Pendahuluan
Kisah kelahiran Yesus Kristus dalam Matius 1:18–25 merupakan salah satu perikop yang paling penting dalam keseluruhan Injil, sebab di dalamnya tersingkap misteri inkarnasi Allah ke dalam dunia manusia. Injil Matius menampilkan kisah ini bukan sekadar catatan kelahiran seorang tokoh besar, melainkan sebagai penggenapan janji Allah yang telah dinubuatkan sejak zaman nabi-nabi, khususnya Yesaya. Dalam perikop ini, kelahiran Yesus dipaparkan melalui sudut pandang Yusuf, yang menjadi alat Tuhan dalam menghadirkan keselamatan bagi dunia. Dengan demikian, Matius ingin menunjukkan bahwa peristiwa kelahiran Yesus merupakan tindakan ilahi yang melampaui penjelasan manusia dan berakar dalam rencana keselamatan Allah. Maka dari itu, teks ini harus dibaca bukan hanya secara naratif, tetapi juga secara teologis.
Pada masa penulisan Injil Matius, bangsa Israel hidup di bawah kekuasaan politik Romawi yang menindas dan mencengkeram kehidupan sosial mereka. Mereka menantikan Mesias yang akan membebaskan mereka secara politik, namun Matius mengarahkan pemahaman ini pada pembebasan yang lebih mendalam, yaitu pembebasan dari dosa. Dalam konteks inilah, nama “Yesus” yang berarti “YHWH menyelamatkan” memiliki makna yang melampaui harapan nasionalistik bangsa Israel. Matius menegaskan bahwa penyertaan Allah melalui kelahiran Yesus bukan berbentuk kekuatan militer, melainkan kehadiran rohani yang membebaskan hati manusia dari belenggu dosa. Untuk itu, kelahiran Yesus menjadi deklarasi bahwa Allah tidak lagi jauh, tetapi telah turun dan tinggal di antara manusia.
Konteks budaya saat itu juga memperlihatkan pentingnya hukum Taurat dan sistem patriarkal yang kuat, di mana seorang perempuan yang mengandung tanpa menikah dianggap melakukan pelanggaran berat. Yusuf sebagai seorang yang benar berada dalam dilema moral yang besar antara ketaatan terhadap hukum dan belas kasih terhadap Maria. Dalam situasi inilah Allah menyingkapkan kehendak-Nya melalui malaikat yang meneguhkan Yusuf untuk menerima Maria. Maka dari itu, kisah ini menggambarkan bahwa penyertaan Allah juga hadir dalam pergumulan manusia yang konkret, di mana ketaatan kepada firman lebih tinggi daripada ketaatan terhadap adat dan tradisi.
Penjelasan Teks
Matius 1:18 menegaskan bahwa kelahiran Yesus terjadi “sebelum mereka hidup sebagai suami istri,” suatu frasa yang menekankan asal ilahi dari kehamilan Maria. Hal ini mengindikasikan bahwa keselamatan bukan hasil dari usaha manusia, melainkan karya Roh Kudus yang bekerja melampaui batas kodrat manusia. Dalam tradisi Yahudi, konsep Roh Kudus sering kali dikaitkan dengan kuasa Allah yang mencipta dan memperbarui, sehingga penyebutan ini bukan hal asing bagi pembaca pertama. Namun Matius menegaskannya dalam konteks inkarnasi, bahwa karya penciptaan kini terjadi dalam rahim manusia. Dengan demikian, peristiwa ini menegaskan bahwa Allah yang transenden rela menjadi imanen melalui tindakan penciptaan baru dalam Kristus.
Dalam ayat 19, Yusuf digambarkan sebagai “seorang yang tulus hati” (dikaios), istilah yang dalam bahasa Yunani mengandung arti ketaatan yang seimbang antara keadilan dan kasih. Yusuf hendak “menceraikan Maria secara diam-diam,” suatu tindakan yang mencerminkan kasih dan penghormatan terhadap hukum sekaligus empati terhadap Maria. Matius menonjolkan Yusuf bukan hanya sebagai tokoh moral, tetapi juga sebagai contoh iman yang mendengar dan menaati suara Allah. Dalam ketaatan Yusuf, pembaca diperkenalkan pada model ketaatan iman yang tidak mencari kehormatan pribadi, melainkan kehendak Allah. Untuk itu, Yusuf menjadi simbol umat beriman yang dipanggil untuk menaati kehendak Allah bahkan ketika hal itu menantang norma sosial dan rasionalitas manusia.
Ayat 20–21 menunjukkan intervensi ilahi melalui pewahyuan malaikat yang menyingkapkan rencana Allah. Malaikat berkata, “Anak yang di dalam kandungan itu adalah dari Roh Kudus,” menegaskan kembali keaslian dan kekudusan karya penyelamatan tersebut. Nama “Yesus” diberikan dengan makna teologis yang mendalam, “karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Matius menekankan bahwa keselamatan yang dibawa oleh Yesus bersifat personal dan spiritual, bukan politis. Penyelamatan dari dosa menandai inti Injil yang sejati: Allah datang bukan hanya untuk memperbaiki sistem dunia, melainkan untuk memperbarui hati manusia. Dengan demikian, makna nama Yesus menjadi inti pewartaan Matius tentang kasih dan penyertaan Allah.
Ayat 22–23 mengutip nubuat dari Yesaya 7:14, “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Immanuel.” Kutipan ini memperlihatkan hubungan erat antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di mana janji penyertaan Allah kini tergenapi dalam Kristus. Dalam konteks Yesaya, nubuat ini merujuk pada tanda penyelamatan Allah bagi kerajaan Yehuda dalam krisis politik. Namun Matius menafsirkan nubuat itu secara kristologis, melihat penggenapannya dalam pribadi Yesus sebagai Allah yang hadir nyata di antara manusia. Dengan demikian, Matius ingin menegaskan bahwa sejarah keselamatan Allah berlanjut dan mencapai puncaknya dalam peristiwa inkarnasi.
Pemilihan kata “Immanuel” (Ibrani: עִמָּנוּ אֵל, ‘Immanu-El’) bukan sekadar nama simbolik, tetapi deklarasi teologis bahwa Allah tidak lagi jauh dari umat-Nya. Dalam budaya Yahudi, Allah dianggap terlalu kudus untuk berdiam di tengah manusia berdosa, tetapi melalui Yesus, batas itu dihapuskan. Kehadiran Kristus menjadi jembatan antara kekudusan Allah dan keterbatasan manusia. Dengan demikian, “Immanuel” bukan sekadar gelar mesianik, melainkan pernyataan realitas baru: Allah yang hidup kini hadir dalam sejarah manusia. Maka dari itu, kehadiran Yesus merupakan manifestasi kasih Allah yang nyata dan penuh belas kasihan.
Ayat 24–25 menggambarkan ketaatan Yusuf yang segera melakukan seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan kepadanya. Ia menerima Maria dan memberi nama kepada anak itu “Yesus,” menandakan pengakuannya secara hukum sebagai ayah sah dalam garis keturunan Daud. Dengan tindakan ini, Matius menegaskan bahwa Yesus secara legal dan teologis adalah keturunan Daud, penggenap janji Mesias. Ketaatan Yusuf memperlihatkan bahwa keselamatan tidak hanya terjadi melalui pewahyuan, tetapi juga melalui tindakan iman yang nyata. Dengan demikian, iman yang sejati selalu diwujudkan dalam ketaatan konkret terhadap panggilan Allah.
Kisah ini juga mengandung pesan politik tersirat, di mana kelahiran Yesus sebagai “raja” menjadi ancaman bagi struktur kekuasaan dunia yang menindas. Pada masa itu, kekuasaan Romawi memproklamirkan Kaisar sebagai “anak dewa” dan “penyelamat dunia.” Namun Matius menegaskan bahwa gelar-gelar itu sejatinya milik Kristus, bukan kaisar manusia. Melalui kelahiran Yesus, Allah membalikkan tatanan dunia dengan memperlihatkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah dominasi, melainkan pelayanan dan penyertaan. Untuk itu, narasi ini mengandung dimensi politis yang membebaskan, sekaligus mengukuhkan supremasi kerajaan Allah atas kerajaan dunia.
Secara historis, pembaca pertama Injil Matius kemungkinan besar berasal dari komunitas Yahudi-Kristen yang sedang berjuang mempertahankan identitas iman di tengah tekanan sosial dan ekskomunikasi dari sinagoga. Mereka menemukan penghiburan besar dalam berita “Immanuel,” karena melalui Kristus, Allah menyertai mereka meski ditolak dunia. Matius menulis untuk meneguhkan bahwa penyertaan Allah bukanlah janji abstrak, melainkan pengalaman konkret dalam penderitaan. Maka dari itu, berita “Immanuel” menjadi sumber keteguhan iman dan harapan bagi jemaat mula-mula yang hidup dalam situasi marginal.
Dari perspektif teologi historis, para Bapa Gereja seperti Ireneus dan Athanasius menafsirkan perikop ini sebagai dasar doktrin inkarnasi, di mana Allah menjadi manusia tanpa kehilangan keilahian-Nya. Mereka melihat bahwa hanya dengan menjadi manusia, Allah dapat menebus manusia dari dalam keberdosaannya sendiri. Sementara dalam tradisi Reformasi, Martin Luther menekankan bahwa “Immanuel” adalah janji iman yang harus dipegang oleh setiap orang percaya dalam penderitaan hidup. Dengan demikian, teks ini menjadi dasar bagi pemahaman iman Kristen bahwa penyertaan Allah bukanlah sekadar ide, melainkan pengalaman relasional antara Allah dan manusia melalui Kristus.
Refleksi Teologis dan Implikasi Bagi Jemaat Masa Kini
Dalam kehidupan masa kini yang penuh dengan ketakutan, kesepian, dan krisis moral, pesan “Immanuel” menjadi pengingat bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Dunia modern mungkin menawarkan kemajuan teknologi, namun juga menghadirkan keterasingan rohani yang mendalam. Melalui Kristus yang lahir dalam kesederhanaan, Allah memperlihatkan solidaritas-Nya terhadap penderitaan manusia. Allah tidak hanya hadir di gereja, tetapi juga dalam luka, tangis, dan pergumulan setiap orang percaya. Dengan demikian, “Immanuel” mengajak umat Kristen untuk menyadari kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan, bahkan di tengah situasi yang tampak tanpa harapan.
Kisah Yusuf dan Maria menjadi contoh bahwa penyertaan Allah sering kali hadir dalam ketaatan yang sunyi dan keputusan iman yang sederhana. Allah bekerja melalui orang biasa untuk menggenapi rencana besar-Nya, dan itulah bukti bahwa penyertaan-Nya tidak bersyarat pada status, kuasa, atau kehebatan manusia. Umat percaya masa kini dipanggil untuk meneladani ketaatan Yusuf dan kesetiaan Maria dalam menjalani panggilan iman, sekalipun menghadapi ketidakpastian. Dengan demikian, pesan utama dari Matius 1:18–25 adalah bahwa Allah menyertai umat-Nya melalui Kristus yang hidup, dan penyertaan itu menuntun manusia untuk hidup dalam ketaatan, kasih, dan pengharapan yang tak tergoyahkan.


Post a Comment