“Keberanian Memimpin Karena Pertolongan Allah”
I. Pengantar
Lazim kita dengar suatu ungkapan dalam teori kepemimpinan perkataan berikut ini “Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu melahirkan pemimpin baru dalam organisasinya”. Ungkapan itu menggambarkan bahwa kaderisasi dan pemuridan berjalan dengan baik, sosok pemimpin untuk generasi berikutnya dipersiapkan dengan matang oleh pemimpin sebelumnya. Musa pemimpin Israel yang kharismatis itu mempersipakan Yosua sebagai sosok pemimpin baru yang akan menggantikannya. Yosua yang akan memimpin bangsa Israel memasuki tanah terjanji Kanaan. Kitab ulangan pasal 34 adalah pasal penutup yang mengisahkan riwayat kehidupan Musa. Diceritakan mengenai peralihan kepemimpinan dari Musa kepada Yosua. Kisah mengenai suksesi kedua pemimpin tersebut terjadi setelah kematian Musa.
II. Penjelasan Nas
Akhir masa kepemimpinan Musa berakhir ketika ia meninggal dan estapet kepemimpina itu diteruskan oleh Yosua. Musa disaksikan dalam kitab Ulangan 34: 10-11 sebagai pemimpin yang hebat, yang dikenal Tuhan, nabi yang penuh kuasa, bahkan dikatakan dengan sangat jelas bahwa tidak ada lagi nabi yang akan muncul seperti dirinya. “Seperti Musa yang dikenal Tuhan dengan berhadapan muka, tidak ada lagi seorang nabi yang bangkit di antara orang Israel, dalam hal segala tanda dan mukjizat, yang dilakukannya atas perintah Tuhan di tanah Mesir”.
Musa adalah orang yang “dipilih Tuhan”, relasi dan perlakuan Allah padanya sangat istimewa, ia dikenal Tuhan dengan berhadapan muka; ia dirahmati Tuhan melakukan banyak tanda dan mukjizat; ia yang memimpin bangsa pilihan Allah menuju pembebasan ke Tanah Terjanji. Tetapi suatu ironi bahwa Tuhan tidak menginjinkan Musa menikmati hasil perjuangannya setelah melewati begitu banyak rintangan dan masa-masa sulit, Musa tidak diizinkan Tuhan masuk ke tanah terjanji. Ia hanya boleh melihat tanah itu dari kejauhan di atas gunung Nebo, dipuncak Pisga. Di atas bukit itulah Tuhan berkata kepada Musa “Kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri itu. Aku mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi engkau tidak akan menyeberang ke sana” (Ul. 34:4).
Kematian Musa adalah suatu keputusan Allah yang tidak bisa ditentang kehendak siapapun bahkan oleh Musa sendiri. Apa penyebab kematiannya dan mengapa ia tidak diperkenankan memasuki Kanaan? Keterangan dalam ayat 7 perikop ini menyebutkan keterangan yang kontras antara kematian dan kondisi fisik Musa saat itu di mana “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang”. Kondisi fisik Musa menunjukkan bahwa ia sebenarnya masih sanggup untuk memimpin Israel merebut dan menduduki tanah perjanjian, tetapi Tuhan tidak mengijinkannya. Ia dikuburkan oleh Tuhan sendiri di suatu lembah di Moab. Tempat itu hanya Tuhan yang tahu. Orang Israel berkabung selama 30 hari atas kematian Musa. Musa adalah satu-satunya orang yang dikenal Tuhan dengan berhadapan muka. Hanya melalui Musa Tuhan menyatakan kuasa dengan mukjizat-mukjizat-Nya yang sangat besar atas orang Mesir dan atas umat-Nya (10-12). Nampaknya kematiannya adalah sesuatu konsekuensi yang harus diterimanya karena dosa dan kesalahannya sendiri. Kematian Musa berhubungan erat dengan tidak masuknya ia ke tanah Kanaan sebagai hukuman ilahi atas pemberontakannya melawan Tuhan di Meribah (Bnd. Ulangan 32:48-52; Bilangan 20:2-13).
Musa Mati tetapi kepemimpinan umat Tuhan tidak berakhir. Kaderisasi kepemimpinan berjalan dengan baik. Tuhan telah memerintahkan Musa mempersiapkan Yosua untuk memimpin Israel memasuki Kanaan. Musa adalah pemimpin yang mempunyai otoritas untuk memimpin bangsa Israel. Otoritas itu diwariskan pada Yosua. Memang otoritas itu berasal dari Tuhan, namun pewarisan itu terjadi melalui perantaraan Musa (Ul 31). Sehingga, “Yosua penuh dengan roh kebijaksanaan, sebab Musa telah meletakkan tangannya ke atasnya. Sebab itu orang Israel mendengarkan dia dan melakukan seperti yang diperintahkan Tuhan kepada Musa” (Ul 34:9). Meskipun Musa mati dan tidak memasuki tanah terjanji, namun karya pembebasan Allah tetap terus terlaksana.
Sejak awal Musa sudah mempersiapkan Yosua sebagai penggantinya, ia memberikan pengalaman serta penerapan kepada Yosua. Ia membimbing hingga ke dalam hal yang sangat praktis. Ketika bangsa Israel harus menghadapi bangsa Amalek dalam pertempuran, Musa menjadikan Yosua panglimanya. Ketika dibutuhkan pengintaian dari suku Efraim, Yosua yang diutusnya. Begitupun ketika Musa membutuhkan seorang hamba, Yosua yang dipilihnya. Dalam banyak hal Musa memberikan kewenangan kepada Yosua untuk menegaskan bahwa Yosua memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Ketika tiba saatnya, Musa memperkenalkan Yosua di hadapan Israel sebagai pemimpin masa depan (bnd. Bilangan 27:18-22; Ulangan 31:7; 34:7). Di atas semua kaderisasi dan pembinaan itu, urapan dan kekuatan yang bersumber dari Tuhan membuat Yosua mampu meneruskan kepemimpinan Israel.
III. Penutup
Musa adalah hamba Tuhan yang taat. Dalam kisah Musa, kita menemukan kenyataan, bahwa sehebat-hebatnya manusia yang “dipilih” Tuhan, bahkan ketika dijadikan Pimpinan, manusia itu tetap tidak berhak lupa diri, sebaliknya ia harus taat dan setia pada kehendak Tuhan. Karena sesungguhnya siapapun dirinya, manusia itu hanyalah hamba Tuhan. Hamba, sejatinya taat dan setia pada tuannya. Hamba, sejatinya tidak bermegah atas kehidupan yang merupakan pemberian tuannya semata. Musa, nabi besar pilihan Tuhan pun menyadari penuh hal tersebut. Tanpa protes, tanpa bertanya, ia menerima segala yang Tuhan katakan dan putuskan. Ia menerima keputusan Tuhan untuk tidak mengizinkannya memasuki Kanaan. Baik Musa maupun Yosua adalah hamba yang setia dan taat, otoritas dan keberanian memimpin diperoleh dari pengurapan Tuhan. Baiklah kita selalu memohon penyertaan Tuhan untuk merahmati keterpilihan kita dengan karunia kerendahan hati, ketaatan dan kesetiaan. Amin
Post a Comment