Pendahuluan
Kidung Zakharia dalam Lukas 1:67–79 merupakan salah satu bagian paling indah dalam Injil Lukas yang dikenal sebagai Benedictus. Kidung ini keluar dari mulut seorang imam tua, Zakharia, yang sebelumnya dibungkam karena ketidakpercayaannya terhadap janji Allah tentang kelahiran Yohanes Pembaptis. Setelah Yohanes lahir dan Zakharia menuliskan namanya sesuai dengan perintah malaikat, ia dipenuhi oleh Roh Kudus dan bernubuat. Kidung ini bukan sekadar ungkapan sukacita seorang ayah, tetapi merupakan pernyataan profetis mengenai karya keselamatan Allah yang sedang digenapi melalui Mesias yang akan datang. Maka dari itu, kisah ini memperlihatkan bahwa setiap janji Allah senantiasa digenapi tepat pada waktu-Nya.
Secara historis, konteks munculnya Kidung Zakharia terjadi pada masa yang penuh tekanan bagi bangsa Israel. Saat itu, Israel berada di bawah penjajahan Romawi, dan kehidupan religius mereka dikendalikan oleh kepentingan politik serta kekuasaan imam-imam besar yang tunduk pada otoritas asing. Dalam situasi ini, banyak orang Yahudi merindukan kedatangan Mesias yang akan memulihkan kerajaan Israel dan membebaskan mereka dari penindasan. Kidung Zakharia lahir di tengah kerinduan yang lama akan pemulihan dan pembebasan, menjadi tanda bahwa Allah sedang bekerja di balik sejarah manusia. Dengan demikian, konteks historis ini menunjukkan bahwa kedatangan Yesus adalah jawaban Allah atas penderitaan dan harapan umat-Nya.
Dari sudut pandang budaya, bangsa Israel hidup dengan kuat dalam kerangka pemikiran teologis Perjanjian Lama. Setiap tindakan besar dalam sejarah mereka dipahami sebagai visitasi atau lawatan Allah — entah dalam bentuk hukuman maupun keselamatan. Lawatan ini mengingatkan kembali pada peristiwa eksodus, ketika Allah “melihat penderitaan umat-Nya di Mesir” dan bertindak untuk membebaskan mereka. Pola ini terus diingat melalui ibadah, doa, dan nubuat para nabi. Dengan demikian, ketika Zakharia berkata “Allah telah melawat dan menebus umat-Nya” (ayat 68), hal itu bukan hanya ucapan syukur pribadi, tetapi pengakuan bahwa Allah sedang melakukan karya penyelamatan yang baru sebagaimana dalam sejarah Israel dahulu.
Penjelasan Teks
Dalam ayat 67–69, Zakharia digerakkan oleh Roh Kudus untuk bernubuat bahwa Allah telah mengunjungi dan menebus umat-Nya dengan membangkitkan “tanduk keselamatan” bagi mereka. Istilah “tanduk keselamatan” merujuk pada lambang kekuatan dan kemenangan dalam simbolisme Ibrani, sering digunakan dalam Mazmur dan nubuat (bdk. Mazmur 18:2; 132:17). “Tanduk” melambangkan kuasa Allah yang berdaulat menegakkan keselamatan melalui keturunan Daud, yaitu Yesus Kristus. Hal ini menunjukkan kesinambungan antara janji Allah kepada Daud dan penggenapannya dalam Kristus. Dengan demikian, teks ini menegaskan bahwa keselamatan tidak lahir dari kekuatan manusia, melainkan dari inisiatif Allah sendiri yang datang melawat umat-Nya.
Ayat 70–71 mengingatkan bahwa apa yang terjadi bukanlah hal yang baru tanpa akar, melainkan kelanjutan dari nubuat para nabi. Zakharia menegaskan bahwa Allah berbicara sejak dahulu melalui para nabi-Nya yang kudus tentang keselamatan dari musuh dan dari tangan semua yang membenci umat Israel. Dalam hal ini, karya Allah tidak terputus antara masa lalu dan masa kini. Kidung ini menegaskan kesinambungan wahyu ilahi yang berpuncak pada kehadiran Kristus sebagai penggenapan nubuat. Dengan demikian, ayat ini meneguhkan iman umat bahwa janji Allah bersifat historis dan konsisten dalam seluruh karya penyelamatan-Nya.
Pada ayat 72–73, Zakharia berbicara tentang kasih setia (hesed) Allah kepada nenek moyang mereka dan perjanjian-Nya dengan Abraham. Kasih setia ini menunjukkan bahwa Allah tidak pernah melupakan janjinya kepada umat pilihan. Perjanjian Abraham adalah dasar dari semua janji keselamatan dalam Perjanjian Lama, di mana Allah berjanji untuk memberkati segala bangsa melalui keturunannya. Maka dari itu, dalam kelahiran Yohanes dan akan datangnya Yesus, Zakharia melihat penggenapan nyata dari janji perjanjian tersebut. Dengan demikian, teks ini memperlihatkan kontinuitas antara janji Allah kepada Abraham dan pelaksanaannya dalam sejarah keselamatan yang baru.
Ayat 74–75 menggambarkan tujuan dari keselamatan itu: agar umat Allah dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut, dalam kekudusan dan kebenaran sepanjang hidup mereka. Keselamatan bukan hanya pembebasan dari musuh lahiriah, tetapi juga pemulihan hubungan yang benar antara manusia dan Allah. Di sini, dimensi teologis keselamatan diperluas dari politik menuju spiritualitas, yakni kebebasan untuk melayani Allah dalam kekudusan. Dengan demikian, teks ini menunjukkan bahwa hakikat keselamatan bukan hanya kebebasan eksternal, melainkan transformasi batiniah menuju ibadah sejati.
Mulai ayat 76, fokus beralih kepada Yohanes Pembaptis sebagai anak Zakharia. Ia disebut sebagai nabi Allah yang Mahatinggi, yang akan mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Gelar ini menandakan peran Yohanes sebagai pengantar kedatangan Mesias, sesuai nubuat Yesaya 40:3 tentang suara yang berseru di padang gurun. Yohanes dipanggil untuk mempersiapkan hati umat bagi kedatangan Kristus melalui seruan pertobatan. Dengan demikian, bagian ini menegaskan bahwa misi Yohanes merupakan bagian integral dari rencana keselamatan Allah bagi dunia.
Ayat 77 menekankan bahwa Yohanes akan memberi umat Allah pengertian tentang keselamatan melalui pengampunan dosa. Dalam konteks Yudaisme abad pertama, dosa dipandang sebagai penyebab utama penderitaan dan keterasingan dari Allah. Pengampunan dosa berarti pemulihan hubungan perjanjian dengan Allah, bukan hanya penghapusan kesalahan moral. Yohanes menyiapkan umat untuk menerima karya Kristus yang akan datang sebagai Sang Penebus yang menghapus dosa dunia. Maka dari itu, keselamatan sejati yang dimaksud bukan sekadar kelepasan sosial, melainkan pembaruan rohani melalui pengampunan ilahi.
Ayat 78–79 menutup kidung ini dengan gambaran puitis tentang “rahmat dan belas kasihan Allah kita, di mana fajar dari tempat yang tinggi akan menyinari mereka yang duduk dalam kegelapan dan bayang-bayang maut.” Istilah “fajar dari tempat yang tinggi” menunjuk pada metafora Mesias sebagai terang yang datang dari Allah untuk mengusir kegelapan dunia. Dalam konteks politik dan spiritual, kegelapan ini melambangkan dosa, keputusasaan, dan penindasan yang menutupi umat manusia. Dengan demikian, kedatangan Kristus adalah puncak lawatan Allah yang membawa terang kehidupan bagi dunia yang gelap.
Secara historis-teologis, ayat-ayat ini menggambarkan bagaimana Allah bertindak dalam sejarah, bukan secara abstrak tetapi melalui manusia, tempat, dan waktu yang nyata. Dalam kisah Zakharia, teologi inkarnasi mulai berwujud: Allah tidak jauh dari penderitaan manusia, melainkan hadir dan melawat mereka melalui karya keselamatan konkret. Kidung Zakharia menjadi jembatan antara nubuat Perjanjian Lama dan penggenapan dalam Perjanjian Baru. Dengan demikian, teks ini menegaskan bahwa seluruh sejarah keselamatan berpusat pada inisiatif Allah yang turun tangan bagi umat-Nya.
Dalam konteks penulis dan pembaca Injil Lukas, teks ini juga berfungsi sebagai penguatan iman bagi jemaat mula-mula yang sedang menghadapi penganiayaan. Lukas, seorang sejarawan dan teolog, menulis kepada Teofilus dan komunitas Kristen non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan Allah bersifat universal, bukan hanya untuk Israel. Dengan menyertakan kidung Zakharia, Lukas menunjukkan bahwa karya Kristus merupakan penggenapan janji Allah bagi semua bangsa. Dengan demikian, narasi ini mengajarkan bahwa kasih dan penyertaan Allah melampaui batas etnis dan budaya.
Tafsir historis-teologis dari para Bapa Gereja juga menegaskan hal yang sama. Santo Ambrosius dan Agustinus melihat kidung ini sebagai proklamasi iman yang meneguhkan bahwa Allah yang dahulu berbicara melalui para nabi kini telah datang sendiri dalam diri Kristus. Mereka menafsirkan “fajar dari tempat yang tinggi” sebagai simbol kelahiran rohani manusia baru yang disinari oleh kasih karunia. Dengan demikian, secara teologis, kidung Zakharia tidak hanya berbicara tentang sejarah keselamatan, tetapi juga transformasi eksistensial manusia yang mengalami lawatan Allah dalam hati mereka.
Refleksi dan Implikasi Teologis bagi Jemaat Masa Kini
Bagi pembaca masa kini, teks ini mengingatkan bahwa Allah yang melawat umat-Nya pada zaman Zakharia adalah Allah yang sama yang terus melawat umat-Nya sekarang. Lawatan Allah dapat hadir dalam bentuk pembaruan iman, pengampunan dosa, atau bahkan dalam penderitaan yang membuka jalan bagi pertumbuhan rohani. Dalam dunia modern yang sering terperangkap dalam kegelapan moral, krisis spiritual, dan individualisme, Allah tetap datang melalui firman-Nya untuk membawa terang dan harapan. Dengan demikian, umat Kristen diajak untuk membuka diri terhadap karya Allah yang melawat dalam hidup sehari-hari.
Kidung Zakharia juga menjadi ajakan bagi gereja untuk menjadi alat lawatan Allah bagi dunia. Seperti Yohanes yang mempersiapkan jalan bagi Tuhan, umat Kristiani dipanggil untuk menyampaikan kabar keselamatan melalui kasih, pengampunan, dan pelayanan kepada sesama. Ketika gereja hidup dalam kekudusan dan kebenaran, ia menjadi saksi nyata dari kehadiran Allah yang membawa terang ke tengah dunia yang gelap. Dengan demikian, tema “Allah Melawat Umat-Nya” bukan sekadar kenangan historis, melainkan panggilan teologis yang terus hidup dalam setiap tindakan iman dan kasih.


Post a Comment