Bahan Khotbah Teologis-Historis: Matius 6:9–13
Tema: Doa Memohon Keselamatan
Teks Matius 6:9-13, yang dikenal sebagai Doa Bapa Kami, merupakan bagian dari Khotbah di Bukit yang disampaikan oleh Yesus sebagai pengajaran etis, teologis, dan spiritual kepada para murid-Nya dan kepada khalayak luas. Doa ini bukan hanya sekadar formula doa, tetapi merupakan puncak dari spiritualitas Kerajaan Allah yang ditanamkan Yesus dalam kehidupan umat-Nya. Secara historis dan teologis, doa ini tidak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat Yahudi abad pertama di bawah kekuasaan Romawi, di mana harapan akan pembebasan, pemulihan, dan keselamatan menjadi inti kerinduan umat Israel.
Penulis Injil Matius, yang secara tradisi diyakini sebagai salah satu murid Yesus dan mungkin seorang Yahudi Kristen, menulis Injil ini dengan tujuan menjembatani pengharapan Mesianik orang Yahudi dengan penggenapan dalam pribadi Yesus Kristus. Maka tidak mengherankan jika Matius menyusun Khotbah di Bukit sebagai semacam Torah Baru, dan Doa Bapa Kami sebagai ringkasan dari kehidupan dalam kerajaan Allah yang ditandai oleh relasi yang akrab dan kudus dengan Bapa di surga.
Budaya dan latar belakang orang Yahudi pada masa itu sangat kental dengan praktik doa, baik secara pribadi maupun komunal. Namun, doa sering kali menjadi ritualistik dan kehilangan makna spiritualnya yang mendalam. Dalam konteks inilah Yesus mengajar doa yang bukan sekadar repetisi, tetapi lahir dari hati yang mengakui kedaulatan Allah, ketergantungan manusia, dan kerinduan akan keselamatan sejati. Kata “Bapa kami yang di sorga” mencerminkan kedekatan hubungan yang intim antara Allah dan umat-Nya—sebuah konsep yang radikal pada masa itu karena menyebut Allah sebagai “Abba” (Bapa) sangat jarang dipraktikkan dalam doa Yahudi yang formal. Ini menandai bahwa keselamatan tidak hanya berkaitan dengan pembebasan politik atau sosial, tetapi juga restorasi hubungan dengan Allah sebagai Bapa.
Permohonan “dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu” merupakan tiga bentuk pengakuan iman dan kerinduan umat akan realisasi penuh dari pemerintahan Allah. Pada masa kekuasaan Romawi yang menindas, orang Yahudi sangat merindukan pemulihan kerajaan Daud secara politik. Namun Yesus menggeser pengertian ini ke arah yang lebih dalam: kerajaan Allah hadir bukan dalam bentuk kekuasaan duniawi, melainkan dalam transformasi hati, keadilan, dan kasih. Dalam hal ini, keselamatan dimengerti bukan hanya dalam pengertian eskatologis (masa depan) tetapi juga kini—the already and not yet dari Kerajaan Allah.
Bagian selanjutnya dari doa ini beralih kepada kebutuhan manusia: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Ini menunjuk pada kebutuhan dasar, bukan berlebihan, tetapi cukup. Dalam konteks sosial-politik di Palestina pada masa itu, banyak orang hidup dalam kemiskinan, tertekan oleh pajak dan ketidakadilan ekonomi. Maka, permohonan akan roti sehari-hari juga merupakan seruan akan keadilan ilahi dan pemeliharaan Allah yang nyata. Dalam terang teologi keselamatan, permohonan ini menegaskan bahwa Allah tidak hanya menyelamatkan jiwa, tetapi juga memperhatikan kebutuhan jasmani umat-Nya.
Selanjutnya, permohonan pengampunan dosa menjadi inti dari relasi keselamatan. “Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Ini menegaskan bahwa keselamatan adalah pengalaman anugerah Allah, yang memampukan manusia untuk mempraktikkan pengampunan kepada sesama. Dalam tradisi Yahudi, pengampunan erat kaitannya dengan Hari Pendamaian (Yom Kippur), tetapi Yesus mengajar bahwa pengampunan adalah sesuatu yang terus-menerus, bukan hanya tahunan. Dengan demikian, keselamatan bukan hanya status, tetapi proses relasional antara Allah dan manusia, dan antara manusia dengan sesama.
Permohonan terakhir dalam doa ini—“janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat”—menunjukkan bahwa keselamatan mencakup perlindungan dari kuasa dosa dan Iblis. Dalam teologi Yahudi, pencobaan (peirasmos) bisa berarti ujian iman, namun dalam konteks ini, Yesus mengajar agar umat memohon agar tidak jatuh dalam cobaan yang membawa kepada kejatuhan rohani. Seruan untuk dilepaskan dari yang jahat (ho ponēros) secara harfiah menunjuk kepada Iblis, kekuatan jahat yang aktif. Maka keselamatan dalam doa ini mencakup aspek spiritual dan eskatologis: umat memohon untuk terus dilindungi dan diselamatkan hingga akhir zaman.
Bagian penutup doa, yang dalam beberapa manuskrip disebut sebagai doxologi (“Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya”), meskipun tidak terdapat dalam semua naskah awal, menunjukkan pengakuan dan penyembahan kepada Allah yang berdaulat. Penutup ini menegaskan kembali bahwa keselamatan berasal dari Allah yang kekal, bukan dari sistem politik atau kekuatan dunia.
Kesimpulan:
Doa Bapa Kami adalah doa permohonan keselamatan yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia: spiritual, sosial, ekonomi, dan eskatologis. Dalam konteks budaya dan politik Yahudi di bawah kekuasaan Romawi, doa ini adalah bentuk proklamasi iman dan penyerahan diri kepada Allah yang adalah Bapa, Raja, dan Penyelamat. Secara teologis, doa ini mengajarkan bahwa keselamatan bukan sekadar pelepasan dari penderitaan, tetapi pemulihan hubungan dengan Allah, hidup dalam kehendak-Nya, menerima pemeliharaan-Nya, dan menjadi bagian dari kerajaan-Nya. Maka setiap kali kita mendoakan doa ini, kita sebenarnya sedang menyerukan dan memohon agar keselamatan dari Allah terjadi dalam hidup kita, sekarang dan untuk selama-lamanya.
Post a Comment