sekadar catatan historis, melainkan juga karya teologis yang membentuk pemahaman iman gereja mula-mula. Oleh karena itu, kisah anak yang hilang ini merupakan gambaran mendalam tentang siapa Allah dan bagaimana relasi-Nya dengan manusia. Dengan demikian, perumpamaan ini bukan hanya cerita moral, tetapi teologi kasih Allah yang menyelamatkan.

Secara historis, Injil Lukas ditulis sekitar tahun 70–90 M, pada masa ketika gereja mula-mula sedang berkembang di tengah dunia Romawi yang dipenuhi dengan perbedaan budaya dan keagamaan. Para pembacanya sebagian besar berasal dari kalangan non-Yahudi (bangsa Yunani-Romawi), yang mungkin kurang mengenal adat istiadat Yahudi secara detail. Oleh sebab itu, Lukas berusaha menjelaskan karya penyelamatan Yesus dalam bentuk yang dapat dimengerti dan diterima oleh orang-orang bukan Yahudi. Di sisi lain, situasi politik pada masa itu ditandai oleh dominasi kekaisaran Romawi, yang sering menimbulkan ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Kondisi ini membuat pesan Yesus tentang belas kasihan Allah dan penerimaan terhadap orang-orang yang terpinggirkan menjadi sangat relevan. Dengan begitu, kisah ini berbicara secara langsung kepada orang-orang yang merasa jauh dari Allah dan tersisih dalam kehidupan sosial. Maka dari itu, Lukas ingin menunjukkan bahwa kasih Allah tidak terbatas oleh latar belakang etnis maupun status sosial.

Dalam konteks budaya Yahudi abad pertama, tindakan sang anak bungsu yang meminta warisan saat ayahnya masih hidup dianggap sangat memalukan dan merendahkan orang tua. Dalam tradisi Timur Dekat, warisan hanya dibagi setelah ayah meninggal, sehingga permintaan anak bungsu tersebut sama artinya dengan mengatakan bahwa ayahnya seolah-olah sudah mati. Tindakan ini mempermalukan keluarga dan memutuskan hubungan sosial dengan komunitas. Namun, sikap sang ayah yang menerima kembali anaknya dan mengadakan perayaan besar merupakan tindakan yang sangat radikal dan bertentangan dengan norma masyarakat saat itu. Reaksi sang ayah memperlihatkan kasih tanpa syarat yang melampaui keadilan manusiawi. Hal ini menggambarkan bahwa perumpamaan ini dimaksudkan untuk mengguncang pemahaman pendengar Yesus tentang relasi Allah dengan umat-Nya. Dengan demikian, perumpamaan ini memperlihatkan wajah Allah yang penuh belas kasihan, yang jauh lebih besar daripada hukum adat dan budaya manusia.

Penjelasan Teks

Lukas 15:11-13 menggambarkan keberanian sekaligus kebodohan sang anak bungsu yang meminta warisan dan pergi jauh untuk menghamburkan harta. Secara sosial, tindakannya berarti memutuskan hubungan dengan keluarga dan komunitas, bahkan bisa dianggap sebagai pengkhianatan. Perjalanan ke negeri jauh melambangkan keterpisahan manusia dari Allah akibat dosa, yang seringkali terjadi karena keinginan untuk hidup bebas tanpa aturan. Kehidupan yang liar dan penuh pesta pora menunjukkan sifat duniawi yang cepat habis dan tidak memberikan kepuasan sejati. Pada titik ini, Lukas ingin menunjukkan bahwa dosa selalu membawa pada kehancuran dan keterasingan. Situasi ini memperlihatkan kebodohan manusia yang berusaha mencari makna hidup di luar Allah. Maka dari itu, bagian ini menekankan bahwa dosa membawa manusia menjauh dari rumah kasih Bapa.

Ayat 14-16 menampilkan realitas pahit dari akibat dosa, ketika sang anak jatuh miskin dan harus bekerja memberi makan babi, yang dalam budaya Yahudi merupakan hewan najis. Keadaan ini menggambarkan degradasi moral dan sosial, di mana seorang anak Israel berada pada posisi yang sangat hina. Kondisi ini mencerminkan realitas manusia berdosa yang kehilangan martabat karena meninggalkan Allah. Bahkan ia ingin makan ampas babi, namun tidak ada yang memberinya, menunjukkan betapa terpuruknya kehidupan di luar kasih Allah. Poin penting di sini adalah bahwa dosa tidak hanya membuat manusia jauh dari Allah, tetapi juga merampas kehormatan dan identitas sejati. Lukas menegaskan bahwa manusia tanpa Allah berada dalam keadaan tanpa harapan. Dengan demikian, bagian ini menunjukkan akibat dosa adalah kehancuran total, baik lahiriah maupun batiniah.

Pada ayat 17-19, kita melihat titik balik ketika anak bungsu “sadar” dan mulai mengingat kebaikan ayahnya. Pertobatan dalam tradisi Alkitab selalu diawali dengan kesadaran diri, pengakuan dosa, dan keputusan untuk kembali. Kata “sadar” dalam teks Yunani menunjuk pada perubahan pikiran yang mendalam, yang dalam teologi disebut metanoia. Kesadaran anak bungsu bahwa para pekerja upahan ayahnya lebih beruntung darinya menunjukkan kerendahan hati dan pengakuan bahwa ia telah jatuh sangat rendah. Ia berencana untuk kembali, tidak lagi menuntut haknya sebagai anak, tetapi bersedia diterima sebagai hamba. Inilah gambaran sejati dari sikap pertobatan yang tulus, yakni kembali tanpa menuntut, melainkan menyerahkan diri pada belas kasihan. Dengan demikian, bagian ini memperlihatkan bahwa awal pertobatan sejati adalah kesadaran dan kerendahan hati di hadapan Allah.

Ayat 20-21 menampilkan perjumpaan yang penuh emosi antara ayah dan anak, yang menjadi inti dari kisah ini. Ayah berlari menyongsong anaknya, padahal dalam budaya Timur Dekat seorang kepala keluarga tidak pantas berlari, sebab itu dianggap tidak bermartabat. Namun tindakan ayah menunjukkan kasih yang melampaui norma budaya, karena kerinduannya mengatasi rasa malu. Ia memeluk dan mencium anaknya sebelum anak itu sempat menyelesaikan pengakuan dosanya, menandakan penerimaan tanpa syarat. Ini adalah gambaran Allah yang berinisiatif mencari manusia sebelum manusia selesai mengutarakan pertobatannya. Kasih Allah tidak menunggu syarat tertentu, melainkan menyambut setiap orang yang kembali kepada-Nya. Dengan demikian, perikop ini menekankan kasih Allah yang aktif, mendahului, dan tidak terbatas.

Ayat 22-24 menggambarkan perayaan besar yang diadakan sang ayah dengan memberikan jubah terbaik, cincin, dan sepatu kepada anaknya. Semua ini merupakan simbol pemulihan identitas anak yang penuh, bukan sekadar seorang hamba. Jubah terbaik melambangkan kehormatan, cincin menunjukkan otoritas, dan sepatu menandakan status anak, karena budak tidak memakai alas kaki. Perjamuan yang diadakan dengan menyembelih anak lembu tambun menggambarkan sukacita luar biasa, yang dalam tradisi Yahudi biasanya dilakukan untuk pesta perayaan besar. Hal ini melukiskan sukacita surga atas satu orang berdosa yang bertobat, sebagaimana ditekankan Yesus dalam perumpamaan sebelumnya (Lukas 15:7,10). Dengan demikian, bagian ini menegaskan bahwa Allah memulihkan martabat manusia yang bertobat sepenuhnya dan merayakan pertobatan itu dengan sukacita besar.

Namun, pada ayat 25-28, perhatian beralih kepada anak sulung yang marah dan menolak masuk ke dalam pesta. Sikap anak sulung melambangkan kelompok orang Farisi dan ahli Taurat, yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa orang berdosa bisa mendapatkan kasih Allah. Kemarahannya muncul karena ia merasa tidak diperlakukan adil, meskipun ia telah setia dan bekerja keras. Hal ini menunjukkan sikap manusia yang seringkali mengukur kasih Allah dengan keadilan manusiawi. Penolakan anak sulung untuk masuk pesta merupakan simbol dari sikap eksklusif yang menolak kasih karunia Allah yang universal. Lukas ingin menegaskan bahwa keselamatan tidak didasarkan pada jasa atau prestasi, tetapi semata-mata pada anugerah. Dengan demikian, bagian ini mengingatkan pembaca bahwa sikap iri dan merasa diri benar dapat menghalangi seseorang untuk mengalami sukacita kasih Allah.

Pada ayat 29-30, anak sulung mengungkapkan keluhannya kepada ayahnya dengan nada penuh kepahitan. Ia menekankan kesetiaannya selama bertahun-tahun tanpa pernah diberi kesempatan berpesta bersama teman-temannya. Tetapi ketika adiknya yang “menyia-nyiakan harta dengan pelacur” kembali, justru disambut dengan pesta besar. Keluhan ini mencerminkan pola pikir legalistis yang mengukur kasih Allah berdasarkan perbuatan baik manusia. Pandangan ini sangat dekat dengan ajaran Farisi, yang lebih menekankan ketaatan pada hukum daripada belas kasihan. Di sisi lain, keluhan anak sulung juga menyingkapkan kecemburuan manusiawi yang sering muncul ketika orang lain mendapatkan kebaikan yang tidak kita dapatkan. Hal ini memperlihatkan betapa sulitnya menerima anugerah Allah yang tidak terbatas hanya bagi mereka yang “layak”. Dengan demikian, bagian ini mengingatkan bahwa sikap iri hati dapat membuat seseorang kehilangan sukacita yang Allah sediakan.

Ayat 31 memperlihatkan jawaban sang ayah yang penuh kasih, yang menegaskan bahwa anak sulung selalu bersama dengan ayah dan segala milik ayah adalah miliknya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kasih dan berkat Allah sebenarnya sudah tersedia bagi semua orang yang dekat dengan-Nya. Namun seringkali orang yang merasa “benar” justru tidak menyadari betapa kaya dan limpahnya kasih Allah yang telah ia miliki. Jawaban ayah ini juga mengandung undangan agar anak sulung ikut bersukacita atas pertobatan adiknya. Inilah kunci utama dari perumpamaan ini, yaitu bahwa sukacita Allah atas kembalinya yang hilang lebih besar daripada ukuran keadilan manusia. Dengan demikian, bagian ini menegaskan bahwa anugerah Allah adalah untuk semua orang, tanpa kecuali, dan setiap orang dipanggil untuk merayakannya.

Akhir dari perumpamaan ini di ayat 32 menekankan alasan mengapa perayaan itu perlu: karena anak yang hilang telah “mati” dan hidup kembali, hilang dan didapati kembali. Konsep “mati dan hidup kembali” merupakan bahasa teologis yang menunjuk pada pertobatan sebagai bentuk kebangkitan rohani. Dalam tradisi Yahudi, seseorang yang menjauh dari Allah dianggap seolah-olah mati, dan pertobatan berarti hidup baru. Dengan menutup kisah dengan penegasan ini, Yesus menekankan bahwa fokus utama bukan pada perbuatan anak-anak, tetapi pada kasih ayah yang memulihkan. Perumpamaan ini sengaja dibiarkan terbuka tanpa menyebutkan respon terakhir anak sulung, sehingga mengundang pendengar untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, akhir kisah ini mengajarkan bahwa pertobatan adalah sumber sukacita besar, bukan hanya bagi orang yang bertobat, tetapi juga bagi seluruh komunitas Allah.

Refleksi dan Implikasi Teologis

Bagi jemaat masa kini, perumpamaan ini menegaskan bahwa Allah selalu membuka tangan-Nya bagi siapa pun yang mau kembali, betapa pun besar dosa yang pernah dilakukan. Kasih karunia Allah mendahului setiap usaha manusia dan tidak menuntut syarat selain kerendahan hati untuk kembali. Namun, kisah ini juga mengingatkan kita agar tidak jatuh dalam sikap anak sulung, yang iri dan menolak bersukacita atas pertobatan orang lain. Dalam kehidupan gereja, seringkali muncul kecenderungan eksklusif yang menghalangi orang lain untuk merasakan kasih Allah. Pesan ini sangat relevan di dunia modern yang penuh dengan diskriminasi, penilaian, dan kesenjangan sosial. Dengan demikian, jemaat dipanggil untuk meneladani kasih sang ayah, yang menyambut setiap orang tanpa syarat dan merayakan pertobatan dengan sukacita.

Secara teologis, perumpamaan ini memperlihatkan inti dari Injil, yaitu Allah yang penuh kasih, yang mengampuni, memulihkan, dan bersukacita atas setiap orang yang kembali kepada-Nya. Identitas Allah sebagai Bapa yang penuh belas kasihan menjadi dasar bagi pengharapan dan iman gereja sepanjang zaman. Kisah ini menyingkapkan bahwa anugerah Allah melampaui ukuran keadilan manusiawi dan melampaui segala kesalahan manusia. Oleh karena itu, jemaat masa kini tidak boleh terjebak dalam legalisme atau kesombongan rohani, melainkan belajar untuk hidup dalam sukacita kasih karunia. Dunia yang terpecah dan penuh luka membutuhkan gereja yang mencerminkan kasih sang ayah dalam perumpamaan ini. Dengan demikian, perumpamaan anak yang hilang menjadi panggilan bagi kita untuk selalu membuka diri terhadap kasih Allah dan ikut bersukacita atas setiap pertobatan yang terjadi di tengah dunia.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: