Lukas 16:19-31 dengan tema “Tuhan Peduli Kepada Kaum Lemah”
Pendahuluan
Kisah orang kaya dan Lazarus dalam Lukas 16:19-31 adalah salah satu perumpamaan Yesus yang paling tajam dalam menggambarkan ketidakadilan sosial pada masa-Nya. Perumpamaan ini tidak sekadar berbicara tentang keadaan setelah kematian, tetapi lebih jauh menyingkap realitas kehidupan duniawi di mana jurang pemisah antara si kaya dan si miskin begitu mencolok. Yesus menggunakan kontras ekstrem antara kemewahan orang kaya dengan penderitaan Lazarus untuk menunjukkan ketidakadilan yang diabaikan manusia. Kisah ini menjadi teguran profetis bagi orang yang hidup dalam kenyamanan, tetapi menutup mata terhadap penderitaan di sekitarnya. Konteks ini menunjukkan bahwa perumpamaan tidak hanya bersifat moral tetapi juga teologis. Dengan demikian, teks ini membuka wacana tentang bagaimana Allah peduli terhadap kaum lemah dalam masyarakat.
Dalam dunia Yahudi abad pertama, status sosial sangat dipengaruhi oleh kepemilikan harta, status keluarga, dan pengaruh politik. Orang kaya sering dianggap sebagai orang yang diberkati Tuhan, sementara orang miskin dianggap kurang berkenan. Yesus dalam perumpamaan ini secara radikal membalikkan pandangan teologis tersebut dengan menggambarkan bahwa Lazarus, seorang miskin yang menderita, justru memperoleh tempat terhormat di pangkuan Abraham. Hal ini mengkritik pandangan tradisional yang menyamakan kekayaan dengan keberkatan ilahi. Dengan membalikkan perspektif ini, Yesus hendak menunjukkan bahwa kasih Allah tidak terbatas pada status duniawi. Untuk itu, perumpamaan ini mengandung pesan esensial tentang perhatian Allah kepada kaum lemah dan terpinggirkan.
Secara politis, masyarakat Yahudi pada masa itu berada di bawah penjajahan Romawi yang memunculkan sistem ekonomi eksploitatif. Kaum kaya sering kali berkolaborasi dengan Romawi demi mempertahankan kekuasaan, sementara kaum miskin semakin terpuruk dalam penindasan dan kemiskinan struktural. Kehadiran Lazarus di gerbang rumah orang kaya mencerminkan realitas ketimpangan sosial yang nyata, di mana yang miskin hanya menjadi penonton dari pesta kemewahan orang kaya. Yesus menghadirkan kisah ini bukan dalam ruang kosong, tetapi dalam realitas sosial yang penuh ketidakadilan. Dengan demikian, perumpamaan ini mengandung makna historis yang mengingatkan bahwa Allah tidak tinggal diam terhadap ketidakadilan.
Penjelasan Teks
Perumpamaan ini dimulai dengan penggambaran seorang kaya yang hidup dalam kemewahan, berpakaian ungu dan kain halus, dua simbol utama status elite pada masa itu. Dalam budaya Yahudi, warna ungu adalah lambang kekuasaan dan prestise, sementara kain halus adalah simbol kekayaan berlimpah. Kehidupan orang kaya ini dilukiskan dalam kontras yang ekstrem dengan Lazarus yang miskin, penuh borok, dan mengharapkan remah-remah yang jatuh dari meja. Kontras ini menunjukkan adanya jurang sosial yang tidak hanya material tetapi juga moral. Jurang ini menjadi gambaran betapa masyarakat telah gagal mengasihi sesama. Maka dari itu, kisah ini memperlihatkan dosa ketidakpedulian yang nyata dalam relasi sosial.
Lazarus digambarkan sebagai seorang yang begitu miskin hingga anjing-anjing menjilat boroknya, sebuah citra hina di mata orang Yahudi. Nama "Lazarus" sendiri berarti "Allah adalah penolongku," sebuah paradoks yang mengingatkan pembaca bahwa sekalipun ia menderita, Allah tidak melupakannya. Dalam tradisi Yahudi, penyakit dan kemiskinan sering dianggap akibat dosa, tetapi Yesus membalikkan paradigma itu dengan menampilkan Lazarus sebagai sosok yang dikasihi Allah. Hal ini mengandung makna teologis bahwa penderitaan bukanlah tanda ditinggalkan Allah. Dengan demikian, Lazarus menjadi simbol bahwa Allah berpihak kepada yang lemah dan menderita.
Kematian menjadi titik balik dalam kisah ini, di mana orang kaya dan Lazarus sama-sama masuk ke dalam realitas akhirat. Namun yang mengejutkan adalah perbedaan nasib mereka: orang kaya menderita di alam maut, sedangkan Lazarus berada di pangkuan Abraham, simbol kedekatan dengan Allah. Gambaran ini menegaskan pembalikan eskatologis yang menjadi tema besar dalam Injil Lukas, di mana yang terakhir akan menjadi yang pertama. Dengan gambaran ini, Yesus menyampaikan pesan bahwa Allah memperhatikan mereka yang terpinggirkan dalam hidup sekarang. Untuk itu, kematian menjadi titik keadilan Allah ditegakkan secara penuh.
Orang kaya yang menderita di alam maut berseru meminta belas kasihan, tetapi jurang pemisah yang tak terjembatani telah terbentuk. Gambaran jurang ini melambangkan pemisahan permanen antara mereka yang mengabaikan kasih dalam hidup dan mereka yang menerima belas kasihan Allah. Jurang itu bukan semata realitas setelah kematian, melainkan cermin dari jurang sosial yang sudah dibangun sejak hidup di dunia. Jurang tersebut adalah hasil dari pilihan hidup orang kaya yang menutup mata terhadap Lazarus. Dengan demikian, kisah ini menegaskan bahwa keputusan manusia dalam kehidupan sekarang menentukan realitas kekalnya.
Dialog orang kaya dengan Abraham menyoroti keputusasaan orang kaya yang meminta agar Lazarus menghiburnya. Ironinya jelas terlihat: orang kaya yang dulu mengabaikan Lazarus kini meminta pertolongan dari Lazarus. Pembalikan peran ini memperlihatkan keadilan ilahi yang menempatkan kaum lemah dalam posisi berharga. Dalam teologi Lukas, hal ini memperlihatkan konsistensi bahwa Allah mengangkat orang rendah dan merendahkan orang yang sombong. Maka dari itu, pesan perumpamaan ini adalah tentang keadilan Allah yang berpihak pada kaum tertindas.
Orang kaya kemudian memohon agar Lazarus diutus ke keluarganya untuk memperingatkan mereka, tetapi Abraham menolak dengan mengatakan bahwa mereka sudah memiliki Musa dan para nabi. Penolakan ini menekankan bahwa Firman Allah telah cukup sebagai pedoman hidup. Tidak ada alasan untuk mengabaikan keadilan sosial, sebab Taurat dan nubuat telah menekankan pentingnya mengasihi sesama dan membela kaum lemah. Dengan demikian, ketidakpedulian orang kaya bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena penolakan terhadap kebenaran yang sudah ada. Untuk itu, tanggung jawab moral manusia bersumber dari ketaatan kepada Firman Allah yang telah diwahyukan.
Pesan Abraham juga menyingkapkan bahwa bahkan mujizat kebangkitan tidak akan mengubah hati orang yang keras kepala. Ini adalah isyarat profetis terhadap penolakan orang Yahudi terhadap Yesus, meski Ia bangkit dari kematian. Konteks ini memperlihatkan relevansi teologis bahwa iman sejati tidak dibangun atas tanda ajaib, melainkan atas respons terhadap Firman Allah. Orang kaya gagal karena ia tidak hidup dalam ketaatan kepada Firman yang telah ada. Maka dari itu, perumpamaan ini menegaskan supremasi Firman sebagai dasar pertobatan dan hidup benar.
Dari sudut pandang historis, perumpamaan ini juga menjadi kritik sosial terhadap kelas elite Yahudi yang menikmati kemewahan dengan mengabaikan penderitaan rakyat kecil. Lukas sebagai penulis Injil menekankan pesan sosial ini, karena Injilnya sering menyoroti relasi antara kekayaan, keadilan, dan kemurahan hati. Sebagai seorang penulis yang menujukan Injilnya kepada Teofilus dan pembaca non-Yahudi, Lukas hendak memperlihatkan bahwa kerajaan Allah tidak dibatasi oleh status sosial. Dengan demikian, kisah ini juga menembus batas budaya Yahudi dan menyampaikan pesan universal bagi seluruh umat manusia.
Konteks budaya pada masa itu juga menunjukkan pentingnya keramahtamahan dan kepedulian sosial sebagai bagian dari hukum Taurat. Namun orang kaya dalam perumpamaan ini gagal menjalankan kewajiban sosial dan religiusnya, padahal keberadaan Lazarus di pintu gerbangnya adalah kesempatan untuk mengasihi. Dalam perspektif hukum Yahudi, menolak memberi kepada orang miskin sama dengan melanggar hukum kasih. Oleh karena itu, Yesus menggunakan kisah ini untuk menegur masyarakat yang gagal menerapkan hukum kasih kepada sesama. Dengan demikian, pesan ini menegaskan bahwa iman yang sejati harus diwujudkan dalam perbuatan nyata kepada sesama.
Refleksi dan Implikasi Teologis
Bagi pembaca masa kini, perumpamaan ini menantang kita untuk merenungkan jurang sosial yang ada dalam kehidupan modern. Kekayaan, teknologi, dan kemajuan sering menciptakan pemisahan antara yang mampu dan yang tidak mampu. Jurang itu bukan hanya berupa materi, tetapi juga berupa akses pendidikan, kesehatan, dan keadilan. Yesus mengingatkan bahwa sikap abai terhadap kaum lemah adalah dosa yang membawa konsekuensi kekal. Untuk itu, gereja masa kini dipanggil untuk menjadi jembatan kasih yang memperhatikan kaum tertindas, bukan menambah lebar jurang sosial.
Pesan utama dari perumpamaan ini adalah bahwa Allah peduli terhadap kaum lemah dan menuntut umat-Nya untuk mewujudkan kasih dalam tindakan nyata. Dunia modern dengan segala kompleksitasnya menghadirkan banyak “Lazarus” di sekitar kita: mereka yang miskin, sakit, terpinggirkan, dan tidak memiliki suara. Firman Allah menegaskan bahwa iman tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial. Dengan demikian, umat percaya harus menghidupi iman yang peduli, adil, dan penuh belas kasih, sebab itulah tanda bahwa kita sungguh hidup dalam kerajaan Allah


Post a Comment