wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t

Khotbah Natal II 26 Desember 2025

 


 Khotbah : Ibrani 1:1–4
Tema: “Yesus Cahaya Kemuliaan Allah”

Pendahuluan

Dalam sejarah penyataan Allah kepada umat manusia, kitab Ibrani menempati posisi unik sebagai refleksi teologis yang mendalam tentang pribadi dan karya Yesus Kristus. Surat ini dibuka dengan proklamasi yang sangat kuat bahwa Allah yang dahulu berbicara melalui para nabi, kini berbicara melalui Anak-Nya sendiri. Pembukaan Ibrani 1:1–4 menjadi semacam “prolog kristologis” yang menggemakan tema inkarnasi dan pewahyuan ilahi yang sempurna dalam Kristus. Di tengah dunia yang mencari tanda-tanda dan hikmat, penulis Ibrani menegaskan bahwa dalam Yesus, seluruh kehendak dan kemuliaan Allah telah dinyatakan secara penuh. Dengan demikian, ayat-ayat ini berfungsi sebagai fondasi teologis untuk memahami identitas Yesus sebagai pewahyuan final Allah, maka dari itu, tema utama yang diangkat adalah bahwa Yesus adalah cahaya kemuliaan Allah.

Konteks historis kitab Ibrani menunjukkan bahwa surat ini ditujukan kepada komunitas Kristen Yahudi yang sedang mengalami tekanan iman akibat penganiayaan dan godaan untuk kembali pada praktik Yudaisme lama. Dalam suasana seperti itu, penulis berupaya menunjukkan supremasi Kristus atas segala hal, baik nabi, malaikat, maupun sistem keimamatan lama. Dengan gaya bahasa yang sarat retorika dan teologi mendalam, penulis ingin menguatkan bahwa iman kepada Yesus tidak boleh ditinggalkan karena Dialah penggenapan dari segala nubuat dan janji Allah. Dengan demikian, latar penulisan kitab ini bukan sekadar teologis tetapi juga pastoral—suatu upaya meneguhkan jemaat yang lemah dalam iman agar tetap berpegang kepada pengharapan dalam Kristus, untuk itu, konteks pergumulan iman menjadi landasan utama dari teks ini.

Budaya dan politik saat itu turut memberi warna pada pesan Ibrani. Orang-orang Yahudi hidup di bawah kekuasaan Romawi dan berpegang pada sistem keagamaan yang berpusat pada Bait Allah di Yerusalem. Namun, setelah kehancuran Bait Allah pada tahun 70 M, banyak orang Yahudi Kristen mengalami krisis identitas dan kehilangan pusat ibadah mereka. Penulis Ibrani menjawab krisis tersebut dengan menegaskan bahwa Yesus adalah Bait Allah sejati, Imam Besar sejati, dan penyataan kemuliaan Allah yang sempurna. Dengan demikian, dalam konteks budaya dan politik yang penuh ketidakpastian, teks ini menjadi seruan agar umat percaya menempatkan iman mereka hanya kepada Yesus Kristus, Sang Pewahyuan Ilahi yang kekal.

Penjelasan Teks

Ayat pertama menegaskan bahwa Allah telah berbicara “pada zaman dahulu kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi dalam banyak cara.” Frasa ini menegaskan kontinuitas antara wahyu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Namun, penulis ingin menyoroti bahwa pewahyuan melalui para nabi bersifat fragmentaris dan sementara, sedangkan pewahyuan melalui Anak bersifat final dan sempurna. Allah tidak berubah dalam maksud penyelamatan-Nya, tetapi cara Ia menyatakan diri-Nya mencapai puncaknya dalam diri Yesus. Maka dari itu, penulis menegaskan bahwa wahyu Allah menemukan bentuk sempurnanya dalam Kristus, Sang Firman yang hidup.

Ayat kedua melanjutkan dengan menyatakan bahwa Allah “pada zaman akhir ini telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya.” Istilah “zaman akhir” (ἐσχάτων τῶν ἡμερῶν) menunjukkan dimulainya era eskatologis melalui kedatangan Kristus. Anak yang dimaksud bukan sekadar seorang utusan, tetapi pewaris segala sesuatu dan agen penciptaan. Di sini, penulis mengaitkan Kristus dengan hikmat Allah sebagaimana dalam Amsal 8 dan Yohanes 1. Melalui Anak, seluruh ciptaan dijaga dan diarahkan menuju tujuan Allah. Dengan demikian, penulis menunjukkan bahwa Yesus bukan hanya penyampai firman Allah, melainkan Firman itu sendiri yang berkuasa atas ciptaan.

Ayat ketiga menyatakan inti dari tema kita: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.” Dalam bahasa Yunani, istilah apaugasma (cahaya kemuliaan) dan charaktēr tēs hypostaseōs (gambar wujud) menggambarkan relasi yang sangat intim antara Bapa dan Anak. Kristus bukan sekadar refleksi, tetapi pancaran hakiki dari kemuliaan Allah sendiri. Ini berarti bahwa siapa yang melihat Kristus telah melihat Allah (Yohanes 14:9). Dalam pandangan teologi Ibrani, kemuliaan Allah (kabod YHWH) adalah manifestasi kehadiran ilahi; maka dalam Kristus, kemuliaan itu menjadi nyata dalam wujud manusia. Untuk itu, penulis Ibrani mengajarkan bahwa Yesus adalah manifestasi nyata dari kemuliaan dan keberadaan Allah yang tidak terlihat.

Penulis melanjutkan dengan pernyataan bahwa Yesus “menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kuasa.” Di sini terlihat fungsi Kristus sebagai penopang ciptaan (sustainer). Dalam pandangan dunia Yunani-Romawi, kosmos dipandang sebagai sesuatu yang rapuh dan membutuhkan prinsip ilahi yang menjaga keteraturannya. Penulis Ibrani mengadopsi konsep ini untuk menunjukkan bahwa firman Kristus adalah kekuatan yang menopang seluruh eksistensi. Dengan demikian, Yesus tidak hanya pencipta tetapi juga pemelihara seluruh alam semesta, maka dari itu, keberadaan segala sesuatu bergantung pada kuasa firman Kristus.

Selanjutnya, disebutkan bahwa Yesus “setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar di tempat yang tinggi.” Frasa ini menandai peralihan dari karya Kristus di dunia menuju kemuliaan surgawi. Konsep duduk di sebelah kanan Allah melambangkan otoritas dan kehormatan tertinggi. Dalam tradisi Yahudi, imam harus berulang kali mempersembahkan korban, tetapi Kristus mempersembahkan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya. Maka, posisi-Nya di sebelah kanan Allah menegaskan kesempurnaan karya penebusan-Nya. Dengan demikian, Kristus adalah Imam Besar yang sekaligus Raja Mulia, pengantara yang membawa umat kepada Allah.

Ayat keempat menutup bagian ini dengan pernyataan bahwa Yesus “jauh lebih tinggi daripada malaikat-malaikat.” Dalam konteks budaya Yahudi, malaikat dianggap sebagai makhluk surgawi yang menyampaikan firman Allah kepada manusia. Namun, penulis Ibrani menegaskan bahwa Yesus melampaui mereka karena Ia adalah Anak Allah yang kekal, bukan ciptaan. Di sini, teologi Kristologi yang tinggi ditegaskan untuk membedakan antara wahyu melalui malaikat dengan wahyu melalui Anak. Dengan demikian, supremasi Kristus menjadi bukti bahwa penyataan Allah dalam diri-Nya adalah final dan tidak dapat digantikan oleh makhluk mana pun.

Secara literer, ayat 1–4 merupakan satu kalimat panjang dalam bahasa Yunani, menandakan gaya oratoris yang tinggi dan penuh kemegahan. Hal ini mencerminkan niat penulis untuk menonjolkan keagungan Kristus sejak awal surat. Struktur kalimat yang padat dan penuh istilah teologis menunjukkan bahwa penulis bukan hanya seorang teolog, melainkan juga retor yang terampil. Teks ini berfungsi sebagai semacam “mazmur kristologis” yang mengundang pembaca untuk memuliakan Yesus sebagai puncak pewahyuan Allah. Dengan demikian, bentuk literer teks memperkuat isi teologisnya bahwa Kristus adalah pusat seluruh wahyu dan penyembahan.

Secara historis-teologis, banyak penafsir seperti Origenes, Athanasius, dan Agustinus menekankan bahwa Ibrani 1:1–4 meneguhkan doktrin keilahian Kristus. Dalam perdebatan gereja awal melawan ajaran Arianisme yang menyangkal keilahian Yesus, ayat ini menjadi bukti bahwa Kristus bukan ciptaan, melainkan satu hakekat dengan Bapa. Gereja menetapkan pengakuan iman Nicea (325 M) yang menyebut Yesus sebagai “Allah dari Allah, terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati.” Dengan demikian, teks ini menjadi dasar teologi Trinitas dan Kristologi ortodoks yang bertahan hingga kini.

Dalam konteks reformasi, Martin Luther dan John Calvin menafsirkan teks ini sebagai penegasan tentang supremasi Kristus atas segala sistem keagamaan manusia. Mereka melihat bahwa segala usaha manusia untuk mengenal Allah tanpa Kristus adalah sia-sia. Calvin menulis bahwa “di luar Kristus, tidak ada satu pun wahyu Allah yang benar dapat ditemukan.” Maka dari itu, teologi Ibrani 1:1–4 menjadi pilar bagi pemahaman bahwa iman Kristen berdiri di atas pewahyuan final Allah dalam diri Yesus Kristus, bukan pada tradisi atau sistem keagamaan tertentu.

Dengan demikian, Ibrani 1:1–4 mengandung sintesis teologis yang luas—menghubungkan wahyu, penciptaan, penebusan, dan keilahian Kristus dalam satu kesatuan. Yesus adalah Firman yang mencipta, menopang, menebus, dan memerintah bersama Allah Bapa. Segala bentuk pewahyuan sebelumnya hanyalah bayangan dari kemuliaan sejati yang kini bersinar dalam diri-Nya. Maka, penulis menegaskan bahwa kehidupan iman sejati hanya dapat dibangun di atas pengenalan akan Yesus sebagai cahaya kemuliaan Allah, untuk itu, ayat ini menuntun pembaca kepada pengakuan iman yang penuh terhadap Kristus.

Refleksi dan Implikasi Teologis bagi Jemaat Masa Kini

Bagi umat masa kini yang hidup di tengah dunia sekuler dan pluralistik, pesan Ibrani 1:1–4 memiliki relevansi yang mendalam. Banyak orang mencari makna hidup melalui berbagai ideologi, ilmu pengetahuan, dan pengalaman spiritual yang terpisah dari Kristus. Namun, penulis Ibrani mengingatkan bahwa hanya dalam Yesus cahaya kemuliaan Allah benar-benar bersinar. Ia adalah kebenaran yang tak berubah di tengah relativisme zaman ini. Maka dari itu, umat Kristen dipanggil untuk menaruh pengharapan, pengetahuan, dan iman mereka hanya kepada Kristus, Sang Cahaya yang mengungkapkan wajah sejati Allah.

Selain itu, teks ini mengundang gereja untuk hidup dalam penyembahan dan kesaksian yang memuliakan Kristus. Jika Yesus adalah cahaya kemuliaan Allah, maka gereja harus menjadi refleksi dari terang itu dalam dunia yang gelap. Setiap tindakan kasih, keadilan, dan kebenaran yang kita lakukan merupakan pantulan dari terang Kristus yang berdiam di dalam kita. Dengan demikian, panggilan gereja masa kini bukan hanya mengenal Yesus secara doktrinal, tetapi meneladani-Nya dalam kehidupan nyata—sehingga dunia melihat kemuliaan Allah melalui kasih yang terpancar dari umat-Nya.

Post a Comment

silakan Komentar dengan baik
Total Pageviews
Times/ Waktu
Waktu di Kota Medan: