Pendahuluan
Mazmur 24 merupakan salah satu mazmur Daud yang kaya dengan simbolisme liturgis, historis, dan teologis. Mazmur ini sering dipahami sebagai mazmur prosesi, yang mungkin digunakan dalam konteks ibadah di bait suci, khususnya pada saat tabut perjanjian dibawa masuk ke Yerusalem. Konteks liturgis ini menunjukkan bahwa mazmur ini tidak hanya berfungsi sebagai puisi rohani pribadi, melainkan juga sebagai teks komunitas yang menegaskan hubungan antara Allah sebagai Raja dengan umat-Nya sebagai penyembah. Dengan demikian, Mazmur 24 membuka ruang pemahaman bahwa Allah yang disembah Israel bukanlah Allah lokal, melainkan Raja semesta alam.
Kehidupan bangsa Israel pada masa Daud sangat terkait dengan simbol politik dan religius, yaitu tabut perjanjian sebagai lambang kehadiran Allah. Daud, sebagai raja pilihan Allah, menjadikan Yerusalem pusat penyembahan, dan peristiwa pengangkatan tabut menjadi momen penting bagi identitas bangsa Israel sebagai umat Allah. Dalam kerangka ini, Mazmur 24 memperlihatkan hubungan erat antara kehidupan politik bangsa dengan pengakuan iman kepada Allah. Oleh karena itu, mazmur ini merefleksikan bahwa kerajaan Daud bukan semata kerajaan politis, melainkan kerajaan yang diletakkan di bawah kekuasaan Allah Raja semesta. Maka dari itu, konteks politik dan ibadah menyatu dalam mazmur ini.
Mazmur ini juga dapat dibaca sebagai pengajaran etis dan teologis yang menekankan bahwa Allah yang menciptakan dan memiliki bumi menuntut umat-Nya hidup kudus dan benar. Pertanyaan liturgis “Siapakah yang boleh naik ke gunung Tuhan?” (ayat 3) menekankan persyaratan moral dan spiritual yang harus dipenuhi oleh umat. Dengan gaya tanya jawab liturgis ini, mazmur mengajarkan bahwa Allah tidak hanya berdaulat atas dunia secara kosmis, tetapi juga menuntut kesucian dalam relasi umat dengan-Nya. Untuk itu, Mazmur 24 tidak hanya menekankan kedaulatan Allah secara universal, tetapi juga kekudusan yang menjadi dasar ibadah sejati.
Penjelasan Teks
Ayat pertama membuka dengan deklarasi kosmis: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” Pernyataan ini mencerminkan keyakinan teologis Israel bahwa Allah adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu. Dalam konteks budaya kuno, banyak bangsa sekitar yang mengklaim dewa-dewa mereka sebagai penguasa lokal suatu wilayah atau fenomena alam tertentu. Namun, Mazmur 24 dengan tegas menegaskan keunikan Allah Israel yang tidak terbatas pada ruang atau wilayah, melainkan berdaulat atas seluruh bumi. Dengan demikian, iman Israel menampilkan Allah sebagai Raja universal yang melampaui konsep religius bangsa-bangsa sekitarnya.
Ayat kedua menekankan bahwa fondasi bumi diletakkan di atas lautan dan sungai, yang dalam kosmologi Ibrani dipahami sebagai kekuatan kacau. Dalam budaya Timur Dekat Kuno, laut sering diasosiasikan dengan kuasa mitologis yang menakutkan, tetapi bagi Israel, Allah yang berdaulat telah menaklukkan dan menata lautan itu. Ayat ini merupakan pernyataan iman bahwa dunia tidak dikuasai oleh kekacauan, melainkan ditopang oleh tatanan ilahi. Maka dari itu, mazmur ini memperlihatkan bahwa Allah sebagai Raja adalah pengendali kosmos, yang berkuasa atas kekacauan dan menetapkan keteraturan bagi ciptaan.
Ayat ketiga dan keempat beralih dari deklarasi kosmis kepada syarat etis: siapa yang boleh mendekat kepada Allah? Jawaban yang diberikan adalah orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan diri kepada kesia-siaan. Dalam kerangka ibadah di Bait Allah, syarat ini menggarisbawahi pentingnya kesucian moral, bukan sekadar ritual lahiriah. Bagi Israel, relasi dengan Allah yang kudus hanya mungkin jika manusia hidup dengan integritas, kejujuran, dan kesetiaan kepada Allah. Untuk itu, Mazmur 24 menyatukan iman kosmis dengan tuntutan etis, menegaskan bahwa Raja semesta alam adalah Allah yang kudus.
Ayat kelima memberikan janji bahwa orang yang memenuhi syarat itu akan menerima berkat dan keadilan dari Allah penyelamatnya. Konsep berkat di sini bukan sekadar materi atau keberuntungan, melainkan kebenaran relasional, yaitu dipandang benar di hadapan Allah. Hal ini memperlihatkan bahwa relasi dengan Allah membawa dimensi pembenaran yang bersifat teologis. Dalam konteks Israel, ini berarti orang tersebut diperkenankan berada dalam komunitas ibadah dan menikmati kehadiran Allah. Dengan demikian, berkat yang dimaksud dalam mazmur ini adalah kehidupan dalam persekutuan dengan Allah yang adil dan kudus.
Ayat keenam menegaskan identitas umat sebagai generasi yang mencari Allah. Identitas ini bukan sekadar status keturunan Abraham, melainkan ekspresi iman yang aktif dalam mencari wajah Allah. Bagi Israel, mencari wajah Allah berarti mencari hadirat dan berkat-Nya dalam kehidupan sehari-hari melalui doa, ketaatan, dan ibadah. Mazmur ini dengan demikian mengajarkan bahwa umat Allah ditandai bukan hanya oleh status etnis atau religius, melainkan oleh kerinduan yang terus-menerus untuk berjumpa dengan Allah. Maka dari itu, umat yang sejati adalah mereka yang aktif mencari Allah, bukan sekadar mengklaim warisan iman.
Ayat ketujuh sampai sepuluh menghadirkan dialog liturgis yang agung: “Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang.” Frasa ini kemungkinan besar merujuk pada prosesi masuknya tabut perjanjian ke Yerusalem. Pintu-pintu gerbang dipersonifikasikan seolah-olah mereka harus membuka diri bagi masuknya Sang Raja Kemuliaan. Dalam budaya Israel, tabut perjanjian bukan sekadar benda suci, tetapi lambang nyata dari kehadiran Allah di tengah umat. Dengan demikian, seruan ini melukiskan peristiwa liturgis yang menegaskan bahwa Allah Raja semesta memasuki kota suci-Nya.
Pertanyaan "Siapakah Raja Kemuliaan?" yang dijawab dengan "Tuhan perkasa dan perkasa, Tuhan perkasa dalam pertempuran" menunjukkan dimensi historis dan politis iman Israel. Allah dipahami sebagai Raja yang tidak hanya berdaulat atas alam, tetapi juga sebagai pejuang ilahi yang melindungi Israel dari musuh-musuhnya. Gelar ini selaras dengan tradisi perang suci, di mana Allah dipandang sebagai Panglima yang memimpin Israel dalam pertempuran. Dengan demikian, Allah, Raja alam semesta, bukan hanya pemilik kosmos, tetapi juga pembela umat-Nya dalam sejarah.
Pengulangan seruan pada ayat 9 dan 10 menegaskan pentingnya pengakuan bahwa Allah adalah Raja Kemuliaan. Struktur repetisi ini bukanlah pengulangan yang kosong, melainkan penegasan liturgis agar umat benar-benar menyadari siapa yang masuk ke dalam kota. Allah yang mereka sembah bukanlah dewa lokal yang terbatas, melainkan Tuhan semesta alam, yang kuasa-Nya melampaui segala kuasa lain. Dengan demikian, mazmur ini menjadi litani iman yang memperkuat pengakuan bahwa Allah adalah Raja di atas segala raja.
Jika ditilik dari konteks penulis dan pembaca, Daud sebagai raja Israel menulis mazmur ini untuk mengajarkan kepada bangsa bahwa kerajaan yang ia pimpin bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik Allah. Yerusalem bukan hanya ibu kota politik, melainkan kota Allah di mana Allah bersemayam di tengah umat-Nya. Bagi pembaca pertama, mazmur ini memperlihatkan bahwa pusat kehidupan Israel adalah ibadah kepada Allah Raja semesta alam. Maka dari itu, Mazmur 24 merupakan teks yang memadukan iman kosmis, sejarah keselamatan, dan tuntutan etis bagi umat.
Refleksi Teologis bagi Masa Kini
Mazmur 24 menantang umat Kristen masa kini untuk mengakui bahwa seluruh bumi dan segala isinya adalah milik Allah. Di tengah zaman modern di mana manusia sering merasa berkuasa penuh atas bumi melalui teknologi, sains, dan ekonomi, teks ini mengingatkan bahwa manusia hanyalah pengelola, bukan pemilik sejati. Perspektif ini mengarahkan umat untuk menjaga ciptaan dengan penuh tanggung jawab, sebagai bentuk pengakuan iman bahwa Allah adalah Raja semesta alam. Dengan demikian, pengakuan kosmis ini menjadi dasar bagi etika lingkungan dan sosial dalam kehidupan masa kini.


Post a Comment